Share

4. Janji Cinta

“Apakah kau akan menjadi duri dalam pernikahan adikmu?”

“Apa maksud ibu bertanya demikian?”

Bukan jawaban yang diberikan oleh Cinta, gadis yang masih berusaha untuk mengobati luka hatinya sangat terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita yang telah melahirkannya.

Lelah tubuh Cinta karena bekerja seharian, belum sempat dia beristirahat, Utari sudah menyambutnnya dengan kata-kata yang pedas. Sebuah pertanyaan yang dengan jelas menyiratkan sebuah tuduhan.

“Lebih baik kau keluar, jangan bekerja di sana lagi! Kamu harus bisa menjaga jarak dengan Damar, dan juga menjaga perasaan adikmu, karena dia sedang mengandung.”

“Bu! Kalau saya keluar, terus saya nggak kerja, nanti kita makan apa, Bu?” tanya Cinta yang terdengar nelangsa, sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi usang yang berada di ruang tamu.

Sebenarnya tanpa di suruh pun Cinta sudah berpikir akan resign dari Sanjaya Furniture. Tetapi darah tinggi sang ibu yang sering kambuh, hingga membuat Cinta harus menyiapkan dana tersendiri untuk pengobatan ibunya, membuat Cinta harus berpikir ulang untuk resign dari tempat kerjanya.

Utari terdiam, tanpa terasa bulir bening menetes dari mata yang cekung. Wanita bertubuh kurus itu menangisi betapa tidak berdaya dirinya selama ini. Utari teringat kembali pada kecelakaan yang merenggut nyawa suaminya. Diduga karena mengantuk setelah berhari-hari harus merawat dirinya yang sedang dirawat di rumah sakit, ayah dari kedua anaknya harus meregang nyawa karena mengalami kecelakaan tunggal, menabrak sebuah truk penuh muatan besi yang sedang terparkir di pinggir jalan.

Cinta harus menggantikan posisi sang ayah menjadi tulang punggung keluarga, meskipun saat itu dia belum lulus kuliah. Dengan bantuan Bella, Cinta mulai bekerja paruh waktu menjadi SPG saat Sanjaya Furniture mengikuti pameran.

Penghasilan yang tidak tetap dan cenderung selalu kurang, membuat Utari menerima tawaran adiknya yang berada di Solo yang akan membiayai pendidikan Aura. Tetapi memang tidak ada yang gratis di dunia ini, untuk biaya pendidikan yang tidak sedikit itu, Aura harus membantu sang bibi jualan angkringan.

“Ta! Sekarang Damar adalah suami Aura, kamu harus tahu itu.”

“Saya bukan anak kecil lagi, Bu! Ibu tidak perlu khawatir, saya tahu mana yang benar dan mana yang salah.”

“Jika kau sudah tahu, mengapa kau masih berencana untuk menikah dengan Damar, setelah Aura melahirkan bayinya?”

“Bu!” Cinta berdiri lalu melangkah menghampiri sang ibu yang sedari tadi duduk di dekat meja makan. “Tidak ada yang perlu ibu takutkan, karena aib keluarga kita sudah tertutup rapat,” ucap Cinta berusaha untuk menangkan hati sang ibu, karena jika sang ibu berpikir terlalu berat akan membuat darah tingginya mudah kambuh.

“Yang ibu takutkan adalah kamu akan merebut Damar dari Aura, menjadi duri dalam rumah tangga adikmu, dan merenggut kebahagiaannya.”

“Seburuk itukah aku di hadapan ibu?” tanya Cinta dengan suara yang terdengar nelangsa dibarengi oleh lelahan air mata yang menandakan betapa sakit hati Cinta karena ucapan dari sang ibu.

“Karena ibu mendengar percakapanmu dengan Damar waktu itu.”

Cinta menghembuskan napas dengan kasar. Masih terekam jelas percapakannya dengan Damar, hari itu terakhir kalinya Cinta dan Damar berbincang, karena setelahnya Cinta berusaha untuk menjaga jarak dengan Damar yang statusnya sudah berubah menjadi adik ipar.

“Maaf, Bu! Saya terpaksa, karena itu adalah satu-satunya cara agar Pak Damar mau menikah dengan Aura.”

“Ibu ingin, di hadapan ibu, kau berjanji tidak akan mengganggu pernikahan Aura, bahkan jika perlu kau  membantunya untuk mempertahankan rumah tangganya.”

“Ya, Bu!” sahut Cinta tanpa berpikir panjang lagi. “Sekarang ibu istirahat, jangan banyak pikiran! Saya janji akan menuruti semua permintaan ibu.”

“Begitu mudah kau mengucapkan janji, Ta! Lalu bagaimana dengan janjimu pada Damar?”

“Tidak ada yang perlu ibu khawatirkan, karena aku yakin anak yang saat ini berada di kandungan Aura adalah anak Pak Damar.”

Bukan ketenangan yang didapatkan oleh Utari, semakin banyak bicara dengan Cinta justru hatinya semakin tidak tenang. Utari merasakan kepala semakin berat saat memikirkan masa depan kedua putrinya.

“Antar ibu ke kamar, Ta!”

Dengan telaten dan penuh kasih sayang, Cinta memapah sang ibu menuju ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang ringkih.

“Ta! Janji sama ibu, kalau kau akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Aura, dia saudaramu satu-satunya. Jika ibu sudah tiada, hanya dia keluarga yang kau miliki.”

“Ya, Bu!” Lagi dan lagi Cinta harus mengucap janji, bukan bermaksud untuk mengobralnya, tetapi demi kesehatan sang ibu, Cinta terpaksa mengiyakan.

***

Cinta duduk di depan cermin memberi sedikit polesan di wajahnya agar tidak terlihat pucat. Cinta tetap harus bekerja, mengais rejeki untuk menyambung hidup. Tidak ingin terus terpuruk karena pengkhianatan, Cinta berusaha bangkit mengyongsong hari esok. Satu keyakinan dalam hati Cinta, tidak semua pria adalah durjana.

Diraihnya sebuah foto  yang tersimpan rapi di dalam laci, foto sang ayah, lelaki yang setia dan sangat menyayangi keluarganya. Sejenak memandang foto tersebut,  membuat Cinta yakin masih ada lelaki yang baik di dunia ini, dan dia berharap salah satu telah Tuhan ciptakan untuk dirinya. Cinta mencium foto sang ayah dan menyimpannya kembali di laci meja riasnya, lalu ditundukkannya kepala sambil terpejam, mengirimkan doa untuk sang ayah yang telah pergi untuk selamanya.

Suara pintu di ketuk membuat Cinta segera mengakhiri doanya dan bergegas keluar. Setelah membuka pintu, netra Cinta mendapati sesosok pria tinggi tegap dan berbadan atletis, warna kulit sawo matang membuatnya wajahnya telihat manis, apalagi saat senyum tersungging di bibirnya.

“Maaf! Benar ini rumah Aura?” tanya pria yang berdiri di hadapan Cinta.

“Ya, benar. Saya kakaknya.”

“Saya Tegar, dari Solo, Mbak!” ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Saya Cinta, Mas!” sahut Cinta dengan ramah dan seulas senyum di bibirnya kala dia menyambut uluran tangan Tegar.

Sorot mata Tegar terlihat seperti risih saat menatap ke arah Cinta. Tegar terdiam, memandang wajah ayu di depannya, benaknya pun bertanya-tanya, seagresif inikah gadis kota?

Cinta merasa tidak nyaman saat tanpa sengaja menatap mata Tegar, hingga membuatnya dengan segera melepaskan tangan pria yang baru pertama kalinya dia lihat. Cinta pun teringat saat dia pernah berkenalan dengan seorang pria, dan pria tersebut salah paham saat Cinta menyebutkan namanya, dikiranya Cinta mengungkapkan perasaannya.

“Nama saya Cinta, Mas!” balas Cinta dengan wajah yang terlihat takut. “Kalau boleh tahu ada perlu apa Mas Tegar datang ke sini?”

Tidak ingin terlalu lama berbasa-basi, Cinta pun langsung menanyakan tujuan kedatangan Tegar.

“Maksud kedatangan saya adalah untuk melamar Aura.”

“Maaf, Mas! Bisa diulang!” Cinta meminta Tegar untuk mengulangi lagi ucapannya. Bukan karena tidak mendengar, tetapi Cinta ingin meyakinkan jika telinganya tidak salah mendengar.

“Saya ingin melamar Aura, menjadikannya sebagai istri, pendamping hidup saya.”

“Itu tidak mungkin, Mas! Karena Aura sudah menikah.”

Tegar terdiam menatap mata Cinta, berharap gadis yang berada di hadapannya meralat ucapannya. Tetapi setelah sekian menit menunggu ternyata Cinta hanya diam sambil membalas tatapan matanya.

“Itu tidak mungkin, Mbak!” ucap Tegar yang masih tidak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Cinta.

“Kenapa tidak mungkin?” tanya Cinta dengan seulas senyum yang terlihat seperti mengejek.

“Karena Aura sedang mengandung anak saya.”

Sebuah pengakuan yang membuat Cinta sekali lagi bagaikan disambar petir, hingga membuatnya hampir terjatuh. Cinta berdiri bersandar di kusen pintu rumahnya karena tiba-tiba tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Apa yang terjadi ternyata lebih buruk dari dugaan Cinta yang semula mengira Tegar adalah debt collector dari sebuah aplikasi pinjaman online.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status