Share

2. Negosiasi

“Itu tidak benar!” sanggah Damar setelah mendengar namanya disebut oleh Aura.

Bukan hanya emosi, tetapi Damar terlihat sangat frustrasi, hingga membuat pewaris tunggal Sanjaya Furniture itu menyugar rambutnya dengan kasar. Damar menghampiri Cinta yang masih terduduk di lantai.

“Ta!” panggil Damar sambil meraih tangan Cinta. “Aku mohon percayalah kepadaku, kita akan segera menikah, Ta!” sambung Damar sambil membimbing Cinta untuk duduk di kursi yang berada di dekat posisi Utari.

Cinta masih terdiam karena belum sepenuhnya percaya dengan pengakuan Aura. Bagaimana mana mungkin Aura bisa hamil oleh Damar jika selama ini mereka terpisah jarak antara Jakarta dan Solo.

“Kau yakin sedang mengandung? Kau tidak sedang berbohong?” cecar Hesti dengan ketus kepada Aura yang sedari tadi duduk di samping Utari.

Tatapan mata tajam Hesti tampaknya membuat Aura merasa terintimidasi dan tidak berani memberikan jawaban, hingga membuatnya menggenggam erat tangan Utari, seolah meminta bantuan kepada sang ibu.

“Ya, Bu! Aura benar-benar sedang mengandung, tadi saya sendiri yang mengantarnya periksa ke bidan.” Akhirnya Utari yang memberikan jawaban mewakili Aura yang masih terlihat ketakutan.

“Sudah berapa bulan?” tanya Hesti seperti sedang menginterogasi.

“Empat minggu,” sahut Aura mendahului Utari yang juga terlihat akan memberikan jawaban.

Empat minggu, kini Cinta teringat jika sebulan yang lalu Damar melakukan perjalan bisnis ke Solo. Dengan sadar Cinta meminta kepada Damar untuk menemui Aura, sekadar untuk mengetahui kabar sang adik yang sudah lama tidak dia tenggok. Sungguh Cinta tidak mengira akan seperti ini akibatnya.

“Empat minggu?” tanya Cinta entah kepada siapa.

“Kau yakin bayi yang kau kandung adalah anak Damar?” Hesti kembali melontarkan pertanyaan kepada Aura.

“Jika Bu Hesti tidak percaya, Bu Hesti bisa tanya langsung kepada Kak Damar apa yang telah dia lakukan kepada saya saat di Solo.” Setelah  mengakhiri kalimatnya, Aura langsung menangis tergugu merasa terhina oleh pertanyaan Hesti.

Damar tidak peduli dengan perdebatan antara Hesti dan Aura, yang dia pikirkan saat ini hanyalah Cinta. Tentu Damar tidak ingin rencana pernikahannya dengan kekasih hatinya harus kandas karena kehadiran Aura yang tiba-tiba.

“Ta! Aku bisa jelaskan …”

“Kak Damar! Apa Kak Damar lupa dengan apa yang telah kita lalui bersama saat di Solo?” tanya Aura memotong pembicaraan Damar. Suara Aura terdengar sangat nelangsa  karena mengharap sebuah pengakuan dari pria yang berada di depannya. “Kita melakukannya dengan sadar dan penuh gai ….”

“TUTUP MULUTMU!” hardik Hesti dengan mata yang membelalak lebar menatap Aura.

Wanita paruh baya itu sungguh tidak menyangka gadis kecil di depannya, yang dia ketahui sedang menempuh pendidikan D3 di luar kota, tetapi bisa bertindak sangat licik. Hesti seolah lupa di mana saat ini dia berada, wanita yang telah melahirkan Damar itu tidak peduli jika saat ini berada di hadapan Utari, calon besannya.

Utari langsung memegang dadanya, napasnya terlihat menjadi tidak beraturan setelah mendengar suara Hesti yang melengking keras penuh amarah. Cinta bergegas menghampiri sang ibu yang memang sering secara tiba-tiba kesehatannya menurun jika berada dalam keadaan tertekan.

Dalam diam, air mata Cinta jatuh bercucuran. Kini bukan hanya kesehatan Utari yang membebaninya, tetapi keadaan Aura yang sedang mengandung di luar nikah membuatnya harus tetap kuat demi kedua orang yang sangat dia sayangi. Dalam hati Cinta bertekad akan menuntut tanggung jawab dari orang yang sudah merusak masa depan adiknya.

 “Damar! Jawab sejujur-jujurnya, apakah yang dikatakan oleh Aura itu benar?” tanya Hesti yang sudah dikuasai oleh amarah.

“Saya yakin, jika bayi yang sedang dikandung Aura bukanlah anak saya,” tegas Damar tampak tanpa ada keraguan.

“Kak Damar! Bagaimana mungkin kakak melupakan apa yang telah kita lakukan bersama? Bahkan saat ini aku sedang mengandung anak Kak Damar.” Dengan berderai air mata, Aura mengharap agar Damar bersedia mengakui perbuatan yang telah mereka lakukan dan menerima anak yang sedang dia kandung.

“Apa Pak Damar melakukan perbuatan itu dengan Aura?” tanya Cinta dengan tatapan mata sendu berharap kejujuran dari pria yang siang tadi melamarnya.

Rasa percaya yang mulai runtuh membuat Cinta memanggil Damar dengan embel-embel Pak, hingga terdengar sangat formal dan seolah memberi jarak pada hubungannya dengan pria yang sudah dua tahun menjadi kekasihnya.

“Saya khilaf,” jawab Damar dengan pandangan mata penuh penyesalan menatap ke arah Cinta.

Suasana tiba-tiba menjadi hening, mereka tampak disibukkan dengan pikiran masing-masing. Meskipun tidak mengiyakan tetapi jawaban Damar bisa diartikan telah terjadi hal yang tidak semestinya antara dirinya dengan Aura. Bagi Cinta, pengakuan Damar sudah cukup sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan mereka. Sungguh sakit hati Cinta, bagaikan disayat sembilu kala mengetahui adik dan kekasihnya telah bertindak melampaui batas di belakangnya. Sebuah pengakuan yang akhirnya membuat Cinta harus mengubur dalam-dalam impian indahnya menikah dengan Damar.

Kecewa, sudah tentu kini meraja di hati Cinta. Tetapi tampaknya dia tidak sendiri, karena Hesti pun merasa tidak rela jika Cinta harus gagal menjadi menantunya.

“Damar! Cinta! Secepatnya kalian harus menikah, jika perlu besok. Mama akan mempersiapkan semuanya.”

Ucapan yang terlontar dari mulut Hesti membuat semua yang berada di ruangan itu menjadi terkejut. Aura pun menggelengkan kepalanya sambil meneteskan air mata, tidak terima dengan keputusan yang diambil secara sepihak oleh Hesti.

“Bagaimana dengan nasib Aura dan anaknya jika kami menikah?” Sebuah pertanyaan yang menyiratkan sebuah penolakan terlontar dari mulut Cinta.

“Mama yang akan mengurus adikmu, percayalah pada mama! Setelah anak itu lahir, kalian yang akan menjadi orang tuanya, secara hukum anak itu akan menjadi anak kalian, dan kalian yang akan mengasuh dan merawatnya.”

“Saya tidak bisa, Bu!” tolak Cinta dengan tegas. “Bagaimana dengan masa depan Aura?” sambung Cinta mengalihkan pandangannya kepada sang adik yang sedang menangis.

“Masa depan seperti apa yang kamu harapkan untuk adikmu? Dengan memberikan anaknya kepada kalian, dia bisa melanjutkan pendidikannya. Nanti mama yang akan menanggung semua biaya pendidikannya.”

Sebuah penawaran yang sangat bagus, tetapi bukan tanggung jawab seperti ini yang diinginkan oleh Cinta. Meskipun hatinya terluka, tetapi Cinta tetap menginginkan Damar menikahi Aura.

“Saya tidak bisa, Bu!” tolak Cinta sekali lagi.

Bukan hanya memikirkan nasib Aura kedepannya jika Damar tidak menikahinya, tetapi setelah mengetahui perbuatan Damar dan Aura membuat Cinta merasa tidak bisa melanjutkan hubungannya dengan sang kekasih. Tentu bayangan sang adik akan selalu menghantui kebersamaannya bersama Damar di masa depan.

“Baik! Jika memang anak yang saat ini sedang dikandung Aura adalah anak Damar, sebagai laki-laki Damar memang harus bertanggung jawab.” Hesti menjeda kalimatnya, wanita paruh baya itu menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. Diawali dengan helaan napas panjang, Hesti kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi jika Damar dan Aura menikah, jangan paksa saya untuk mengakui Aura sebagai menantu saya! Mungkin saya akan menganggap Aura sebagai orang lain yang sedang main ke rumah saya, atau mungkin … sebagai pembantu yang bisa disuruh-suruh.”

Tanpa permisi, tanpa pamit dan tanpa mengucap salam, Hesti segera meninggalkan rumah Cinta, bahkan dia tidak mempedulikan Damar yang masih bergeming di posisinya.

Air mata Cinta kembali menetes, betapa pedih hatinya saat merasakan beratnya tidak memiliki seorang ayah yang menjadi pelindung bagi keluarganya. Kini dia harus menggantikan tugas sang ayah untuk mempertahankan harga diri keluarganya yang mungkin memang sudah tidak ada harganya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status