Share

Bab 2 Amplop untuk Kang Surya

Author: Pena_yuni
last update Huling Na-update: 2024-01-11 13:59:54

"Lauknya hanya dengan ikan, gak apa-apa, Neng?" lanjutku, setelah tadi menggantung ucapan.

"Nggak apa-apa, Bu. Nasi tanpa lauk juga enggak apa-apa, kok." Neng Rahma menjawab cepat pertanyaanku.

Sebagai seorang ibu, hatiku merasakan ada yang tidak beres dengan Neng Rahma.

Aneh. Dia seperti bukan Neng Rahma yang sering aku jumpai. Mata tajam ketika dia melihatku, kini berubah sendu dengan penuh harap dan ratap.

Ada apa sebenarnya dengan Neng Rahma?

"Ya–yasudah, mari, ikut Ibu ke dapur." Aku berucap terbata.

Tanpa berucap lagi, Neng Rahma langsung berdiri dan mengekor di belakangku. Dia aku persilakan duduk di kursi plastik yang menghadap ke meja kayu.

Aku mengambil piring, mengeluarkan gulai ikan hasil tangkapan Kang Surya kemarin malam. Lalapan serta sambal pun turut aku suguhkan pada putri sambungku yang tengah diam seraya menatap makanan di atas meja.

"Dimakan, Neng. Maaf, cuma ada ini di rumah Ibu," kataku.

Neng Rahma mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk seraya mengambil nasi beserta lauknya.

Namun, tangannya tak kunjung bergerak menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. Dia justru malah menuangkan air ke dalam gelas, lalu menegaknya hingga tandas.

Aku mencoba menyelami perasaan gadis yang duduk di bangku SMA itu. Aku tersenyum, lalu menepuk pundak Neng Rahma dengan pelan.

"Dimakan, ya Neng? Ibu tinggal ke rumah Mak Nia dulu, gak apa-apa, ya? Mau ambil si dedek," kataku.

Neng Rahma mengangguk dengan seulas senyum. Sepertinya dia memang malu jika aku menungguinya.

Aku keluar dari dapur, membiarkan Neng Rahma menikmati makanan yang aku berikan. Namun, kaki tidak melangkah pergi ke rumah Mak Nia. Sengaja aku berdiri di balik gorden yang terbuka setengah untuk melihat anak sambungku itu.

Kepala aku gelengkan dengan tangan di dada saking tidak percaya dan kagetnya dengan apa yang aku lihat sekarang.

Neng Rahma, dia makan begitu lahap seperti orang yang sangat kelaparan. Sesekali dia terbatuk karena menyuapkan nasi dengan cepat.

Berbagai tanya muncul dalam benakku saat ini. Ke manakah ibunya hingga membiarkan Neng Rahma kelaparan seperti itu?

Apa yang terjadi sebenarnya pada putri sambungku, hingga dia tiba-tiba datang dan minta makan? Hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Seperti merasakan kehadiranku, Neng Rahma menoleh ke arahku berada, dan sesegera mungkin aku lari meninggalkan tempatku tadi.

Aku keluar dari rumah, berjalan cepat menuju rumah Mak Nia seraya terus memikirkan putri dari suamiku itu.

"Sah, mau ke mana?"

"Astaghfirullah!" Aku berseru seraya mengusap dada. Kaget, juga tersadar jika aku telah melewati rumah Mak Nia.

"Kamu ngelamunin apa, Sah?" tanya Mak Nia. "Oh ... pantesan kamu bengong, ada anak itu lagi?" Wanita paruh baya itu kembali berucap dengan pandangan ke rumahku.

"Ah, tidak, Mak. Bukan gara-gara itu, kok." Aku duduk di teras rumah Mak Nia seraya tangan mengambil Saga, putraku.

"Tidak usah menyangkal, Isah. Emak sudah paham betul watak kamu. Kenapa? Dia nyakitin kamu lagi? Hina-hina kamu lagi?"

"Tidak, Mak. Hanya saja ... aku melihat ada yang aneh saja dari dia."

"Aneh? Aneh gimana, Isah?"

"Tidak apa-apa, Mak. Mungkin hanya perasaanku saja," kataku, tidak ingin menjelaskan yang tadi aku lihat di rumah.

Sebelum menceritakan pada orang lain, aku harus menceritakan hal ini kepada Kang Surya terlebih dahulu. Iya, suamiku harus tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya itu.

Saat aku sedang ngobrol dengan Mak Nia, Neng Rahma keluar dari rumahku. Jarak rumahku dan Mak Nia yang dekat, membuatku bisa dengan jelas melihat gadis itu.

"Ibu!"

Aku dipanggilnya.

Seraya menggendong Saga, aku menghampiri Neng Rahma yang sudah turun dari teras rumah. Dia menghampiri sepeda motor matic yang dibelikan Kang Surya, dua tahun yang lalu.

"Sudah makannya, Neng?" Aku berbasa-basi.

"Sudah. Makasih, ya, Bu? Emh ... gulai ikan Ibu, enak. Tadi aku nambah banyak, jadi ... maaf, jika lauk dan nasinya sisa sedikit."

Itu kata terpanjang yang Neng Rahma ucapkan tanpa emosi dan tatapan benci.

Aku terpaku. Merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar saat ini. Dia memuji masakanku? Dan dia mengucapkan maaf?

"Bu, boleh minta tolong lagi, gak?"

"Hem? Minta tolong apa, Neng?" tanyaku, menatap sepasang mata berbulu lentik itu.

"Minta tolong ... berikan ini pada Bapak."

"Ini apa, Neng? Tagihan dari sekolah, bukan?" Aku kembali bertanya seraya menatap kertas yang Neng Rahma sodorkan.

"Bukan, Bu. Pokoknya Ibu berikan saja pada Bapak. Jangan dibuka, kalau Bapak gak ada. Aku harus pulang."

Neng Rahma naik ke motornya, siap untuk pergi. Namun, lagi-lagi dia berpesan padaku, mewanti-wanti agar aku menyampaikan amanah darinya.

"Ingat, ya, Bu. Berikan pada Bapak!"

"Iya, Neng," kataku, seraya menatap punggung gadis tujuh belas tahun itu.

Neng Rahma sudah tidak aku lihat lagi. Aku pun masuk ke dalam rumah seraya terus melihat amplop putih yang tadi diberikan Neng Rahma.

Berbagai pertanyaan lagi-lagi muncul. Jika bukan tagihan dari sekolah, lalu apa?

Surat kelulusan?

Masa iya, surat kelulusan menggunakan amplop yang biasa dijual di warung?

Aku terus menatap amplop tersebut dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

Untuk menghilangkan rasa ingin tahuku, aku menyimpan pemberian Neng Rahma itu di atas tivi. Aku pun membereskan bekas makan Neng Rahma tadi, lalu memandikan Saga dan memberi makan balitaku yang sudah mulai MPASI.

Semakin lama, rasa penasaran semakin menjadi. Aku terus saja bolak-balik memegang amplop itu seraya membayangkan isinya.

Jika dibuka, aku akan menjadi orang yang tidak amanah. Namun, untuk menunggu Kang Surya pulang pun, masih sangat lama.

Aku tidak sabar ingin tahu isinya.

"Buka aja kali, ya? Nanti beli amplop baru seolah-olah aku belum melihat isinya? Duh, penasaran banget," kataku.

Aku yang baru saja duduk di lantai, kembali berdiri dan mengambil amplop yang tadi kusimpan.

Dadaku berdebar, mata melirik ke sana kemari memastikan hanya ada aku dan Saga di rumah ini.

"Astaghfirullahaladzim!!" ujarku lantang.

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 34 ENDING

    Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 33 Menuju Ending

    "Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 32 Namanya Samudra

    "Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 31 Sakitnya Kehilangan

    "Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 30 Melahirkan

    "Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 29 Apa Sekarang Waktunya?

    "Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 28 Hujan

    "Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 27 Hamil Pembawa Rezeki

    "Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 26 Pergi ke Pasar Malam

    "Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status