"Tadi Neng Rahma ke sini, Kang." Lelaki empat puluh tiga tahun itu melihat padaku sejenak, kemudian dia kembali menikmati makan malam yang aku suguhkan. "Minta uang?" tebaknya. "Minta makan."Kang Surya tertawa seraya melihat ke arahku yang menyipitkan mata. Masih dengan diiringi tawa Kang Surya, aku duduk di samping dia, menemaninya makan. "Kamu bisa aja jawabnya, Syah. Iya, sih, harusnya aku gak nanyain itu. Karena jawabannya pasti sudah sangat mudah ditebak. Uang memang jadi tujuan anak itu. Iya, kan?" lanjut Kang Surya. Aku mengembuskan napas kasar seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik. Sengaja aku menunda menceritakan tentang Neng Rahma, sampai suamiku itu selesai makan. Rasanya tidak tepat jika membicarakan sesuatu di saat suamiku tengah kelaparan. Makanya, aku menungguinya, setia berada di sampingnya sampai piring yang tadi aku isi, tidak menyisakan satu butir nasi pun. "Alhamdulillah .... Selalu tidak pernah gagal masakan istriku ini. Terima kasih,
"Mana amplop tadi, ya?" Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya. Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya. Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu. "Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah. Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya. Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut. Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun. Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku. Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu. "Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Sury
Mata saling melihat, dengan bibir saling terkatup rapat. Di dalam hati, aku terus beristighfar melihat nominal utang Neng Rahma. Detik kemudian, embusan napas Kang Surya terdengar berat dan lesu. "Jika tidak dilunasi sekarang, minimal setengahnya juga nggak apa-apa, Pak." Si pemilik kantin berucap lagi. Sebelah tanganku mengusap tangan Kang Surya seraya mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Namun, suamiku itu tak membalas senyumku. Wajahnya memperlihatkan kebingungan serta rasa terkejut yang begitu kentara. "Syah, aku cuma pegang tiga ratus ribu. Kamu ada tambahannya?" Kang Surya mulai bicara. "Ada satu juta di aku, Kang."Lagi-lagi Kang Surya mengembuskan napas dengan begitu berat. Uang yang ada pada Kang Surya, juga ada padaku, belum bisa menutupi utang Neng Rahma, yang jumlahnya dua juta lima ratus ribu rupiah. Allah .... Ingin sekali aku berbicara, menanyakan bagaimana cara anak itu jajan hingga memiliki utang yang banyak? Namun, aku sadar posisi. Malu rasanya jika protes,
"Lagi apa, Syah?" Aku menoleh pada pria yang baru saja turun dari sepeda motornya. Dia menghampiriku yang masih mematung di dekat tempat sampah. "Kamu ngapain berdiri di sini? Jangan bakar sampah jam segini, angin masih kenceng, asapnya nanti masuk ke rumah," ujar Kang Surya lagi. "Aku bukan untuk bakar sampah, Kang. Tapi ... apa malam itu Akang baca semua pesan dari Neng Rahma?" Kini aku yang bertanya. Kang Surya mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang mungkin terasa aneh untuk dijawab. Aku mengulang pertanyaan yang sama, berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hati. "Enggak, sih. Lagian, dari atasnya sudah bahas utang, pasti ke bawahnya juga tentang uang, Syah. Sudahlah, ngapain terus dibahas lagi, sih? Kata kamu, enggak boleh diomongin lagi, tapi kamu sendiri malah terus mengulang pembahasan yang sama. Ini, uang penjualan cincin." Kang Surya memberikan uang padaku. "Astaghfirullahaladzim, Akang ...." Aku mengusap wajah, kemudian menatap Kang Surya dengan dada
"Akang tahu, Teh Salsa kerja di mana?" Aku balik bertanya."Di kota.""Iya, di kota. Kerjanya apa, Akang tahu?" tanyaku lagi. "Tadi Kang Marwan bilang, jadi pemandu lagu di tempat karaoke. Ya, terus kenapa jika di tempat karaoke? Kan, kerjanya cuma nganterin minuman ke pengunjung, kan?" Aku menggelengkan kepala seraya tersenyum sinis pada Kang Surya. Ternyata suamiku itu tidak tahu tentang dunia yang sekarang tengah dijelajahi mantan istrinya. Dalam pikirannya, tempat karaoke itu sama seperti kafe. Padahal, mungkin lebih dari itu. Iya, aku juga tahu tidak semua tempat karaoke kelam. Tidak semua pemandu lagu nakal, tapi tidak jarang juga ada pengelola tempat usaha tersebut yang menjajakan wanita untuk pelanggannya. Dan aku yakin, itulah pekerjaan Teh Salsa sekarang. "Tidak mungkin Salsa menjerumuskan anaknya sendiri, Syah," ujar Kang Surya, saat aku mengatakan kemungkinan yang terjadi dengan Neng Rahma. "Aku juga tidak ingin berpikir ke arah sana, Kang. Tapi, setelah kemarin mel
"Sah, sini!" Tangan Teh Dela melambai ke arahku. Dia bersama putrinya yang berusia lima tahun, tengah duduk di teras rumahnya seraya menghadap makanan serta segelas kopi. Aku tidak ingin menghampiri, tapi untuk menolak pun tidak punya alasan. Akhirnya, aku membawa Saga ke rumah Teh Dela, dan duduk lesehan bersama si tuan rumah. "Tadi Kang Dani ngapain, Sah?" tanya Teh Dela kemudian. "Nanyain Kang Surya. Tidak tahu mau apa. Katanya urusan laki-laki.""Oh ...." Teh Dela membulatkan mulut seraya mengangguk. Wanita yang selalu tampil cantik dengan rambut pirangnya itu menawariku makanan yang dia punya. Namun, aku menolaknya. Bukan jijik, tapi karena belum mau makan apa pun. Hanya Sagara saja yang makan biskuit dari tangan anaknya Teh Dela. "Sah, katanya kemarin kamu ke sekolahan si Rahma, ya?" tanya Teh Dela lagi. "Aku tahu dari adik iparku. Katanya, kamu bayar utang bekas jajan anak tirimu itu?" Aku mengangguk dengan senyum tipis. Ada penyesalan kenapa tadi aku tidak langsung m
"Waalaikumsalam." Aku dan Kang Marwan menjawab bersamaan. "Loh, kok Akang sudah pulang? Enggak turun?" lanjutku, bertanya pada pria yang tak lain adalah suamiku sendiri.Iya, Kang Surya lah yang menghampiri aku dan Kang Marwan di warung. Dia duduk di belakangku, membuat tubuh ini bergeser agar tidak memunggunginya. "Tadinya mau turun, tapi gak jadi." "Kenapa, Sur? Kini Kang Marwan yang bertanya. "Tidak apa-apa, Kang. Lagi gak pengen aja. Ngomong-ngomong, ini pada ngapain nongkrong di warung?""Tadinya, aku mau ke rumah kamu, Sur. Tapi, karena tahu jam segini kamu pasti di laut, akhirnya aku mampir saja ke warung untuk ngopi. Nah, kebetulan Aisyah ke sini mau beli garem, katanya. Aku ajak duduk aja, karena ada sesuatu yang ingin aku bahas." Kang Marwan menjelaskan. Suamiku manggut-manggut. Karena sudah ada Kang Surya, akhirnya Kang Marwan meminta kami untuk bicara di rumah saja. Aku pun langsung membeli bumbu dapur yang tadi sempat tertunda, kemudian pulang dengan dibonceng Kang
"Syah, jika nanti Neng Rahma pulang bersama Akang? Kamu tidak akan keberatan kan, kalau dia tinggal di sini bersama kita?" "Akang ...." Aku mengambil kedua tangan suamiku. "Kalau aku keberatan, tidak mungkin aku menyuruh Akang mencari tahu tentang Neng Rahma. Tidak mungkin aku mengatakan ada permintaan dia kepada Akang. Demi Allah, aku sangat ridho dia tinggal bersama kita di sini. Pergilah, Kang. Bawa Neng Rahma pulang," kataku seraya menatap sepasang bola mata cokelat di depanku. Kang Surya mengangguk pelan. Dia yang sudah rapi dan siap untuk pergi, langsung memelukku seraya berbisik di telinga. Memintaku mendoakan dia, agar diberikan kelancaran dalam perjalanan yang akan dia tempuh hari ini. Meskipun di dalam hati terbesit tanya, kenapa Kang Marwan tiba-tiba meminta pergi hari ini, tapi kejanggalan itu tidak aku sampaikan pada Kang Surya. Aku tetap mendoakan yang terbaik, meminta sama Sang Pencipta agar melindungi suamiku di mana pun ia berada. "Saga, Bapak pergi dulu, ya? Bap