Share

Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah
Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah
Author: Pena_yuni

Bab 1 Permintaan Anak Tiri

Author: Pena_yuni
last update Huling Na-update: 2024-01-11 13:59:00

"Minta uang, dong, Pak!"

Kaki yang hendak melangkah masuk, kuurungkan saat mendengar suara seorang perempuan dari dalam rumah.

Tadi, aku harus ke warung untuk membeli kopi. Dan saat kembali, ternyata rumah kami kedatangan tamu.

"Rahma, Bapak belum punya uang. Hasil laut Bapak, juga sedang sepi. Nanti kalau sudah ada uang, Bapak sendiri yang akan antar uangnya ke sana. Sekarang kamu sabar dulu, ya?"

"Sabar? Enggak bisa atuh, Pak! Seragam sama sepatuku sudah jelek!" Suara wanita itu meninggi. Neng Rahma namanya, anak kandung dari suamiku.

Aku sampai memegangi dada karena kaget. Anak itu selalu saja pakai urat jika bicara dengan ayahnya.

Padahal dia cantik, manis, tapi sayangnya cara bicara Neng Rahma sama seperti ibunya.

"Pakai yang lama, kan masih bisa, Neng?"

"Udah jelek, Pak!" ujar Rahma lagi. "Bapak ini jadi pelit sejak nikah sama si pin cang itu. Jangankan ngasih uang banyak, untuk beli keperluan sekolah aja, Bapak perhitungan."

"Bukan perhitungan, tapi saat ini memang belum ada, Neng."

"Bohong!" ujar Neng Rahma tidak percaya. "Pasti Bapak dilarang ngasih uang ke Neng, oleh si pin cang itu, kan?"

"Cukup, Rahma!"

"Akang!" Aku yang sedari tadi berdiri di luar, merangsek masuk ketika melihat Kang Surya beridiri dengan mata nyalang ke arah putrinya.

Yang aku takutkan, suamiku memukul putrinya yang baru saja menghinaku.

Iya, pasti karena ucapan Neng Rahma yang itu, yang membuat Kang Surya marah. Lagi-lagi Rahma menghina fisikku.

Ini bukan yang pertama Neng Rahma mengataiku. Sudah sering, bahkan sejak aku menikah dengan ayahnya, tiga tahun yang lalu.

Fisikku memang tidak sempurna. Sebelah kakiku tidak memiliki jari, juga sedikit panjang sebelah, hingga membuat cara jalanku tidak seperti orang pada umumnya.

Pin cang. Memang seperti itulah caraku berjalan.

"Istighfar, Kang. Jangan terbawa emosi," kataku, seraya mengusap-usap dada Kang Surya.

Neng Rahma berdiri. Dia menatapku benci seraya melipat kedua tangannya di perut.

"Bu, pasti kamu, kan yang sudah larang Bapak ngasih uang untukku? Jahat banget, kamu! Sudahlah merebut Bapak, sekarang kamu juga menguasai uangnya Bapak!"

"Astaghfirullah ...."

"Rahma, diam!"

Aku beristighfar, sementara Kang Surya kembali tersulut emosi hingga kakinya melangkah mendekati putrinya.

Lagi-lagi aku menahannya. Aku tidak mau Kang Surya berbuat kasar pada anak kandungnya itu.

"Berhenti menghina Aisyah. Bagaimanapun juga, dia ibumu, Neng."

"Ibu tiri! Ingat, ya Pak. Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai ibuku. Amit-amit aku punya ibu ca*at kayak gitu!" ujar Rahma, lalu berlalu keluar dari rumah kami.

"Astaghfirullahaladzim ...."

Kang Surya menjatuhkan tubuhnya di kursi seraya memijit keningnya.

Aku ikut duduk setelah suara motor matic Neng Rahma menjauh dari rumah. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Lama aku diam, hingga akhirnya Kang Surya menatapku seraya menggenggam tangan ini.

"Syah, maafkan Neng Rahma, ya? Lagi-lagi dia melukai hatimu," ujarnya dengan mata yang memerah.

Entah masih ada sisa amarah, entah karena dia sedih dengan hinaan yang dilontarkan putrinya padaku.

"Kang, tidak usah minta maaf, aku tidak apa-apa, kok." Tanganku membalas genggaman tangannya.

"Bibirmu tidak, tapi aku tidak tahu isi hatimu yang sebenarnya, Syah. Maafkan dia, ya?" ujar Kang Surya lagi.

Aku mengangguk lemah.

"Bukan hinaan dia yang membuat aku sakit hati, Kang. Tapi, tuduhannya yang mengatakan aku merebutmu darinyalah, yang membuatku tidak terima. Aku juga tidak pernah melarangmu memberikan uang pada dia, kan? Berapa pun itu."

"Maaf, Syah. Aku benar-benar minta maaf. Sejak menikah denganku, hanya luka hati yang kamu dapat. Entah harus dengan cara apa lagi aku membuat Neng Rahma menerima keberadaan kamu. Padahal, kamu baik, kamu lebih baik malah dari ibunya."

"Kan, aku pin cang, Kang. Itu yang Neng Rahma tidak suka dariku."

"Bagiku, cacat pisik tidak masalah, asal jangan cacat hati seperti ibunya Neng Rahma," ujar Kang Surya membuat mataku menyipit menatapnya. Lagi-lagi dia membawa-bawa mantan istrinya.

Pria yang aku tatap terkekeh. Kebekuan yang sempat terjadi, mencair juga dan suasana rumah menjadi hangat kembali.

Tidak berapa lama, Kang Surya pun pamit melaut. Sedangkan aku, segera pergi ke rumah Mak Nia, untuk mengambil bayiku yang tadi aku titipkan sebelum ke warung.

Jika kata Kang Surya aku hanya mendapatkan luka hati sejak menikah dengannya, tapi menurutku tidak. Ada bayi berusia lima bulan buah cinta kami yang membuatku selalu bahagia. Bahagia tak terkira karena dia lahir dengan fisik sempurna, tidak ca*at sepertiku.

"Sah, anak tirimu minta uang lagi?" tanya Mak Nia, tetanggaku yang sudah kuanggap ibu sendiri. Ia tukang urut di desa ini, makanya semua orang memanggilnya dengan sebutan 'Emak'.

"He'em, Mak. Biasalah, anak gadis banyak kebutuhannya." Aku tersenyum seraya memberikan ASI untuk anakku.

"Ck, baru juga tiga hari yang lalu dia datang, sekarang sudah datang lagi. Dipake apa, sih duitnya? Jangan-jangan ... dia disuruh ibunya, Sah."

"Ah, aku gak berani berpikir seperti itu, Mak. Takut salah duga."

Mak Nia berdecak seraya menyimpan kain jarik di pangkuanku.

Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya, lalu kembali dengan tape singkong beserta teh yang masih mengeluarkan asap dari dalam cangkir.

Perpaduan yang sempurna. Seperti aku dan Kang Surya, hingga akhirnya menghasilkan bayi laki-laki yang lucu dan menggemaskan.

*

Dua minggu telah berlalu dari kejadian waktu itu, Neng Rahma belum datang lagi.

Entah ada apa dengan hatiku, tiba-tiba saja ingat anak itu. Biasanya, dia datang dua atau tiga hari sekali, karena jarak rumahnya dan rumahku tidaklah terlalu jauh.

Akan tetapi, kali ini dia tak datang-datang. Jika diingat-ingat, ini waktu terlama Neng Rahma tidak meminta uang dari ayahnya.

"Kang, Neng Rahma sekarang jarang ke sini. Apa kamu melarangnya?" tanyaku pagi ini, sebelum Kang Surya pergi melaut.

Suamiku itu seorang nelayan. Dia turun ke laut pagi hari, lalu kembali malam. Bisa juga sebaliknya. Tergantung cuaca dan kondisi laut itu sendiri.

"Mana ada Akang larang, Syah? Emangnya dia anak kecil, yang bisa dilarang?" ujarnya dingin.

"Kalau gitu, Akang lihatlah dia di rumahnya. Takutnya dia sakit. Uang yang buat dia pun, sudah aku kumpulkan dan simpan. Bawa sekalian, ya?" kataku lagi.

"Enggak, ah. Nanti saja. Atau besok, deh. Biar Akang telpon dulu. Sekarang, Akang berangkat, ya? Jangan beberes kalau sekiranya Saga rewel. Biarin aja rumah berantakan juga, rumah sendiri ini."

"Iya," kataku seraya mengambil tangan Kang Surya yang baru saja mengelus kepalaku. Aku mencium punggung tangan suamiku, lalu dia pun pergi setelah mencium pipi putranya.

Satu jam telah berlalu, semua pekerjaan rumah sudah aku selesaikan. Saga seperti biasa aku titipkan pada Mak Nia selama aku beres-beres di rumah.

Niat hati ingin pergi ke rumah Mak Nia untuk mengambil Saga, tapi tidak jadi setelah melihat siapa yang datang.

Panjang umur. Baru saja dibicarakan dengan ayahnya, Neng Rahma akhirnya datang juga.

Gegas aku masuk ke kamar, mengambil uang yang aku kumpulkan selama dua minggu hasil laut Kang Surya.

"Bu," panggilnya ketus. Dia duduk di kursi seraya menekuk wajah.

Aku sudah biasa. Setidaknya, dia masih memanggilku dengan sebutan ibu.

"Neng, ke mana aja baru kelihatan? Sakit?" tanyaku, memperhatikan wajahnya yang pucat.

"Enggak."

"Ini, uang titipan dari Bapak," kataku seraya menyimpan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.

"Makasih."

Satu kata yang selama ini belum pernah aku dengar terlontar dari bibir Neng Rahma. Aku membeku, kemudian mengangguk.

"Sebenarnya ... aku ke sini bukan mau minta uang, Bu."

"Lalu?" tanyaku.

"Aku ...." Neng Rahma terlihat gugup.

"Bicara saja, Neng."

"Aku mau minta makan, boleh, gak Bu?"

Makan?

Neng Rahma yang anti dengan segala makanan dariku, sekarang minta makan?

Bibir ini terkatup rapat dengan mata menatap wajah Neng Rahma yang pucat. Dia menggigit bibir dengan jari-jari saling bertautan.

Benarkah ini Neng Rahma, anak tiri si lidah berduri? Dan haruskah aku menyuruhnya pergi saja, agar dia merasakan sakit hati seperti yang sering aku rasakan?

"Bu." Dia menatapku sendu.

"Punten, Neng. Tapi ...."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 34 ENDING

    Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 33 Menuju Ending

    "Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 32 Namanya Samudra

    "Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 31 Sakitnya Kehilangan

    "Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 30 Melahirkan

    "Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 29 Apa Sekarang Waktunya?

    "Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 28 Hujan

    "Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 27 Hamil Pembawa Rezeki

    "Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 26 Pergi ke Pasar Malam

    "Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status