Share

Bab 7 Isi Surat yang Sebenarnya

"Lagi apa, Syah?"

Aku menoleh pada pria yang baru saja turun dari sepeda motornya.

Dia menghampiriku yang masih mematung di dekat tempat sampah.

"Kamu ngapain berdiri di sini? Jangan bakar sampah jam segini, angin masih kenceng, asapnya nanti masuk ke rumah," ujar Kang Surya lagi.

"Aku bukan untuk bakar sampah, Kang. Tapi ... apa malam itu Akang baca semua pesan dari Neng Rahma?" Kini aku yang bertanya.

Kang Surya mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang mungkin terasa aneh untuk dijawab.

Aku mengulang pertanyaan yang sama, berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hati.

"Enggak, sih. Lagian, dari atasnya sudah bahas utang, pasti ke bawahnya juga tentang uang, Syah. Sudahlah, ngapain terus dibahas lagi, sih? Kata kamu, enggak boleh diomongin lagi, tapi kamu sendiri malah terus mengulang pembahasan yang sama. Ini, uang penjualan cincin." Kang Surya memberikan uang padaku.

"Astaghfirullahaladzim, Akang ...." Aku mengusap wajah, kemudian menatap Kang Surya dengan dada yang berdebar.

Ada rasa ingin marah, tapi tidak mungkin aku mengeluarkan kata kasar atau makian pada suamiku itu.

Beberapa kali aku menarik napas untuk menetralkan perasaan emosi yang bergejolak dalam dada.

Membaca kalimat terakhir surat Neng Rahma, membuat rasa tenangku menghilang seketika. Khawatir dan curiga pada anak gadis itu kembali datang seiring dengan rasa kesal pada ayahnya.

"Baca ini, Kang!" Aku memberikan sisa kertas yang terbakar pada Kang Surya.

"Apa ini, Syah?"

"Ini surat dari Neng Rahma yang tidak Akang baca semuanya. Dia minta bantuanmu, Kang. Sudah aku bilang, dia tidak baik-baik saja. Kenapa, sih Akang itu enggak baca semua isi suratnya? Allah ...."

Aku mengusap wajah dengan frustrasi, sedangkan pria di depanku hanya diam melihat kertas yang aku berikan.

"Mungkin maksud dia, bebaskan dari hutangnya, Syah."

"Enggak!" ujarku cepat. "Menurutku bukan itu, Kang. Hatiku mengatakan, Neng Rahma tidak baik-baik saja. Ayolah, Kang. Hubungi dia, tanyakan keadaannya. Jangan karena dia selalu buat kamu marah, kecewa, kamu jadi abai pada dia. Dia darah dagingmu, Kang. Dia sama seperti Sagara. Meskipun dia sudah dewasa, pasti ada saatnya dia membutuhkanmu."

Kang Surya bergeming. Matanya menyorotiku yang berujar panjang lebar, kemudian tangannya mengambil ponsel dari saku celananya.

Seraya berjalan ke teras rumah, dia terus mengotak-atik ponselnya, lalu menempelkan ke telinga.

Aku mengikuti langkah kaki suamiku. Kami duduk berdampingan di teras dengan perasaan bingung dan cemas.

"Tidak aktif," ucap Kang Surya.

"Coba telepon biasa, Kang. Mungkin si Neng gak punya kuota."

"Sudah, Syah. Tetep gak aktif," ujar Kang Surya lagi.

"Ya Allah .... Di sekolah gak ada, nomornya tidak bisa dihubungi. Astaghfirullah .... Perasaanku makin gak tenang, Kang."

"Yasudah, aku ke rumahnya saja. Siapa tahu dia ada di rumah."

"Iya, Kang. Pastikan dia baik-baik saja," ujarku.

Tidak menunggu nanti, Kang Surya pun langsung pergi lagi saat itu juga.

Entahlah, meskipun Neng Rahma sering menyakiti hatiku dengan kata-kata hinaannya, tapi rasa khawatir pada dia selalu ada.

Aku mengerti perasaannya. Aku paham bagaimana sepinya hidup tanpa orang tua. Meskipun Neng Rahma masih punya orang tua yang lengkap, tapi perpisahan ibu dan bapaknya pasti menghadirkan luka yang tidak bisa kita lihat oleh mata.

Aku selalu berpikir, jika kelakuan Neng Rahma yang selalu mencari gara-gara, sebenarnya ungkapan dari rasa sepinya. Dia ingin diperhatikan, dia butuh kehangatan keluarga, tapi hatinya dikuasi ego. Kecewa karena wanita yang jadi ibu sambungnya, tidak sempurna.

Mungkin jika aku tidak cacat, dia akan mau tinggal di sini bersama kami. Dasar Kang Surya-nya saja yang tidak pandai memilih ibu tiri.

"Syah, itu si Surya mau ke mana lagi? Kelihatannya buru-buru banget?" Mak Ina datang seraya mengendong Sagara.

Niat untuk masak, malah tertunda karena menemukan hal ganjil dari surat Neng Rahma. Akhirnya, aku malah duduk di teras rumah seraya mengobrol dengan Mak Ina.

"Mau ke rumah Neng Rahma, Mak."

"Ngapain?" tanya Mak Ina lagi.

"Mau ketemu aja sama anaknya, Mak." Aku menjawab bohong pertanyaan wanita paruh baya tersebut.

*

Kulirik jam dinding yang menempel di atas televisi. Sudah pukul lima sore, tapi Kang Surya belum juga kembali.

Sudah aku hubungi lewat pesan W******p, tapi tidak ada balasan darinya.

Berbagai pertanyaan datang mengusik ketenangan hati. Mungkinkah Neng Rahma sakit dan tidak mengizinkan Kang Surya pulang?

Atau ....

Segera aku beristighfar saat pikiran buruk hinggap dan membuatku curiga pada suamiku.

"Assalamualaikum!"

Pintu terbuka, dan aku tersenyum lega saat melihat siapa yang masuk.

"Waalaikumsalam. Kok, lama, Kang? Gimana, Neng Rahma baik-baik saja, kan?"

Kang Surya men desah panjang seraya menjatuhkan bokongnya di lantai beralaskan karpet. Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, dan memintaku mengambilkan air minum untuknya.

Tidak ada alasan untuk menolak. Aku pun pergi ke dapur, lalu kembali dengan segelas air putih di tangan.

"Ini, Kang." Aku memberikan gelas pada Kang Surya.

"Terima kasih, Syah."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Penasaran terus mendorongku untuk bertanya. Namun, lidah ini kutahan untuk tidak berucap apa pun sebelum Kang Surya benar-benar siap untuk bicara.

Suamiku membuka kemeja yang sedari tadi membalut tubuhnya, terus menggantinya dengan kaus yang ada dalam keranjang, tepat di sampingnya. Baru sore tadi aku angkat dari jemuran.

"Neng Rahma gak ada di rumahnya, Syah."

"Apa, Kang? Gak ada?" Aku bertanya memastikan.

"Iya, gak ada. Rumahnya sepi. Pintu dikunci, gordennya pun ditutup semua."

Aku memperbaiki letak dudukku, lalu memindahkan Saga agar tetap dalam pantauan.

"Kalau Neng Rahma gak ada, terus kenapa Akang lama di sana? Hampir tiga jam, loh." Aku bertanya lagi.

"Aku ngobrol sama Kang Marwan dan beberapa tetangga di sana. Yang namanya diajak mampir, masa iya Akang tolak. Mereka juga membicarakan tentang ...."

Kang Surya menggantung ucapannya. Matanya melihat ke arahku seperti meminta izin untuk menyebutkan nama seseorang.

"Teh Salsa?" Aku menebak. Dan suamiku mengangguk dengan cepat. "Kenapa dengan Teh Salsa, Kang? Ngomong aja, aku gak apa-apa, kok," lanjutku.

"Iya, kata mereka, Salsa ke kota lagi. Dan ada kemungkinan besar, Neng Rahma dibawa kerja di kota."

"Kerja dengan Teh Salsa? Di tempat yang seperti itu?" Aku berujar kaget.

"Tempat seperti apa yang kamu maksud, Syah?"

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status