Share

Bab 7 Isi Surat yang Sebenarnya

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-25 09:37:02

"Lagi apa, Syah?"

Aku menoleh pada pria yang baru saja turun dari sepeda motornya.

Dia menghampiriku yang masih mematung di dekat tempat sampah.

"Kamu ngapain berdiri di sini? Jangan bakar sampah jam segini, angin masih kenceng, asapnya nanti masuk ke rumah," ujar Kang Surya lagi.

"Aku bukan untuk bakar sampah, Kang. Tapi ... apa malam itu Akang baca semua pesan dari Neng Rahma?" Kini aku yang bertanya.

Kang Surya mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang mungkin terasa aneh untuk dijawab.

Aku mengulang pertanyaan yang sama, berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hati.

"Enggak, sih. Lagian, dari atasnya sudah bahas utang, pasti ke bawahnya juga tentang uang, Syah. Sudahlah, ngapain terus dibahas lagi, sih? Kata kamu, enggak boleh diomongin lagi, tapi kamu sendiri malah terus mengulang pembahasan yang sama. Ini, uang penjualan cincin." Kang Surya memberikan uang padaku.

"Astaghfirullahaladzim, Akang ...." Aku mengusap wajah, kemudian menatap Kang Surya dengan dada yang berdebar.

Ada rasa ingin marah, tapi tidak mungkin aku mengeluarkan kata kasar atau makian pada suamiku itu.

Beberapa kali aku menarik napas untuk menetralkan perasaan emosi yang bergejolak dalam dada.

Membaca kalimat terakhir surat Neng Rahma, membuat rasa tenangku menghilang seketika. Khawatir dan curiga pada anak gadis itu kembali datang seiring dengan rasa kesal pada ayahnya.

"Baca ini, Kang!" Aku memberikan sisa kertas yang terbakar pada Kang Surya.

"Apa ini, Syah?"

"Ini surat dari Neng Rahma yang tidak Akang baca semuanya. Dia minta bantuanmu, Kang. Sudah aku bilang, dia tidak baik-baik saja. Kenapa, sih Akang itu enggak baca semua isi suratnya? Allah ...."

Aku mengusap wajah dengan frustrasi, sedangkan pria di depanku hanya diam melihat kertas yang aku berikan.

"Mungkin maksud dia, bebaskan dari hutangnya, Syah."

"Enggak!" ujarku cepat. "Menurutku bukan itu, Kang. Hatiku mengatakan, Neng Rahma tidak baik-baik saja. Ayolah, Kang. Hubungi dia, tanyakan keadaannya. Jangan karena dia selalu buat kamu marah, kecewa, kamu jadi abai pada dia. Dia darah dagingmu, Kang. Dia sama seperti Sagara. Meskipun dia sudah dewasa, pasti ada saatnya dia membutuhkanmu."

Kang Surya bergeming. Matanya menyorotiku yang berujar panjang lebar, kemudian tangannya mengambil ponsel dari saku celananya.

Seraya berjalan ke teras rumah, dia terus mengotak-atik ponselnya, lalu menempelkan ke telinga.

Aku mengikuti langkah kaki suamiku. Kami duduk berdampingan di teras dengan perasaan bingung dan cemas.

"Tidak aktif," ucap Kang Surya.

"Coba telepon biasa, Kang. Mungkin si Neng gak punya kuota."

"Sudah, Syah. Tetep gak aktif," ujar Kang Surya lagi.

"Ya Allah .... Di sekolah gak ada, nomornya tidak bisa dihubungi. Astaghfirullah .... Perasaanku makin gak tenang, Kang."

"Yasudah, aku ke rumahnya saja. Siapa tahu dia ada di rumah."

"Iya, Kang. Pastikan dia baik-baik saja," ujarku.

Tidak menunggu nanti, Kang Surya pun langsung pergi lagi saat itu juga.

Entahlah, meskipun Neng Rahma sering menyakiti hatiku dengan kata-kata hinaannya, tapi rasa khawatir pada dia selalu ada.

Aku mengerti perasaannya. Aku paham bagaimana sepinya hidup tanpa orang tua. Meskipun Neng Rahma masih punya orang tua yang lengkap, tapi perpisahan ibu dan bapaknya pasti menghadirkan luka yang tidak bisa kita lihat oleh mata.

Aku selalu berpikir, jika kelakuan Neng Rahma yang selalu mencari gara-gara, sebenarnya ungkapan dari rasa sepinya. Dia ingin diperhatikan, dia butuh kehangatan keluarga, tapi hatinya dikuasi ego. Kecewa karena wanita yang jadi ibu sambungnya, tidak sempurna.

Mungkin jika aku tidak cacat, dia akan mau tinggal di sini bersama kami. Dasar Kang Surya-nya saja yang tidak pandai memilih ibu tiri.

"Syah, itu si Surya mau ke mana lagi? Kelihatannya buru-buru banget?" Mak Ina datang seraya mengendong Sagara.

Niat untuk masak, malah tertunda karena menemukan hal ganjil dari surat Neng Rahma. Akhirnya, aku malah duduk di teras rumah seraya mengobrol dengan Mak Ina.

"Mau ke rumah Neng Rahma, Mak."

"Ngapain?" tanya Mak Ina lagi.

"Mau ketemu aja sama anaknya, Mak." Aku menjawab bohong pertanyaan wanita paruh baya tersebut.

*

Kulirik jam dinding yang menempel di atas televisi. Sudah pukul lima sore, tapi Kang Surya belum juga kembali.

Sudah aku hubungi lewat pesan W******p, tapi tidak ada balasan darinya.

Berbagai pertanyaan datang mengusik ketenangan hati. Mungkinkah Neng Rahma sakit dan tidak mengizinkan Kang Surya pulang?

Atau ....

Segera aku beristighfar saat pikiran buruk hinggap dan membuatku curiga pada suamiku.

"Assalamualaikum!"

Pintu terbuka, dan aku tersenyum lega saat melihat siapa yang masuk.

"Waalaikumsalam. Kok, lama, Kang? Gimana, Neng Rahma baik-baik saja, kan?"

Kang Surya men desah panjang seraya menjatuhkan bokongnya di lantai beralaskan karpet. Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, dan memintaku mengambilkan air minum untuknya.

Tidak ada alasan untuk menolak. Aku pun pergi ke dapur, lalu kembali dengan segelas air putih di tangan.

"Ini, Kang." Aku memberikan gelas pada Kang Surya.

"Terima kasih, Syah."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Penasaran terus mendorongku untuk bertanya. Namun, lidah ini kutahan untuk tidak berucap apa pun sebelum Kang Surya benar-benar siap untuk bicara.

Suamiku membuka kemeja yang sedari tadi membalut tubuhnya, terus menggantinya dengan kaus yang ada dalam keranjang, tepat di sampingnya. Baru sore tadi aku angkat dari jemuran.

"Neng Rahma gak ada di rumahnya, Syah."

"Apa, Kang? Gak ada?" Aku bertanya memastikan.

"Iya, gak ada. Rumahnya sepi. Pintu dikunci, gordennya pun ditutup semua."

Aku memperbaiki letak dudukku, lalu memindahkan Saga agar tetap dalam pantauan.

"Kalau Neng Rahma gak ada, terus kenapa Akang lama di sana? Hampir tiga jam, loh." Aku bertanya lagi.

"Aku ngobrol sama Kang Marwan dan beberapa tetangga di sana. Yang namanya diajak mampir, masa iya Akang tolak. Mereka juga membicarakan tentang ...."

Kang Surya menggantung ucapannya. Matanya melihat ke arahku seperti meminta izin untuk menyebutkan nama seseorang.

"Teh Salsa?" Aku menebak. Dan suamiku mengangguk dengan cepat. "Kenapa dengan Teh Salsa, Kang? Ngomong aja, aku gak apa-apa, kok," lanjutku.

"Iya, kata mereka, Salsa ke kota lagi. Dan ada kemungkinan besar, Neng Rahma dibawa kerja di kota."

"Kerja dengan Teh Salsa? Di tempat yang seperti itu?" Aku berujar kaget.

"Tempat seperti apa yang kamu maksud, Syah?"

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 34 ENDING

    Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 33 Menuju Ending

    "Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 32 Namanya Samudra

    "Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 31 Sakitnya Kehilangan

    "Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 30 Melahirkan

    "Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 29 Apa Sekarang Waktunya?

    "Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 28 Hujan

    "Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 27 Hamil Pembawa Rezeki

    "Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne

  • Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah    Bab 26 Pergi ke Pasar Malam

    "Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status