Share

Bab 6

Pagi ini Zia terkejut dengan kedatangan seorang pria yang mengaku orang suruhan dari suami wanita yang tewas di dalam mobil bersama Danu. Apalagi lelaki itu membawa sejumlah bukti transfer dari wanita bernama Anggraeni Puspa Cantika. Bagaimana dia tidak kaget, almarhum suaminya memakai uang wanita itu dengan jumlah yang sangat fantastis. Lima ratus juta rupiah lebih? Untuk apa uang sebanyak itu?

"Maaf, Bu Zia, jadi bagaimana? Kira-kira kapan Ibu bisa mengembalikan uang itu?" tanya lelaki bernama David itu.

Zia yang masih setengah bingung hanya memandang David dengan tatapan kosong, bahkan suara lelaki itu tidak dia dengar sama sekali.

"Ekhm ....." David berdehem.

"Ya? Ba-bagaimana, Pak?" tanya Zia dengan suara sedikit tergagap.

David tersenyum rikuh, walaupun dia pernah berada dalam dunia hitam yang keras, tetapi hatinya tidak tega melihat Zia. Ah, seandainya bukan karena tugas dan kewajibannya sebagai anak buah dari Rafqi, sudah pasti dia akan menolak.

"Ekhm, kapan Ibu bisa membayar uang itu? Pak Rafqi tidak meminta semuanya. Dia hanya meminta setengah dari nominal itu," papar David

"Setengah?" tanya Zia polos.

"Ya, Pak Rafqi hanya meminta tiga ratus juta saja," jawab David tegas.

"Eum, bukannya semua hampir enam ratus juta? Lebih malah?" Zia bertanya lagi untuk meyakinkan.

"Ya, benar, tetapi Pak Rafqi tidak sekejam itu. Beliau anggap sisanya adalah investasi yang gagal." Ah, sebenarnya jawaban itu hanya karangan Davis saja.

Rahmat yang sedari awal terdiam karena sama terkejutnya kemudian angkat bicara, "Apa tidak ada rincian tertulis dan surat perjajiannya uang itu digunakan untuk apa saja?"

David tersenyum, untung saja dia sudah menyiapkan jawaban dari pertanyaan yang lelaki itu sudah perkirakan sebelumnya, "Selama ini Pak Rafqi percaya sepenuhnya kepada Ibu Puspa, jadi beliau sama sekali tidak tahu tentang bisnis antara istrinya dengan Bapak Danu."

"Kalau begitu, kami butuh waktu untuk mengumpulkan uang itu, Pak." Rahmat mencoba bernegosiasi.

"Kira-kira berapa lama, ya?" David memastikan.

Zia dan sang ayah hanya saling pandang, untuk saat ini, jujur saja mereka belum bisa berfikir.

"Kami juga belum tahu, Pak," lirih Zia.

David berfikir sejenak sebelum kembali berkata, "Baiklah kalau begitu, besok saya akan kembali lagi bersama Pak Rafqi. Tadi beliau berniat ikut datang, tetapi mendadak ada urusan. Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak, Bu."

Rahmat dan Zia ikut berdiri dan sama-sama mengangguk, kemudian mengantar David menuju pintu. Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai lelaki tadi meninggalkan halaman rumah mereka.

Sepeninggal David, Zia dan ayahnya kembali duduk di ruang tamu dan saling terdiam. Ada banyak hal yang kini sedang mereka pikirkan juga segudang pertanyaan yang ada di hati mereka.

"Zi, bagaimana dengan sertifikat rumah ini?" tanya Rahmat.

Zia menoleh, kemudian menunduk, "Zia baru ingat, sertifikat rumah ini di jadikan jaminan sama Mas Danu di Bank, Yah," lirihnya.

"Danu pinjam uang ke Bank?" Rahmat terkejut.

Zia mengangguk, "Iya."

"Untuk apa?" penasaran Rahmat.

"Kalau tidak salah, saat itu Mas Danu butuh uang untuk biaya kuliah Dani, sama beresin urusan sengketa warisan sama pamannya yang licik itu, Yah," papar Zia.

"Kenapa Danu nggak mau cerita? Ayah masih ada sedikit tabungan, 'kan bisa dipakai dulu, daripada harus pinjam ke Bank," sesal Rahmat.

Rahmat menghela nafas panjang, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Bukan hanya karena masalah yang kini sedang mereka hadapi. Ada sejumput rasa penyesalan dalam hatinya. Seandainya saja dulu dia tidak mengenalkan Zia kepada Danu yang merupakan anak salah satu sahabatnya mungkin nasib Zia tidak akan seperti ini. Menjadi janda di usia yang masih tergolong muda dengan hutang yang besar.

"Yah, jangan terlalu difikirkan, nanti tensinya naik, Zia gak mau Ayah sakit gara-gara masalah ini," khawatir Zia

Rahmat berusaha tersenyum untuk menghibur sang putri, "Maaf, ya, Nak. Kalau saja dulu Ayah nggak ngenalin kamu sama Danu–"

"Ayah! Jangan ngomong gitu, Zia nggak menyesal sama sekali mengenal dan menjadi istri Mas Danu, Yah," potong Zia.

Lelaki yang sebentar lagi memasuki usia 58 tahun itu terharu mendengar perkataan putri sulungnya, setelah semua yang terjadi pun dia tetap membela almarhum suaminya, "Masih berapa sisa pinjaman ke Bank, Zi?"

"Sekitar dua puluh juta lagi, kemarin Dani bilang, dia yang akan membayar cicilannya tiap bulan."

Ayah dua anak itu mengangguk, "Dani dan Diah sekarang sudah bekerja, 'kan?"

"Iya, Yah. Setidaknya ada yang menanggung kebutuhan Mama sehari-hari," jawab Zia sambil mengingat tentang ibu mertuanya.

Mereka kembali terdiam sesaat, kemudian Rahmat kembali bersuara, "Jadi gimana kita ngembaliin uang Pak Rafqi, ya, Zi?"

Zia menggeleng karena dia pun bingung, "Apa kita jual saja rumah ini?"

"Ayah ada tabungan tapi tidak sebesar itu. Kalau bisa rumah ini jangan samapai dijual, Zi. Apa kita minta bantuan Zila dan Zidan?"

"Jangan, Yah! Mereka pasti banyak kebutuhan juga, Zia nggak mau merepotkan mereka, kasihan," tolak Zia.

Rahmat mengangguk, walaupun Zila, dan suaminya sama-sama bekerja, tetapi tidak enak rasanya kalau harus merepotkan mereka. Apalagi selama ini, Zila lah yang memenuhi kebutuhan Rahmat di rumah.

"Yasudah, kita tunggu Pak Rafqi saja besok, Yah." Zia mencoba tersenyum untuk menentramkan hati sang Ayah.

*****

David duduk di depan Rafqi setelah menyerahkan kembali berkas yang tadi dia bawa ke rumah Zia. Dia mengamati raut muka sang bos yang terlihat sedang kurang bersahabat. Sebagai teman sekaligus bawahan, dia sudah sangat hafal dengan tabiat dan kebiasaan Rafqi.

"Vid, kira-kira kalau aku tawarin wanita itu buat jadi pengasuh, gimana?" tanya Rafqi.

David mengernyitkan dahi mendengar ide bossnya. "Maksudnya?"

"Ekhm, ya gitu, aku tawarin dia jadi pengasuhnya Nasya. Dia pasti gak bisa balikin uang itu, 'kan?" remeh Rafqi.

"Kalau dilihat, sih, iya," jawab David agak ragu.

"Ya makanya, aku tawarin dia jadi pengasuh aja, buat nyicil."

David mendengkus, "Kenapa gak di ikhlasin aja, sih! Uang segitu juga gak ada artinya buat Bos!"

"Bos!" David yang melihat Rafqi tersenyum sendiri menjadi agak khawatir.

Lelaki tiga puluh lima tahun itu sedikit terkejut, "Apa, sih, Vid!"

"Lah, Bos senyum-senyum kenapa?" David balik bertanya.

"Gak apa-apa!" Rafqi mengalihkan pembicaraan.

"Jangan bilang Bos jatuh cinta sama wanita itu?" David berkata sambil memicingkan mata.

"Sembarangan! Justru aku mau bantu wanita itu biar punya kerjaan!" elak Rafqi.

"Ya, tapi gak harus jadi pengasuhnya Nasya juga, Bos! Dia itu lulusan Sarjana, lho!"

Ayah dari Nasya menyeringai, "Kamu kirq aku nggak tahu!"

"Ya, ma–"

David belum selesai berbicara tetapi Rafqi langsung memotong, "Kamu kok cerewet, memangnya kenapa kalau lulusan Sarjana jadi pengasuh? Atau jangan-jangan kamu naksir dia?" tuduh Rafqi balik.

David hanya menggeleng, ingin rasanya dia memukul kepala teman sekaligus bosnya itu jika tidak mengingat sopan santun. Lelaki itu memilih diam dan tidak lagi mendebat.

Rafqi mengalihkan pandangan keluar jendela sambil sambil mendesah, "Dia tidak akan benar-benar menjadi pengasuh Nasya."

"Maksudnya?" tanya David tidak mengerti.

"Nanti juga kamu bakalan tahu, Vid!" jawab Rafqi tanpa beban membuat lelaki yang duduk di depannya semakin bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status