Share

Bab 93

Author: Wei Yun
last update Huling Na-update: 2025-12-06 16:35:31

​Siang itu, matahari bersinar terik di atas kota Qing Hua. Kereta kuda yang membawa Jenderal Han Feng dan Li Hua menuju ibukota telah bersiap di depan gerbang kota Qing Hua. Adipati Zhao dan Nuan Xi, istrinya, berdiri di sana untuk memberikan salam perpisahan. Adipati Zhao, dengan wajah yang dihiasi senyum ramah, menyerahkan beberapa kantong berisi makanan ringan dan manisan kering.

​"Jenderal, Nyonya Han," sapa Adipati Zhao, memberikan hormat dengan tangan tergenggam. "Hati-hati di jalan. Ini sedikit oleh-oleh dari Qing Hua. Manisan buah kering ini favorit Nuan Xi, semoga Nyonya Han menyukainya."

​"Terima kasih banyak, Adipati," balas Han Feng, mengangguk sopan. "Kau terlalu baik. Aku tak akan pernah melupakan jasamu. Akan kusampaikan salammu pada Kaisar," ucap Han Feng membalas dengan hormat.

​Nuan Xi mendekati Li Hua, menggenggam tangan sang Nyonya Jenderal dengan hangat. "Hati-hati, Nyonya Han. Kami menunggumu kembali untuk berjalan-jalan di pasar bunga." ​Li Hua berusaha memas
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 121

    Sinar matahari pagi baru saja menyentuh atap Paviliun Utama, namun He Xin, dayang pribadi Rou Nan, sudah melangkah terburu-buru. Wajahnya tegang, tapi matanya berkilat penuh muslihat. Ia langsung menerobos masuk ke kamar pribadi Tuan Putrinya. ​"Tuan Putri! Ada kabar yang sangat menguntungkan bagi kita," bisik He Xin sambil membungkuk dalam.​Rou Nan, yang sedang mematut diri di depan cermin perunggu, menoleh sedikit. "Bicara pelan-pelan, He Xin. Kau terlihat seperti baru saja melihat hantu."​"Lebih baik dari itu, Tuan Putri. Ada dayang rendahan di bagian pembuangan kotoran terkena penyakit aneh. Seluruh kulitnya melepuh, muncul bentol kemerahan berisi air. Semua orang menjauhinya karena takut tertular. Saat ini, dia dibiarkan membusuk di kamarnya tanpa pengobatan sedikit pun."​Rou Nan meletakkan sisir gadingnya. "Lalu? Apa urusannya penyakit dayang kotor itu denganku?"​He Xin mendekat ke telinga sang Putri, suaranya merendah. "Bukankah Tuan Putri ingin melenyapkan Bai Xiang tanpa

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 120

    ​Di Paviliun Selatan, Li Hua duduk sendirian di depan meja kayu yang sudah lapuk. Cahaya lampion yang redup menari-nari di wajahnya yang sayu. Hingga tengah malam, tidak ada satu pun pelayan dapur yang mengantarkan makanan, bahkan air minum pun harus Xiao Niao ambil sendiri dari sumur belakang lalu memasaknya.​"Nyonya Muda, maafkan Niao Niao. Hamba sudah ke dapur berkali-kali, tapi mereka bilang tidak ada instruksi untuk memberi jatah makan ke paviliun ini. Mereka bilang semua sisa makanan sudah dibuang," ujar Xiao Niao yang masuk dengan tangan hampa dan wajah yang sangat sedih.​"Tidak apa-apa, Xiao Niao. Aku tidak lapar. Tidurlah, kau pasti sangat lelah setelah membersihkan tempat ini seharian tanpa bantuan," kata Li Hua mencoba tersenyum, meski perutnya terasa perih.​"Tapi Nyonya belum makan sejak siang ...."​"Sudah, pergilah tidur. Aku akan baik-baik saja," potong Li Hua lembut.​Setelah Xiao Niao masuk ke kamarnya yang berada di samping, perut Li Hua mulai berbunyi nyaring. Ra

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 119

    Pagi itu, suasana kediaman utama Keluarga Han terasa mencekam meskipun matahari bersinar terik. Han Feng melangkah masuk ke paviliun utama dengan rahang mengeras, diikuti Li Hua yang berjalan menunduk di belakangnya. Di kursi kebesaran, Nyonya Besar Han sedang menyesap teh ditemani Rou Nan yang tampak sangat puas dengan dirinya sendiri.​"Ibu, aku sudah membawa Bai Xiang kembali," ujar Han Feng dingin, memecah kesunyian paviliun.​Nyonya Besar Han meletakkan cangkirnya dengan bunyi denting yang tajam. Ia bahkan tidak repot-repot mengangkat wajahnya. "Oh, selirmu itu sudah datang? Mengapa kau harus repot-repot menjemputnya dari markas, Han Feng? Bukankah prajurit biasa saja cukup untuk mengawal seorang wanita seperti dia?"​"Dia istriku, Ibu. Bukan selir. Sudah sepatutnya aku sendiri yang menjemputnya," sapa Han Feng tegas, suaranya sedikit meninggi.​"Istri atau bukan, tempatnya bukan di bangunan utama," sahut Nyonya Besar dengan nada dingin yang membeku. Ia akhirnya menatap Li Hua de

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 118

    Sepanjang perjalanan kembali ke Markas Longyan, keheningan mencekam menyelimuti interior kereta. Li Hua menyandarkan kepalanya pada bahu Wen Mei, berpura-pura terlelap demi menghindari rentetan pertanyaan yang menyudutkan. Di balik kelopak matanya yang terpejam, rasa bersalah berdenyut di benak Li Hua. Ia terus terbayang pada Guru Liu dan rahasia kelam mengenai racun Bayangan Bulan. ​Bagaimana jika Wen Mei menyadari kebohonganku? batin Li Hua didera kecemasan. Namun, ironisnya, rasa mual yang semula hanya akal-akalannya kini mulai terasa nyata akibat kegelisahan yang menghimpit dadanya dengan begitu menyesakkan. ​Setibanya di markas, kabar mengenai pingsannya Li Hua menjalar lebih cepat daripada embusan angin. Han Feng, sang Jenderal yang biasanya tampak tenang dan tak tergoyahkan, kini berdiri di depan aula utama dengan raut wajah mendung yang kentara. Begitu roda kereta berhenti berputar, ia tidak membiarkan prajuritnya membukakan pintu. Dengan kasar, ia sendiri yang menarik pin

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 117

    Langkah kaki Li Rui terdengar terburu-buru, menggesek permukaan jalanan pasar yang berdebu. Napasnya memburu, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, setiap gang sempit, dan setiap kerumunan orang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Sebagai pengawal pribadi, kehilangan jejak Nyonya Mudanya adalah sebuah kegagalan fatal yang bisa berujung pada hukuman berat, atau lebih buruk lagi, membahayakan nyawa Li Hua. ​"Sial, ke mana perginya Nyonya Muda?" gumam Li Rui dengan suara rendah yang penuh kepanikan. ​Ia sudah keluar masuk gang berkali-kali, namun sosok yang ia cari seolah hilang ditelan bumi. Di tengah keputusasaannya, ia melihat Zhu Yu Liang berjalan mendekat bersama Wen Mei yang tampak pucat. ​"Li Rui!" seru Zhu Yu Liang dengan nada tegas. "Di mana Nyonya Muda Han? Mengapa kau sendirian?" ​Li Rui menghentikan langkahnya, dadanya naik turun dengan cepat. "Tuan Muda Zhu ... aku ... aku kehilangan jejaknya. Aku sudah mencari ke segala arah, tapi belum menemukannya." ​Mata

  • Balas Dendam Putri Terbuang: Jenderal, Mengakulah!   Bab 116

    Zhu Yu Liang berjalan cepat ke arah Wen Mei. Ia menundukkan badannya, tangannya yang kuat memegang kedua bahu Wen Mei dengan lembut.​“Putri, kau tidak apa-apa?” tanya Zhu Yu Liang, suaranya kembali menjadi lembut, tetapi masih ada sedikit getaran kemarahan yang tertahan.​Wen Mei menggeleng, air matanya kembali menetes. “Aku … aku tidak terluka,” katanya dengan suara serak. Ia menatap wajah Zhu Yu Liang yang kini terpampang jelas, memancarkan ketampanan yang dingin dan aura perlindungan. “Kau … kau datang.”​“Tentu saja aku datang,” ujar Zhu Yu Liang, menyapu sisa air mata di pipi Wen Mei dengan ibu jarinya yang kasar. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”​Wen Mei merasa lega yang luar biasa. Ketakutan yang mencekiknya hilang seketika saat ia melihat Zhu Yu Liang di depannya. Dalam momen yang begitu rentan, Wen Mei tidak bisa menahan perasaannya. Ia bergerak maju dan memeluk Zhu Yu Liang dengan erat.Lantai gang yang lembap itu terasa seolah berguncang di bawah kaki Zh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status