"Assalamu'alaikum." Marina mengucap salam dari ambang pintu."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Safitri yang sibuk menata masakan di atas meja. Wanita itu menoleh pada sumber suara. Beliau melihat menantunya tersenyum sambil melepaskan wedges-nya."Marina, masuk, Nak. Mana Andra dan anak-anak." Bu Safitri menerima uluran tangan menantunya sambil memandang ke luar. Tidak ada siapa-siapa di sana.Wanita itu kemudian mengajak menantunya duduk di meja makan yang masih satu ruangan dengan dapur bersih. Di ambilnya teko dan menjerang air untuk membuatkan teh buat menantunya."Ma, nggak usah repot-repot bikin teh.""Nggak apa-apa."Bu Safitri tetap membuatkan teh untuk Marina. Di ambilnya cangkir keramik dengan hiasan bunga mawar di permukaannya. Bau wangi teh aroma melati menguap dari cangkir cantik itu. Wanita penuh wibawa juga menyuguhkan irisan buah semangka dan pir di piring. "Ayo, di minum. Buahnya baru saja Mama potong tadi." Cangkir di taruh di meja depan Marina.Marina meraih gagang cangki
Wanita itu ingat bagaimana Inaya melayani dan bersikap pada Andra. Itu saja sudah menjadi sihir ampuh tanpa butuh ke dukun untuk minta mantra. Bu Safitri juga menasehati agar Marina lebih rajin berdoa biar diberikan jalan terbaik untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi kemelut rumah tangga mereka. Menantu yang di nasehati hanya mengangguk.Marina segera pamitan setelah di rasa cukup bicara dengan mertuanya. Hasilnya tidak sesuai harapan. Bu Safitri mengantarkan sang menantu hingga wanita itu pergi dengan mobilnya.Urusan hati tidak bisa di campuri. Bu Safitri tidak bisa menyuruh Andra untuk memilih. Beliau hanya memberikan nasehat dan pandangan, setiap punya kesempatan berbincang dengan sang putra. Beliau juga ingat kata-kata Izam yang bicara dengan istrinya kemarin. Waktu itu beliau sedang memangku cucunya yang masih bayi. Sementara putrinya sedang menemani suaminya makan siang."Inaya itu orangnya gimana, Mas?""Baik menurutku, Dek. Sopan, sabar, dan ramah. Dia telaten ngerawat
Meski di landa penasaran dengan apa yang ingin di katakan oleh Tony, tapi Andra tetap profesional menjalani pekerjaannya. Rapat berjalan lancar. Tak ada basa-basi berlebihan dari para supplier yang datang siang itu. Mereka bercanda setelah usai meeting di jam yang menepati waktu makan siang."Aku sudah pesan makanan dari kantin agar di antar ke ruanganmu. Kita bicara di sana saja nanti," kata Tony saat mereka melangkah beriringan di lorong kantor. Ruangan meeting terletak di bangunan terpisah dengan ruangan Andra."Oke."Andra meminta Tony untuk duluan ke ruangannya, karena ada telepon masuk dari Marina."Halo.""Mas, pulang jam berapa nanti.""Jam empat dari kantor. Kamu sudah makan siang apa belum?""Baru saja selesai. Aku mau keluar jalan-jalan ya. Nggak jauh, kok. Depan tuh ada mall. Daripada di dalam kamar saja, aku suntuk ini.""Tidak usah jauh-jauh perginya. Kamu belum hafal kota ini.""Iya, aku tahu. Kalau begitu aku pergi dulu. Bye."Panggilan di akhiri Marina. Andra mematung
Angin sore berhembus sejuk ketika Andra memasuki halaman rumahnya. Pekarangan depan penuh daun kering berserakan. Juga rumput liar yang mulai menyerang tanaman bunga. Padahal baru juga sepuluh hari di tinggal. Tangan dingin yang rajin merawat tanaman dan membersihkan halaman, kini tidak diketahui keberadaannya.Andra masuk rumah. Menyalakan sebagian lampu, biar jika ditinggal nanti rumahnya tak lagi gelap gulita. Ada aroma khas perempuan itu terhidu di penciumannya. Kamarnya masih rapi seperti saat terakhir mereka pergi dari sana. Segera Andra berwudhu untuk menunaikan Salat Asar.Di bukanya almari. Harum pewangi baju menyapa hidungnya. Tatapannya menyapu baju-baju Inaya yang masih utuh dan tersusun rapi.Segera diambilnya beberapa pakaian kerja dan baju santai untuk di bawa ke hotel tempatnya dan Marina menginap sementara ini. Barang-barang itu di susun dalam koper kecil. Ada laptop dan beberapa berkas kerja. Setelah di rasa cukup dengan apa yang perlu di bawa, Andra melangkah gontai
Pak Karsa berdiri dan menyalami Andra, yang kemudian duduk di bangku depannya. Seorang ibu setengah baya menghampiri untuk menanyakan Andra pesan minum apa. Teh hangat jadi pilihan pria itu."Seseorang yang saya suruh nyari Bu Naya menemukan tempat tinggal mereka, Pak. Tiga jam perjalanan dari sini. Mereka tinggal di pesisir selatan, di perbukitan dan tidak jauh dari pantai. Tapi orang saya tidak berani mendekat, ada beberapa orang yang mengawasi di sana.""Mengawasi?" Andra kaget. Apakah perkiraannya selama ini benar?"Iya, Pak. Saya kurang tahu pastinya bagaimana. Tapi ada beberapa orang yang mengawasi di sana. Tempat itu area bedengan yang memiliki banyak pekerja, semua warga desa sana."Andra diam mencerna ucapan Pak Karsa. Benarkah orang-orang itu suruhan mertuanya yang ingin menyingkirkan Inaya. Persis seperti yang dilakukan pada perempuan itu delapan tahun yang lalu. Sengaja dibuat tertekan hingga akhirnya depresi dan berakhir di rumah sakit jiwa. Entah bagaimana nasibnya sekar
Di kejauhan tampak bukit menghijau dan lembah ngarai. Terlihat juga beberapa orang yang sedang mengisi polibag dengan tanah yang sudah di campur pupuk kompos. Tidak jauh dari orang-orang itu, ada bangunan usang yang temboknya sudah mengelupas dan terlihat batu-bata merah yang lapuk. Atapnya terlihat banyak genteng yang tersingkap.Langkah mereka terhenti saat dua orang laki-laki datang menghampiri. Wajah garang mereka terlihat sangat tidak bersahabat. "Siapa kalian?" tanya seorang laki-laki bertubuh besar. Matanya tajam menyelidik pada Andra. Seperti sedang mengingat sesuatu. Lantas dia berbisik pada rekan di sebelahnya.Dengan tenang Andra menjawab. "Kami ingin melihat tanaman di bedengan sini. Dan berniat membeli beberapa ribu tanaman jati."Dua laki-laki itu saling berbisik. Seperti yang telah di pesan oleh bosnya. Jika bertemu Andra lebih baik jangan terlibat keributan."Semua tanaman di sini sudah di pesan. Dan kami tidak menerima pesanan lagi. Maaf, sebaiknya kalian pergi saja."
Inaya berbaring di jok tengah dengan kepala berada di pangkuan ibunya."Pergilah, Pak Andra. Saya yang akan mengurus dua orang itu," kata Pak Karsa sambil menunjuk dua laki-laki dengan wajah lebam dan kedua tangannya terikat kain di belakang tubuh, yang di seret Pak Karsa dan Rano untuk mengikuti mereka. Beberapa warga di sana, tetap diam. Takut untuk ikut campur. Mereka hanya memandang dari kejauhan."Segera bawa pergi dari sini, Pak. Cari tempat yang aman. Saya yakin temannya yang kabur tadi pasti sudah laporan sama bos mereka." Pesan Andra."Saya akan menghubungi teman saya yang polisi, Pak," jawab Reno. Dua orang bertato tadi melotot mendengar kata Polisi di sebut. Pesan dari bosnya, jangan sampai berurusan dengan aparat sedikit pun. Makanya selama ini mereka tidak bersikap kasar pada Inaya dan kedua orang tuanya.Andra masuk mobil dan melaju ke arah kota. Jalan yang terjal membuatnya tidak bisa melaju kencang. Bahkan harus sangat hati-hati karena Inaya sedang hamil. Tapi dia jug
Saat kembali ke kamar, Inaya tengah di suapi oleh ibunya. Setelah mendapatkan perawatan, tubuh wanita itu tidak selemas tadi. Ia duduk dengan dua bantal menyangga punggungnya. Andra tersenyum dan mendekat. Untuk bicara, pria itu menunggu sampai istrinya selesai makan."Sudah, Nak Andra. Ibu mau Salat Maghrib dulu, ya," pamit wanita itu sambil meletakkan bekas tempat nasi jatah dari rumah sakit di atas meja, lantas keluar kamar dan di antar Pak Redjo untuk menuju ke mushola."Kamu lebih baik sekarang."Inaya mengangguk. "Terima kasih, Mas.""Bapak sudah cerita, mengenai peristiwa hari itu. Mas minta maaf karena membuat kamu menderita selama tiga bulan ini. Mas mencarimu ke mana-mana dan baru bertemu sekarang." Andra menggemam jemari istrinya. Tangan itu tidak lagi sedingin tadi."Mbak Marina bagaimana? Apa masih marah?" tanya Inaya pelan dan hati-hati."Jangan di bahas dulu. Tunggu sampai kamu benar-benar pulih. Kamu akan aman di sini, karena tak sembarang orang bisa menjenguk kamu. Ma