"Enak ya kalau Eyang disini. Eyang rajin bikin camilan," kata Anggi ketika kami berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati pisang coklat yang Ibu buat.
"Iya, nggak perlu jajan lagi," kata Angga yang dari tadi tidak berhenti mengunyah.
"Hayo kalian sudah habis berapa makanannya. Satu buah seribu lho. Nanti bayar uangnya sama Eyang," kataku menggoda mereka.
"Kamu ini ada-ada saja Nis," kata Ibu tertawa.
Indahnya kumpul bersama keluarga. Sayangnya tidak ada mas Fandi.
Sore ini Mas Fandi pulang ke rumah, setelah pulang dari kantor.
"Assalamualaikum." Mas Fandi mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam," kataku menyambut Mas Fandi.
Mas Fandi mendekati Ibu dan anak-anak. Anak-anak yang tadinya masih tertawa-tawa langsung terdiam, Ibu pun juga diam.
"Mau kopi, Pa?" tanyaku memecah keheningan.
Aku pulang kantor sudah ada Mbak Sisi dirumah."Kapan datang, Mbak?" tanyaku basa-basi."Nggak usah basa-basi," jawab Mbak Sisi dengan ketus.Darahku langsung naik. Pagi-pagi sudah dibuat bad mood, pulang kantor kondisi capek mak lampir sudah nongol di rumah. Ditambah jawaban yang membuat orang emosi. Aku tarik napas dalam-dalam, biar emosiku turun."Sisi, ditanya baik-baik kok jawabnya kayak gitu," kata Ibu marah."Dia kan nanyanya basa-basi Bu!" jawab Mbak Sisi."Masih bagus Anis mau nanya, daripada kamu langsung diusir!""Ibu membela Anis terus. Yang jadi anak Ibu itu siapa? Sisi atau Anis?""Ibu membela yang benar!" jawab ibu."Maaf Bu, Anis ke dalam dulu," kataku sambil berjalan menuju ke kamar.Aku langsung mandi untuk menyegarkan badan dan pikiran, sebelum berhada
Hari ini pulang dari kantor aku dan Sandra mampir ke mall untuk belanja bulanan. Banyak yang akan aku beli, karena semenjak Ibu di rumah selalu membuat cemilan, jadi aku menyediakan bahan-bahan yang mungkin diperlukan Ibu."Banyak sekali belanjaanmu, Nis?" tanya Sandra."Iya, San. Ibu di rumah sering buat makanan, makanya aku beli macam-macam bahan. Biar Ibu berkreasi dengan bahan yang ada.""Ibu mertuamu baik ya, Nis.""Alhamdulillah, sudah seperti ibuku sendiri."Kami kembali asyik mencari bahan yang lain."Lho Pak Hasan nyari apa? Sama siapa?" kata Sandra menyapa seseorang.&
Jadwal Mas Fandi mundur sehari, jadi tiga hari berada di Jakarta. Dan sejak kejadian Mbak Sisi dan Lana diusir oleh Angga, mereka tidak lagi datang ke rumah. Angga memang bisa diandalkan."Pa, tolong Leni suruh hapus postingan di medsos. Tadi ada beberapa orang teman kantor Papa yang japri Mama, menanyakan kabar tentang pernikahan Papa. Apa yang harus Mama jawab? Kan sudah Mama bilang, jangan posting di Medsos! Norak banget sih!" protesku pada Mas Fandi ketika sudah pulang dari Jakarta.Mas Fandi hanya diam, tidak menggubris ucapanku. Aku jadi kesal."Sudahlah Ma, kayak gitu aja dibesar-besarkan. Nggak usah banyak protes. Mama itu hanya orang lain yang kebetulan terikat pernikahan dengan Papa. Jadi nggak usah sok ngatur! Papa sudah bosan mendengar Mama ngomong tentang Leni yang selalu salah di mata Mama!" jawab Mas Fandi.Enak sekali dia ngomong kayak gitu. Nggak mikirin perasaanku.
Ibu sudah datang ke rumah sakit pagi ini sendirian karena Angga harus sekolah. Ibu tampak segar, mungkin tadi malam bisa beristirahat.Tok..tok..Aku berjalan menuju pintu, ternyata ada Mas Hendra dan Mbak Yuni."Kok nggak ngasih tahu kami kalau Anggi dirawat di sini?" kata Mbak Yuni."Maaf Mbak, kami tidak mau merepotkan!" kataku pada Mbak Yuni. Aku merasa tidak enak dengan Mbak Yuni. Mbak Yuni sangat baik denganku, tidak tega rasanya membebaninya dengan berbagai masalahku."Dapat kabar dari siapa Mbak?" tanyaku heran."Dari Fandi, tadi malam menelpon," kata Mas Hendra.Untung Anggi sedang tidur karena habis minum obat, kalau tidak pasti dia akan marah mendengar orang menyebut nama papanya.Aku menceritakan semuanya pada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Juga kelakuan Mbak Sisi kepada kami."Salah ap
Pagi ini Ibu sudah datang ke rumah sakit, membawa makanan untukku."Ini Nis sarapannya," kata Ibu sambil menyodorkan makanan padaku."Makasih Bu, ayo sarapan bareng Anis," ajakku."Ibu nanti saja. Tadi sudah sarapan teh sama roti," jawab Ibu.Mas Fandi bangun ketika dokter datang memeriksanya."Tekanan darah Bapak sangat tinggi, bisa mengakibatkan gejala stroke. Konsumsi makanannya diperhatikan ya Pak? Sebenarnya semua itu intinya dari pikiran. Kalau pikiran tenang, insyaallah penyakit-penyakit menghilang. Usia seperti Bapak dengan tekanan darah yang sangat tinggi sangat rentan dengan yang namanya stroke. Usahakan rileks ya, Pak? Jangan lupa juga perbanyak ibadahnya. Ikhtiar dan ibadah harus seimbang," kata dokter ketika visit."Terima kasih Dokter.""Sama-sama, cepat sembuh ya, Pak! Jangan kelamaan disini, nanti bosan melihat saya terus,
Akhirnya Mas Fandi hari ini pulang dari rumah sakit. Ibu juga pamit pulang ke rumahnya, karena sudah hampir dua bulan Ibu tinggal bersamaku.Drtt...drttHpku berbunyi, ada panggilan dari Anggi ketika aku masih di kantor."Halo, Dek!" Aku menjawab telpon."Ma, Akung dan Uti ada di rumah?""Hah? Yang bener, Dek!""Iya, barusan nyampe.""Ya udah, tolong diberesin kamar tamu ya, Dek!""Oke, Ma!"Wah gawat Bapak dan Ibu ada di rumah. Jangan
Pagi menjelang siang, aku masih sibuk dengan pekerjaan yang harus aku selesaikan. Otak rasanya sudah mau pecah, melihat tumpukan kertas di depanku. Semangat, Nis, kamu pasti bisa, aku menyemangati diriku sendiri.Aku menarik nafas dalam-dalam."Semangat!" teriakku."Kenapa, Bu?" tanya seorang siswa SMK yang sedang magang di kantor.Aku menoleh dan tersenyum malu."Nggak apa-apa, Dek. Sedang menyemangati diri sendiri," ucapku."Ibu perlu bantuan?" tanya siswa itu."O, iya, Ibu lupa kalau ada kalian. Sini bantu Ibu, urutkan dokumen-dokumen i
"Ma, kok Mama mengambil keputusan sendiri! Tidak menghargai Papa!" Kata Mas Fandi ketika malam ini pulang ke rumah.Aku sudah tidak terlalu peduli Mas Fandi mau menginap dimana. Kalau dia datang kesini ya aku terima, kalau dia tidak pulang tidak aku cari lagi."Keputusan apa, Pa?" tanyaku."Mau pergi ke Jogja dengan membawa supir. Mama anggap Papa ini apa? Emang Papa nggak sanggup apa membawa mobil sampai Jogja!""Mama anggap Papa nggak ada. Emangnya Papa peduli sama kami? Ketika Angga memberi tahu kalau dia lulus SNMPTN Papa cuek saja. Jadi untuk apa kami meminta pendapat Papa. Papa juga terlalu sibuk dengan keluarga baru, keluarga lama sudah tidak penting lagi bagi Papa."