Share

Mama Kenapa?

Sayup-sayup aku mendengar suara Anggi.

"Mama... Mama."

Aku membuka mata, memandang sekeliling. Ternyata aku ada di kamarku sendiri. Kulihat ada Mas Fandi dan anak-anak. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kepalaku terasa sangat berat. 

"Tadi Mama pingsan, Anggi manggil Mas Angga. Mas Angga yang mengangkat Mama kesini," kata Anggi menjelaskan apa yang terjadi. Aku lihat Mas Fandi menatapku seperti merasa bersalah. 

"Minum dulu tehnya, Ma?" Kata Mas Fandi. Aku diam saja, tidak meresponnya.

"Mama, minum ya teh hangat ini. Angga lho yang membuatnya tadi," kata Angga sembari mengambil teh. Aku mengangguk dan berusaha untuk bangun. Mas Fandi berusaha membantu, tapi aku menolak.

Aku meminum teh hangat buatan Angga, tak terasa bulir-bulir air mata menetes.

"Kenapa Mama menangis?" tanya Anggi.

"Nggak apa-apa, cuma kepala Mama pusing sekali," jawabku dengan rasa nyeri di hati.

"Mama makan ya?" kata Mas Fandi, aku menggelengkan kepala. 

"Ya, sudah, Ma. Mama istirahat ya?" kata Angga.

Aku mengangguk, Angga dan Anggi keluar dari kamarku. Aku berbaring dan memiringkan tubuhku memunggungi Mas Fandi. Kudengar Mas Fandi menghela nafas. 

"Ma, apa yang terjadi? Kok Mama bisa pingsan?" tanya Mas Fandi.

Aku masih diam. 

"Ma, ada apa Ma?" tanya Mas Fandi lagi.

Aku berusaha bangkit dari tempat tidur. 

"Papa sadar nggak sih. Banyak hal yang membuat Mama tersakiti. Hancur hati Mama, banyak yang Mama pikirkan. Bagaimana dengan anak-anak nantinya, bagaimana mental mereka, mental Mama, keluarga besar kita. Semua ini membuat Mama stres," kataku sambil menangis. 

"Apakah tujuh belas tahun kita bersama tidak ada artinya bagi Papa? Kita memulai hidup dari nol, belum punya apa-apa. Suka duka kita lewati bersama. Sampai punya dua anak. Semua itu tidak ada artinya ya, Pa? Apa Mama sudah tidak menarik lagi bagi Papa? Mama bisa merawat diri dengan skin care yang mahal biar kelihatan muda dan cantik. Tapi Mama masih memikirkan masa depan anak-anak, biaya mereka nantinya. Eh, ternyata malah Papa sibuk bermain hati dengan perempuan lain."

Untuk saat ini hanya menangis yang aku bisa. Pikiranku buntu untuk mengambil suatu tindakan. Mas Fandi terdiam.

"Mama nggak habis pikir dengan Papa. Begitu besarnya pesona mantan, hingga menghilangkan logika seorang Affandy Nugraha. Itu bukan cinta, tapi hanya nafsu dunia yang ada di kepala."

Mas Fandi tampak kaget, wajahnya terlihat pucat dan ia pun gugup.

"Kenapa? Kaget ya kalau ketahuan sudah main dengan perempuan murahan itu. Tadi dia datang kesini. Enak sekali datang-datang minta maaf terus minta izin menikah! Sudah sejauh itukah perbuatan kalian, Pa? Sampai dia hamil! Benar Pa dia hamil?" bentakku pada Mas Fandi.

Mas Fandi diam seribu bahasa.

"Benar Pa dia hamil?" tanyaku lagi dengan suara yang agak melemah.

Mas Fandi masih diam.

"Bener Pa? Kalau tidak menjawab Mama akan teriak biar anak-anak tahu papanya berbuat zina."

Mas Fandi mengangguk. Aku langsung lemas terkulai. Air mata berlomba-lomba untuk turun. Kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing. 

"Papa yakin kalau itu anak Papa?" tanyaku lagi.

"Kenapa Mama ngomong seperti itu?" 

"Mungkin saja ia tidak melakukan dengan Papa saja. Bisa saja dengan orang lain, ya kan? Kalau dengan Papa yang tidak terikat pernikahan saja ia mau melakukannya, apalagi dengan laki-laki lain, dengan iming-iming uang."

"Leni nggak seperti itu, Ma?" bela Mas Fandi.

"Oh, membela perempuan itu ya? Terus Papa mau bilang kalau Leni itu wanita baik-baik? Begitu? Wanita baik-baik tidak akan melakukan hubungan dengan suami orang, apalagi sampai berzina."

Mas Fandi hanya terdiam. Akhirnya dia keluar dari kamar. Entah kemana, aku tidak mau ambil pusing. Kalau mau pergi, pergi saja sekalian nggak usah pulang. Aku merasa geram sekali.

Aku mencoba berbaring dan memejamkan mata. Aku tidak bisa membayangkan berbagi hati dan ranjang dengan perempuan lain. Aku bukan perempuan yang berhati seluas samudra, yang menerima suaminya menikah lagi. Aku tidak mau memberi izin suami menikah lagi, walaupun itu jaminannya masuk surga, mending mencari surga dengan jalan yang lain. 

Aku melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tapi rasa kantuk itu belum juga datang, sedangkan pikiran tetap asyik berkelana. Banyak sekali yang aku pikirkan. Apa kata kedua orang tuaku, jika mereka tahu masalah ini? Bagaimana dengan tanggapan anak-anak, juga teman-teman dan tetangga? Aku pusing sekali Memikirkan semua itu.

Tiba-tiba aku merasa menggigil kedinginan, tapi badanku terasa panas. Kulihat Mas Fandi tidur di sebelahku. Berarti tadi aku sempat terlelap.

Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari tempat tidur dan melaksanakan salat. Mengadukan segala permasalahan hidupku kepada sang pemilik hidup. 

Selesai menunaikan salat subuh, aku menyiapkan sarapan untuk Mas Fandi dan anak-anak. Kepalaku terasa sangat berat. Anggi membantuku menyiapkan makanan di meja. Ketika akan mengambil piring, tiba-tiba pandanganku gelap.

Prang...

"Mama... Mama."

***

Aku terbangun dan merasakan kepalaku yang sangat berat. Pusing sekali rasanya. Perasaanku tadi aku masih ada di dapur, kok sekarang sudah di tempat tidur? Apa yang terjadi padaku? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian tadi.

"Ma, sudah bangun Ma?" kata Mas Fandi sambil membantuku duduk di tempat tidur.

"Papa nggak kerja?" tanyaku karena aku melihat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"Enggak. Papa nungguin Mama. Makan dulu ya? Sesudah itu minum obat. Tadi Mama pingsan, Angga memanggil dokter Nesti untuk memeriksa Mama."

Mas Fandi memaksa aku untuk makan. Dengan telaten dia menyuapi aku. Aku sedih, seandainya kita tidak sedang bermasalah, pasti aku sangat bahagia dengan perhatiannya.

"Anak-anak sekolah kan, Pa?" tanyaku pada Mas Fandi.

"Iya Ma. Sekarang Mama minum obat ya?" Mas Fandi sudah menyiapkan semuanya. Aku meminum obat yang diberikan oleh Mas Fandi.

"Mama istirahat saja ya. Papa akan nungguin Mama." Mas Fandi berkata lagi.

"Kalau Papa mau pergi, pergi saja. Mama bisa di rumah sendirian," jawabku sambil membaringkan tubuhku lagi.

"Enggak, Papa akan tetap disini. Mama sekarang istirahat saja," sahut Mas Fandi sambil menyelimuti tubuhku.

Aku hanya terdiam. Mataku terpejam, tapi pikiranku masih mengingat kejadian kemarin. Kenapa Mas Fandi tega melakukan semua ini? Apakah aku dan anak-anak tidak begitu berarti bagimu Mas? Apakah aku sudah membosankan bagimu Mas? Begitu berat ujian yang aku terima, rasanya tidak sanggup menghadapinya. Kalau tidak memikirkan anak-anak, mungkin aku bisa berbuat nekat.

Astaghfirullahaladzim, apa yang aku pikirkan ini? Maafkan hambaMu ini ya Allah. Aku harus kuat, demi anak-anak dan diriku sendiri. Akan aku buktikan bahwa aku mampu menghadapinya. Mataku terasa berat, rasa kantuk pun datang.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu jangan kalah dgn perempuan itu dn kmu jangan kmu ijinin dia nikah lagi dn lebih baik kmu ngomong ke anak2 jangan kmu pikul sendiri dn juga kmu ngomong ke klga besar kmu atas perbuatsn Fandi .biar Leni hamil karena klo gitu g d nikah Fandi
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
laki² bangsattt, jangan lemah jadi perempuan !!! hempaskan lelaki sampah di tempatnya !!!
goodnovel comment avatar
Yung
dasar lelaki tak punya hati,semoga aja nanti dia kena azab dunia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status