Sejak kejadian kemarin, aku merasa jijik dengan Mas Fandi, sepertinya rasa cinta di hatiku mulai hilang. Aku bertahan karena anak-anak. Jika kami berpisah, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana kehidupan kami nantinya?
Mas Fandi tidak membahas lagi masalah pernikahan. Ia mulai perhatian lagi dengan kami. Mungkin merasa bersalah, tapi entahlah. Mungkin saja ia menutupi sesuatu yang lebih besar lagi.
Hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Walaupun pikiranku entah kemana, tapi aku tetap berangkat kerja. Sampai di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku.
Klunting...klunting… ponselku berbunyi. Dari berangkat tadi aku belum sempat mengecek pesan di ponsel. Segera aku ambil ponsel dan mengeceknya.
Ada beberapa pesan chat W* yang tidak aku kenal nomornya. Aku buka pesan itu. Betapa terkejutnya aku, melihat foto-foto tersebut. Foto-foto Mas Fandi dan Leni sedang menikah. Aku langsung lemas tidak bertenaga, duniaku terasa hancur. Ingin rasanya aku berteriak sangat keras. Tapi ini di kantor, nanti malah menimbulkan banyak pertanyaan. Aku mengambil nafas panjang, untuk meredam emosiku. Kupandangi lagi foto-foto itu, yang membuat aku kaget ternyata ada foto Mbak Sisi. Berarti Mbak Sisi ikut andil dalam pernikahan mereka. Ia tahu tapi tidak mau memberitahuku. Betapa teganya Mbak Sisi padaku.
Aku dengan Mbak Sisi memang tidak terlalu akrab, berbicara hanya ala kadarnya saja. Mbak Sisi seorang ibu rumah tangga dan Mas Ikhsan bekerja mengurus salah satu cabang usaha orangtuanya, usaha toko bangunan yang sangat maju.
"San, tolong diselidiki foto-foto ini ya?" kataku sambil mengirim foto-foto pernikahan Mas Fandi pada Sandra.
"Dapat foto dari mana ini?" tanya Sandra.
"Dari nomor yang tidak aku kenal."
"Oke, nanti aku hubungi Adi."
"Makasih ya San."
"Yang sabar ya, Nis. Jangan emosi yang berlebihan, ingat kesehatanmu. Bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka sudah tahu perselingkuhan papanya?" tanya Sandra.
"Belum, San. Aku tidak tega untuk memberitahu mereka."
"Tapi mereka harus tetap diberitahu. Akan sangat menyakitkan jika mereka tau dari orang lain."
"Iya, nanti aku pikirkan dulu caranya."
Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku buntu. Sangat buntu.
Aku mencoba menghubungi nomor yang tadi mengirim foto. Tapi sudah tidak aktif lagi. Entahlah, apakah aku harus marah atau sedih dengan orang yang mengirimi aku foto itu. Yang jelas aku berterima kasih karena sudah memberi tahu sesuatu yang disembunyikan.
***
Sore ini pulang dari kerja Mas Fandi tampak biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tidak menyambut seperti biasanya, tapi aku tetap menyiapkan segala keperluannya.
Wajah tampannya menunjukkan perhatiannya padaku, tapi hatinya? Pasti bukan untukku. Pintar sekali Mas, kamu menutupi semuanya. Tunggu saja waktunya nanti aku bongkar semuanya.
Drtt...drtt
Sandra menelponku.
"Halo?" sapaku pada Sandra.
"Ternyata benar Nis, Fandi kemarin sore menikah siri dengan Leni. Yang jadi saksi pak RT." Sandra memberitahu melalui telepon.
Tanpa kusadari, air mataku menetes. Tak mampu berkata apa-apa.
"Nis, kamu nggak apa-apa?" tanya Sandra.
"I'm okay! Makasih ya infonya!" kataku dengan suara yang parau menutup telepon. Langsung aku terisak.
"Kenapa, Ma?" tanya Mas Fandi yang tiba-tiba mendekatiku.
"Nggak apa-apa," jawabku sambil berjalan menuju ke kamar Anggi.
Aku masuk ke kamar Anggi, ia sedang mengerjakan tugas.
"Kenapa, Ma?" tanya Anggi.
"Nggak apa-apa, Mama cuma pengen nungguin kamu belajar. Boleh kan?" kataku.
"Boleh dong, Ma," kata Anggi.
"Kamu belajar aja, Mama mau tiduran."
Aku tiduran sambil memainkan ponselku. Membaca artikel-artikel tentang permasalahan di dalam rumah tangga. Untuk mencari pencerahan. Tiba-tiba rasa kantuk menyerang.
Aku terbangun, ternyata aku tertidur di kamar Anggi. Kulihat Anggi sudah tidur disebelahku. Terdengar suara azan Subuh, segera aku bergegas untuk melakukan kewajibanku.
***
Di kantor pikiranku tidak tenang, aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan dan aku lakukan.
"Bu Anis sakit? Kok pucat sekali," tanya Dewi, pegawai di kantor.
"Enggak kok Wi. Kurang tidur aja," jawabku pelan.
"Apa Ibu ada masalah kok kurang tidur?" tanya Dewi lagi.
"Ya seusia Ibu kayak gini emang susah tidur malam."
"Saya ambilkan minum ya, Bu? Teh atau kopi?" tawar Dewi.
"Kopi saja ya Wi."
"Oke Bu," kata Dewi keluar dari ruangan.
"Halo Nis, kamu pucat sekali?" kata Sandra yang tiba-tiba muncul di ruangan.
"Iya San, aku nggak bisa tidur."
"Bu, ini kopinya," kata Dewi sambil meletakkan kopi di meja kerja.
"Makasih ya Wi."
"Sama-sama Bu."
"Dewi, yang teh itu untuk siapa?" tanya Sandra pada Dewi.
"Ibu mau?" kata Dewi.
"Boleh, makasih ya Wi," kata Sandra sambil menerima teh dari Dewi.
Dewi mengangguk, kemudian keluar dari ruangan.
"Apa yang akan kamu lakukan, Nis?" kata Sandra ketika Dewi sudah keluar dari ruangan.
"Entahlah San. Yang aku heran, ternyata Mbak Sisi ada di acara itu. Berarti dia mengetahui pernikahan itu ya? Tega sekali dia," Kataku dengan emosi.
"Yang sabar ya Nis. Hanya itu yang bisa aku lakukan, memintamu untuk bersabar. Tapi kalau kamu butuh tempat untuk bertukar pikiran, kamu tahu kan, aku selalu ada untukmu."
"Makasih banyak ya, San. Kamu memang temanku yang paling mengerti aku."
Hanya dengan Sandra aku membicarakan masalah ini. Karena memang hanya dia teman baikku.
***
Waktu istirahat siang, Sandra mengajak aku makan di luar. Biar nggak suntuk di kantor terus, mencari suasana baru untuk menaikkan mood bekerja kami.
Ketika kami tiba di restoran, aku melihat Mbak Sisi dan teman-temannya baru keluar dari restoran. Teman-temannya sepertinya orang kaya semua, dilihat dari barang-barang yang mereka kenakan.
"Nis, itu kan kakak iparmu," kata Sandra sambil menunjuk ke arah Mbak Susi dan teman-temannya.
"Iya, sama siapa itu ya?" tanyaku penasaran.
"Itu kan Keyla, kamu tunggu disini ya?" kata Sandra lagi.
Sandra keluar dari mobil dan berjalan mendekati mereka yang sedang berjalan menuju ke mobil. Aku tetap di dalam mobil, malas bertemu dengan Mbak Sisi. Aku hanya mengamati mereka sambil mengambil foto mereka. Tak lama kemudian, Sandra masuk ke mobil.
"Ayo Nis, kita makan," ajak Sandra.
Aku keluar dari mobil dan masuk ke restoran dengan Sandra.
"Keyla itu sosialita, Nis. Aku heran kok Sisi bisa berteman dengan mereka ya? Coba aku lihat medsos Keyla," kata Sandra dengan tangan mengutak-atik ponselnya. Berselancar di dunia maya untuk mencari informasi tentang kegiatan Keyla.
"Nih, coba lihat foto-foto mereka," kata Sandra lagi sambil menunjukkan ponselnya padaku.
Aku amati semua yang ada di ponsel Sandra. Aku terkejut melihat gaya sosialita Mbak Sisi. Padahal kehidupan ekonominya biasa saja. Kok bisa mengikuti gaya Keyla ya? Berapa banyak uang yang dihabiskan Mbak Sisi demi bisa ikut gengnya Keyla? Aku kok pusing memikirkannya.
Tiba-tiba aku ada rencana jahat untuk Mbak Sisi, karena dia mendukung pernikahan siri mas Fandi. Lihat saja Mbak Sisi, aku akan mencari informasi tentang kamu dan tunggu tanggal mainnya.
"San, nanti tolong kamu tanya-tanya sama Keyla ya? Tanya tentang Mbak Sisi. Aku mau informasi seakurat mungkin," kataku pada Sandra.
"Pasti kamu ada rencana tertentu," kata Sandra.
Aku tersenyum.
"Pasti. Akan kubalas sakit hatiku dengan membuat mereka merasa dikuliti. Sekarang mereka bahagia diatas penderitaan ku. Tapi nanti yang terjadi justru kebalikannya. Dan saat itu terjadi, aku bisa tertawa dengan puas. Mungkin aku terkesan jahat, tapi…..terserahlah."
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku