Langkahku semakin cepat ketika kulihat bapak mulai membuka pintu mobilnya."Bapak ...." Aku kembali berteriak sambil berlari. Air mata sudah mengalir deras membasahi kedua pipi.Laki-laki yang kini terlihat lebih tegap dan berwibawa itu menoleh ke arahku. Namun, seper sekian detik kemudian, masuk ke dalam mobil hitam miliknya. Diikuti wanita yang usianya tampak lebih muda dari ibu.Aku masih berusaha untuk mengejarnya. Berharap bapak masih mengenali anak perempuannya yang dulu ditinggalkan kini sudah beranjak dewasa.Langkahku sudah sangat dekat ketika mobil yang bapak kendarai mulai melaju perlahan. Namun, sesaat kemudian melesat semakin kencang mengabaikan panggilanku yang terus meneriakkan namanya.Aku pasrah. Tungkai kakiku melemah dan ambruk ke lantai. Terduduk lemas menatap kepergian mobil bapak yang keluar dari area mall. Aku tergugu. Menangis sesenggukan. Tertunduk seorang diri.Tak ku hiraukan tatapan iba dari orang-orang yang melewati tubuhku. Aku hanya ingin menangis. Ingin
Hari pertama di sekolah, aku masih merasa begitu canggung. Apalagi teman-teman di sini terlihat jauh berbeda dengan teman-teman saat di kampung dulu. Penampilan anak sekolah di sini lebih modis dan gaya. Membuatku merasa minder untuk bercampur baur dengan mereka.Waktu pulang sudah tiba. Riana terlihat telah menungguku di luar kelas. Majikan rasa teman itu melambaikan tangan saat aku baru saja keluar ruangan. Dengan senyum mengembang, dia menghampiriku dan mengajakku untuk segera pulang.Riana pernah bercerita, jika Tuan Raihan begitu over protective padanya. Tuan Raihan tidak mengizinkan Riana untuk pergi keluyuran sehabis pulang sekolah sekalipun itu ke rumah temannya. Tuan Raihan tidak mau adik perempuan satu-satunya itu terjerumus dalam pergaulan bebas yang marak terjadi akhir-akhir ini.Itulah sebabnya, Riana sangat senang ketika aku bekerja di rumahnya. Dia merasa punya teman sekadar untuk berbagai cerita."Ri, kenapa kamu bilang kalau aku ini masih sepupu kamu? Aku gak apa-apa,
Bibir masih mengembangkan seuntai senyuman saat aku melangkah memasuki rumah. Aku bagai seorang yang sedang dimabuk asmara. Tak sabar menanti untuk kembali bertemu dengan lelaki yang setia bertahta di hati. Bapak.Meski begitu banyak menorehkan luka dan kecewa, tetap saja jiwa ini masih mendamba untuk kembali mereguk manis kasih sayangnya. Tetap saja hati ini masih merindu belai lembutnya. "Bibi Lindu ...." Si cantik Raisa yang sedang menonton TV ditemani Mbok Sumi berlari kecil menghampiriku dengan merentangkan kedua tangannya. Rambut kriwilnya yang dibiarkan tergerai bergerak-gerak bagai sebuah per besi. Matanya yang bulat berbinar melihat kedatanganku. Ya, sedekat ini kami sekarang. Bagaimana tidak. Setiap waktu aku selalu ada di sisinya, kecuali jika aku sedang bersekolah. Bahkan setiap malam aku yang menemaninya tidur dan memeluk tubuhnya. Terkadang aku terjaga mendengar rengekannya yang minta susu di tengah malam.Bagiku, merawat dan mengasuhnya sama sekali tidak melelahkan.
Tuan Raihan berjalan menghampiri Riana yang masih menatapnya."Kakak kapan datang? Kok, gak kedengaran?" tanya Riana."Belum lama. Kamu sudah sehat?" Tuan Raihan membelai pucuk kepala adiknya itu."Lumayan, kak. Siapa dulu dong yang ngerawat?" Riana melirik ke arahku sambil terkekeh."Memangnya siapa?" Tuan Raihan bertanya sambil menuang air putih ke dalam gelas."Rindu, dong. Ternyata, selain pinter ngurus anak, pinter masak, dia juga telaten merawat orang sakit," papar Riana antusias."Bagus itu. Kamu harus mencontoh dia. Banyak-banyak belajar dari Rindu." Tuan Raihan duduk di kursi yang berada di hadapan Riana, lalu meneguk air putihnya sampai tandas. Kebiasaan yang sangat baik. Tuan Raihan tidak pernah terlihat minum sambil berdiri."Diminum dong susunya. Kakak mau ganti baju dulu." Tuan Raihan bangkit lalu berlalu meninggalkan dapur."Ri, aku ke depan dulu, ya. Gak enak ninggalin Icha sama Bu Sandra," ujarku.Riana hanya mengangguk lalu meneguk susu coklat yang dari tadi digengga
Aku yang merasa ditatap sedemikian rupa oleh Tuan Raihan langsung salah tingkah. Antara malu dan segan. "Astaghfirullah." Tuan Raihan mengusap wajahnya. "Maafkan saya, Rindu. Saya benar-benar terkesiap melihat kamu memakai pakaian istri saya. Ternyata pas banget di tubuh kamu. Sampai pangling lihatnya," tuturnya sambil memalingkan muka."Maafkan saya, Tuan, kalau saya lancang memakai pakaian milik nyonya." Aku menunduk merasa bersalah."Gak apa-apa. Saya yang mengizinkan Riana untuk memberikannya sama kamu, kok. Alhamdulillah kalau ternyata bermanfaat buat kamu," jawab Tuan Raihan tulus."Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Kakak udah ngizinin," sahut Riana."Udah, yuk, ah. Kak, aku sama Rindu berangkat dulu," pamit Riana sambil sedikit menarik lenganku."Pulangnya jangan terlalu malam." Tuan Raihan sedikit berteriak."Apaan sih, Kak. Orang tempatnya juga cuma beberapa meter dari sini," jawab Riana tak kalah kencang tanpa menoleh.Tak sampai lima menit, aku dan Riana sudah berada di luar
"Papah hanya mengingatnya, Ma. Apa itu juga salah? Bertemu dengan seorang gadis belia yang kebetulan bernama dan berusia sama dengan anak kandung Papah, membuat ingatan Papah langsung tertuju padanya. Rindu, anakku juga pasti sudah remaja." Suara bapak terdengar bergetar, seolah menahan tangis yang siap meledak."Sudahlah, Pah. Jangan ngajak berdebat di tengah acara penting seperti ini. Ingat, di dalam sana, Erik sedang merayakan ulang tahunnya dengan bahagia. Jangan rusak kebahagiaannya dengan pembahasan tidak bermutu seperti ini." Istri bapak nampak tidak suka bapak terus membicarakan diriku."Papah sama sekali tidak ingin berdebat. Papah hanya mengungkapkan kerinduan Papah pada anak kandung Papah yang sudah delapan tahun tidak bertemu. Mama tidak pernah mengalaminya. Jadi, Mama tidak mungkin bisa mengerti apa yang Papah rasakan." Suara bapak terdengar kian parau."Mama sudah bilang jangan pernah bahas anak itu lagi. Anggap saja Papah hanya punya Erik dan Erika. Tidak ada anak yang
"Astaghfirullah, Mbak Sandra. Pagi-pagi udah nongol aja," sindir Riana. Matanya mendelik ke arah Sandra yang sedang berjalan dengan gemulai mendekat ke meja makan."Iya, nih. Sengaja. Biar bisa lari pagi bareng sama Mas Raihan," jawab Mbak Sandra dengan memamerkan senyum manisnya."Maaf, ya, San. Pagi ini aku kayaknya gak lari pagi dulu," tutur Tuan Raihan."Ya ... kok, gitu, Mas? Aku kan sengaja ke sini pagi banget buat lari pagi sama kamu," ujar Mbak Sandra dengan manja. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala sedikit mengerucut."Mbak, nih saya kasih tau. Berduaan dengan yang bukan muhrim itu dilarang. Nanti yang ketiganya setan, loh. Mbak kan bukan muhrim sama Kak Raihan. Mana boleh pergi berdua. Bahaya," tutur Riana sok bijak."Ya ampun, Ri. Kamu ini ada-ada saja. Mana ada pergi berduaan. Kalau jalan pagi ya pasti banyak orang. Kalau perginya ke hotel baru bahaya," elak Mbak Sandra tak mau kalah."Maaf ya, San. Aku benar-benar udah niat dari semalam buat libur lari pagi," uca
Tak bisa dipungkiri, kerinduan akan kampung halaman sudah tak terbendung. Tapi, ke mana aku akan pulang? Ke rumah ibu pun rasanya tidak mungkin. Tak ingin lagi rasanya bertemu dengan laki-laki bejad yang hampir mengoyak kehormatan diriku. Padahal, bayangan ibu dan Rindi yang sudah semakin bertumbuh sudah menari-nari di pelupuk mata. Ah, betapa aku merindukan mereka."Rin ... Rindu, kok, malah bengong?" Riana mengibaskan tangannya di depan wajahku."Eh, maaf," jawabku gugup."Gimana tawaran kak Raihan tadi. Mau gak?" Riana kembali bertanya."Lihat nanti saja, ya. Lagi pula, aku juga tidak punya siapa-siapa yang akan dikunjungi di kampung halaman. Kecuali--." Aku menunduk. Tenggorokanku rasanya tercekat untuk melanjutkan perkataan."Kecuali apa?" tanya Riana seolah penasaran."Kecuali makam nenekku, Ri," jawabku sendu. Air bening sudah menggenang di sudut mata. Hati ini masih saja bersedih jika mengingat tentang nenek."Maafkan aku, ya, Rin, sudah membuatmu bersedih," ujar Riana penuh r