Share

Bab 4

Sejak saat itu kata pelak*r sudah tak asing lagi di telingaku. Saat itu aku tak tahu apa itu pelak*r. Hingga aku memberanikan diri bertanya kepada nenek.

"Nek, pelakor itu apa?" tanyaku polos.

Wajah nenek yang sedang menenun tikar terlihat langsung berubah.

"Kenapa tanya itu, Rindu?" Nenek malah balik bertanya.

"Soalnya setiap kali Rindu tanya tentang bapak sama ibu, pasti bilangnya diambil pelak*r. Rindu mau cari pelak*r itu. Mau minta bapak untuk pulang lagi ke rumah. Rindu kangen sama bapak. Rindu kesepian gak ada bapak." Aku mulai terisak.

Nenek turun dari kursi tempatnya menenun tikar, lalu mendekatiku.

"Pelak*r itu wanita yang sudah mengambil bapak dari ibumu. Dia istri bapakmu juga, sama seperti ibumu. Nanti kalau Rindu sudah semakin besar, Rindu pasti akan mengerti." Nenek membelai pucuk kepalaku lembut.

"Apa pelak*r itu orang jahat?" Aku menatap mata nenek.

"Ehm, nenek mau lanjutin menenun tikar. Nanti gak selesai?" Nenek tidak menjawab pertanyaanku dan langsung duduk kembali di kursi tempatnya menenun tikar.

Ya, setelah bapak pergi meninggalkanmu dan ibu, aku dan ibu tinggal di rumah nenek. Ibunya ibu. Ibu bekerja di sebuah rumah makan sebagai pelayan. Sementara nenek setiap hari menenun tikar. Lalu dijual. Setiap pulang sekolah aku juga selalu membantu nenek menenun tikar. Lumayan, buat uang jajan di sekolah. Karena aku jarang diberi uang jajan oleh ibu. Malah nenek yang sering memberiku uang jajan.

Setelah kepergian bapak, ibu selalu saja memarahiku, membentak, menc*bit, terkadang mem*kul padahal aku tidak nakal. Melakukan kesalahan sedikit saja pasti c*bitannya langsung mendarat di tubuhku. Tak jarang c*bitannya itu meninggalkan bekas karena tajamnya kuku ibu.

Pernah satu ketika aku ingin makan dengan telor karena mencium aroma telor dadar dari rumah tetangga. Namun, bukan telor yang didapat, tapi guyuran air satu ember. Air kotor bekas mencuci piring. Alhasil seragam sekolah yang sudah kugunakan basah kuyup dan bau. Padahal itu adalah seragam milikku satu-satunya. Jadinya aku tidak berangkat ke sekolah. Padahal hari itu ada ulangan.

Bahkan ada kejadian yang paling menyakitkan yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang. Saat itu aku pulang ke rumah dari sekolah dengan seragam yang sobek. Seragam sekolah batik itu tidak sengaja tersangkut paku yang menancap di meja saat di kelas. Melihat seragam batik yang kupakai sobek, ibu langsung bangun dari duduknya.

"Kenapa bajunya bisa sobek begini?" tanya ibu sambil memegang bagian baju yang sobek.

"Tadi di sekolah tak sengaja tersangkut paku, Bu," jawabku dengan suara bergetar. Aku benar-benar takut. Sudah pasti ibu marah.

Benar saja, ibu langsung memarahiku.

"Dasar, anak gak tau diri. Seragam batik kayak gini tuh mahal. Kamu malah bikin sobek begini. Memangnya kamu bisa cari duit? Cari duit itu susah. Apalagi bapakmu yang tidak bertanggung jawab ibu tidak pernah sekalipun memberi uang untukmu."

Ibu terus saja memaki. Tak cukup sampai di situ. Ibu mendorongku hingga tersungkur ke lantai. Kemudian ibu men*ndang tubuhku dan melud*hi mukaku. Ibu seperti keset*nan. Terus melampiaskan kekesalannya padaku.

"Ampun, Bu. Maafin Rindu. Rindu akan jahit bajunya, Bu." Aku menangis sesenggukan. Sakit di tubuhku tidak sebanding dengan sakitnya hatiku.

"Santi, hentikan," bentak nenek. "Apa-apaan kamu ini? Kalau kamu benci bapaknya Rindu jangan lampiaskan kebencian itu pada anaknya. Rindu juga anakmu. Kelak dia lah yang akan merawat kamu saat tua nanti. Kalau kamu selalu menyakitinya bagaimana mungkin dia akan menyayangimu." Nenek menasihati ibu panjang lebar.

Nenek membantuku berdiri kemudian mengusap air mata yang mengalir di kedua pipiku. Diciumnya kedua pipiku dengan berlinang air mata.

"Kasihan sekali nasibmu cucuku," gumamnya. Kemudian nenek merengkuhku erat.

Sementara ibu berlalu begitu saja masuk ke dalam kamarnya. Kata nenek, wajahku sangat mirip dengan bapak. Dagu belah, hidung mancung, mata sedikit sipit, dan rambut hitam sedikit bergelombang. Kata nenek aku begitu cantik karena bapak juga sangat tampan. Mungkin itu sebabnya ibu seolah membenciku. 

Sejak saat itu aku selalu melakukan segala hal dengan hati-hati. Takut mengundang kemarahan ibu. Di saat anak-anak lain sedang menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain, tidak denganku. Setiap hari aku diajari nenek mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, membereskan rumah, menyapu, mengepel, juga memasak. Hingga genap usiaku sembilan tahun, aku sudah lihai melakukan semua pekerjaan rumah.

Ibu juga sudah sedikit mulai berubah padaku. Tidak pernah mem*kul lagi. Hanya saja masih sering marah dan membentak.

Sebenarnya aku sangat rindu pada ibuku yang dulu. Ibu yang selalu memeluk dan menciumiku. Aku juga sering digendong oleh ibu. Dulu ibu sangat menyayangiku. Sangat berbeda dengan ibuku yang sekarang.

Beberapa bulan yang lalu ibu pulang dengan pincang dan kakinya diperban. Ibu pulang diantar oleh Om Haryo. Kata ibu, ibu ketabrak mobilnya Om Haryo saat menyebrang. Beruntung Om Haryo sedang mengemudikan mobilnya pelan, hingga kaki ibu hanya lecet-lecet.

Dari sejak itu Om Haryo sering datang ke rumah nenek jika ibu sedang libur. Awalnya ibu seperti menghindar. Akan tetapi lama-kelamaan ibu justru semakin dekat dengan Om Haryo. Bahkan ibu sering diantar pulang oleh Om Haryo. Hingga aku tidak sengaja mendengar percakapan nenek dan ibu sore itu.

"Santi, ibu gak suka lihat kamu dekat dengan Haryo. Dia sudah punya anak istri. Apa bedanya kamu dengan wanita yang merebut suamimu kalau kamu juga melayani Haryo." Nenek berkata dengan cukup pelan. Namun, aku masih bisa mendengarnya.

"Mas Haryo sayang sama Santi, Bu. Dia juga berjanji akan menikahi Santi. Dia juga terlihat sayang sama Rindu, Bu," jawab ibu.

"Ibu tidak setuju, Santi. Feeling ibu, Haryo bukan laki-laki baik-baik. Bukan sosok ayah yang baik juga untuk Rindu. Kemarin ibu bertemu Asep. Teman kamu waktu kecil. Dia nanyain kamu. Sepertinya dia suka sama kamu. Dia orang yang baik. Ibadahnya juga rajin."

"Maksud ibu, ibu mau jodohin aku sama Asep, gitu?"

Nenek terlihat mengangguk pelan.

"Aku gak mau. Asep itu cuma guru honorer, Bu. Beda sama  Haryo yang pebisnis," tolak ibu.

"Santi, kebahagiaan itu bukan hanya tentang uang. Tapi ketenangan hati, ketentraman jiwa, juga keberkahan. Meskipun uang banyak tapi gak berkah buat apa? Dan yang terpenting, kamu harus cari suami sekaligus ayah untuk Rindu yang bisa mendekatkan kalian sama Alloh. Jangan terlalu silau dengan dunia dan isinya." Nenek menasehati ibu panjang lebar.

"Santi sudah merasakan bagaimana susahnya hidup kekurangan uang. Kalau ibu gak suka lihat Santi dekat Mas Haryo, Santi akan keluar dari rumah ini." Ibu bangkit dengan kasar dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Nenek terlihat menghela napas kasar. Wajah keriputnya terlihat kecewa. Matanya juga terlihat memerah.

"Padahal ibu hanya mau kamu mendapat suami yang bisa menjagamu dan Rindu. Ibu tidak tahu, berapa lama lagi umur ibu di dunia ini." Nenek bergumam sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status