"Nek, pelakor itu apa?" tanyaku polos.
Wajah nenek yang sedang menenun tikar terlihat langsung berubah.
"Kenapa tanya itu, Rindu?" Nenek malah balik bertanya.
"Soalnya setiap kali Rindu tanya tentang bapak sama ibu, pasti bilangnya diambil pelak*r. Rindu mau cari pelak*r itu. Mau minta bapak untuk pulang lagi ke rumah. Rindu kangen sama bapak. Rindu kesepian gak ada bapak." Aku mulai terisak.
Nenek turun dari kursi tempatnya menenun tikar, lalu mendekatiku.
"Pelak*r itu wanita yang sudah mengambil bapak dari ibumu. Dia istri bapakmu juga, sama seperti ibumu. Nanti kalau Rindu sudah semakin besar, Rindu pasti akan mengerti." Nenek membelai pucuk kepalaku lembut.
"Apa pelak*r itu orang jahat?" Aku menatap mata nenek.
"Ehm, nenek mau lanjutin menenun tikar. Nanti gak selesai?" Nenek tidak menjawab pertanyaanku dan langsung duduk kembali di kursi tempatnya menenun tikar.
Ya, setelah bapak pergi meninggalkanmu dan ibu, aku dan ibu tinggal di rumah nenek. Ibunya ibu. Ibu bekerja di sebuah rumah makan sebagai pelayan. Sementara nenek setiap hari menenun tikar. Lalu dijual. Setiap pulang sekolah aku juga selalu membantu nenek menenun tikar. Lumayan, buat uang jajan di sekolah. Karena aku jarang diberi uang jajan oleh ibu. Malah nenek yang sering memberiku uang jajan.
Setelah kepergian bapak, ibu selalu saja memarahiku, membentak, menc*bit, terkadang mem*kul padahal aku tidak nakal. Melakukan kesalahan sedikit saja pasti c*bitannya langsung mendarat di tubuhku. Tak jarang c*bitannya itu meninggalkan bekas karena tajamnya kuku ibu.
Pernah satu ketika aku ingin makan dengan telor karena mencium aroma telor dadar dari rumah tetangga. Namun, bukan telor yang didapat, tapi guyuran air satu ember. Air kotor bekas mencuci piring. Alhasil seragam sekolah yang sudah kugunakan basah kuyup dan bau. Padahal itu adalah seragam milikku satu-satunya. Jadinya aku tidak berangkat ke sekolah. Padahal hari itu ada ulangan.
Bahkan ada kejadian yang paling menyakitkan yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang. Saat itu aku pulang ke rumah dari sekolah dengan seragam yang sobek. Seragam sekolah batik itu tidak sengaja tersangkut paku yang menancap di meja saat di kelas. Melihat seragam batik yang kupakai sobek, ibu langsung bangun dari duduknya.
"Kenapa bajunya bisa sobek begini?" tanya ibu sambil memegang bagian baju yang sobek.
"Tadi di sekolah tak sengaja tersangkut paku, Bu," jawabku dengan suara bergetar. Aku benar-benar takut. Sudah pasti ibu marah.
Benar saja, ibu langsung memarahiku.
"Dasar, anak gak tau diri. Seragam batik kayak gini tuh mahal. Kamu malah bikin sobek begini. Memangnya kamu bisa cari duit? Cari duit itu susah. Apalagi bapakmu yang tidak bertanggung jawab ibu tidak pernah sekalipun memberi uang untukmu."
Ibu terus saja memaki. Tak cukup sampai di situ. Ibu mendorongku hingga tersungkur ke lantai. Kemudian ibu men*ndang tubuhku dan melud*hi mukaku. Ibu seperti keset*nan. Terus melampiaskan kekesalannya padaku.
"Ampun, Bu. Maafin Rindu. Rindu akan jahit bajunya, Bu." Aku menangis sesenggukan. Sakit di tubuhku tidak sebanding dengan sakitnya hatiku.
"Santi, hentikan," bentak nenek. "Apa-apaan kamu ini? Kalau kamu benci bapaknya Rindu jangan lampiaskan kebencian itu pada anaknya. Rindu juga anakmu. Kelak dia lah yang akan merawat kamu saat tua nanti. Kalau kamu selalu menyakitinya bagaimana mungkin dia akan menyayangimu." Nenek menasihati ibu panjang lebar.
Nenek membantuku berdiri kemudian mengusap air mata yang mengalir di kedua pipiku. Diciumnya kedua pipiku dengan berlinang air mata.
"Kasihan sekali nasibmu cucuku," gumamnya. Kemudian nenek merengkuhku erat.
Sementara ibu berlalu begitu saja masuk ke dalam kamarnya. Kata nenek, wajahku sangat mirip dengan bapak. Dagu belah, hidung mancung, mata sedikit sipit, dan rambut hitam sedikit bergelombang. Kata nenek aku begitu cantik karena bapak juga sangat tampan. Mungkin itu sebabnya ibu seolah membenciku.
Sejak saat itu aku selalu melakukan segala hal dengan hati-hati. Takut mengundang kemarahan ibu. Di saat anak-anak lain sedang menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain, tidak denganku. Setiap hari aku diajari nenek mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, membereskan rumah, menyapu, mengepel, juga memasak. Hingga genap usiaku sembilan tahun, aku sudah lihai melakukan semua pekerjaan rumah.
Ibu juga sudah sedikit mulai berubah padaku. Tidak pernah mem*kul lagi. Hanya saja masih sering marah dan membentak.
Sebenarnya aku sangat rindu pada ibuku yang dulu. Ibu yang selalu memeluk dan menciumiku. Aku juga sering digendong oleh ibu. Dulu ibu sangat menyayangiku. Sangat berbeda dengan ibuku yang sekarang.
Beberapa bulan yang lalu ibu pulang dengan pincang dan kakinya diperban. Ibu pulang diantar oleh Om Haryo. Kata ibu, ibu ketabrak mobilnya Om Haryo saat menyebrang. Beruntung Om Haryo sedang mengemudikan mobilnya pelan, hingga kaki ibu hanya lecet-lecet.
Dari sejak itu Om Haryo sering datang ke rumah nenek jika ibu sedang libur. Awalnya ibu seperti menghindar. Akan tetapi lama-kelamaan ibu justru semakin dekat dengan Om Haryo. Bahkan ibu sering diantar pulang oleh Om Haryo. Hingga aku tidak sengaja mendengar percakapan nenek dan ibu sore itu.
"Santi, ibu gak suka lihat kamu dekat dengan Haryo. Dia sudah punya anak istri. Apa bedanya kamu dengan wanita yang merebut suamimu kalau kamu juga melayani Haryo." Nenek berkata dengan cukup pelan. Namun, aku masih bisa mendengarnya.
"Mas Haryo sayang sama Santi, Bu. Dia juga berjanji akan menikahi Santi. Dia juga terlihat sayang sama Rindu, Bu," jawab ibu.
"Ibu tidak setuju, Santi. Feeling ibu, Haryo bukan laki-laki baik-baik. Bukan sosok ayah yang baik juga untuk Rindu. Kemarin ibu bertemu Asep. Teman kamu waktu kecil. Dia nanyain kamu. Sepertinya dia suka sama kamu. Dia orang yang baik. Ibadahnya juga rajin."
"Maksud ibu, ibu mau jodohin aku sama Asep, gitu?"
Nenek terlihat mengangguk pelan.
"Aku gak mau. Asep itu cuma guru honorer, Bu. Beda sama Haryo yang pebisnis," tolak ibu.
"Santi, kebahagiaan itu bukan hanya tentang uang. Tapi ketenangan hati, ketentraman jiwa, juga keberkahan. Meskipun uang banyak tapi gak berkah buat apa? Dan yang terpenting, kamu harus cari suami sekaligus ayah untuk Rindu yang bisa mendekatkan kalian sama Alloh. Jangan terlalu silau dengan dunia dan isinya." Nenek menasehati ibu panjang lebar.
"Santi sudah merasakan bagaimana susahnya hidup kekurangan uang. Kalau ibu gak suka lihat Santi dekat Mas Haryo, Santi akan keluar dari rumah ini." Ibu bangkit dengan kasar dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Nenek terlihat menghela napas kasar. Wajah keriputnya terlihat kecewa. Matanya juga terlihat memerah.
"Padahal ibu hanya mau kamu mendapat suami yang bisa menjagamu dan Rindu. Ibu tidak tahu, berapa lama lagi umur ibu di dunia ini." Nenek bergumam sendirian.
Saat itu usiaku hampir dua belas tahun. Aku sudah mulai mengerti bahwa nenek tidak suka ibuku dekat dengan Om Haryo. Sebenarnya aku juga tidak suka. Aku lebih suka sama Pak Asep yang disebut nenek tadi. Dia guru bahasa Indonesia di sekolahku. Dia orang yang baik. Terkadang aku diberi uang kalau membantunya membawakan buku-buku berisi tugas ke ruangannya. Buat jajan katanya. Dia juga tidak pernah marah, sekalipun murid-muridnya terkadang nakal. Dia hanya akan menasehati dengan lembut. Tapi kenapa ibu justru tidak menyukainya?Benar saja, selang beberapa hari setelah pembicaraan nenek dan ibu waktu itu, ibu mengajakku pindah ke rumah yang kami tempati dulu bersama bapak. Rumah yang kata ibu dibangun saat usiaku baru lima tahun. Rumah itu memang sederhana, hanya rumah semi permanen dengan ukuran cukup kecil. Tapi di rumah itu banyak sekali kenangan antara aku dan bapak."Ibu, apa boleh kalau Rindu tinggal di sini saja sama nenek?" pintaku saat ibu mengajakku pindah. Sebenarnya aku lebih
Kumandang adzan subuh membuatku langsung terjaga. Entah tidur jam berapa aku semalam. Rasanya mataku perih karena kurang tidur. Kepala juga sedikit keleyengan. Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak setelah peristiwa naas yang menimpa ibuku. Namun, aku tetap harus bangun untuk melaksanakan solat subuh. Aku juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah.Perlahan aku turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi. Basuhan air pada wajah membuatku sedikit segar. Gegas aku solat dua rakaat. Kemudian mengangkat kedua tanganku."Ya Alloh, lindungi ibuku juga nenekku. Sehatkan mereka. Ya Alloh, tolong bantu aku. Aku tidak mau ibu menikah Om Haryo. Aku tidak mau ibu jadi pelak*r. Aku mohon ya Alloh," lirihku dalam doa. Kuusap wajahku dengan kedua tangan.Setelah merapikan kembali mukena dan sajadah, aku segera pergi ke dapur. Mulai memasak nasi, menjarang air untuk minum, lalu merendam cucian. Sambil menunggu nasi dan air minum matang, aku mencuci piring dulu. La
Ibu terlihat salah tingkah memandang Pak Asep."Rindu dianterin Pak Asep, Bu," ujarku."Kebetulan ada perlu sebentar ke rumah kepala sekolah, jadi sekalian antar Rindu," kata Pak Asep pada ibu."Terima kasih, ya. Ayo, masuk dulu." Ibu sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. Memberi jalan padaku dan Pak Asep untuk masuk."Silakan duduk. Aku ambilkan minum dulu. Mau teh atau kopi? Kebetulan tadi habis belanja," tanya ibu."Air putih saja," jawab Pak Asep sambil duduk di sofa.Sementara aku memilih untuk masuk ke dalam kamar."Ayo diminum." Terdengar ibu sudah kembali."Terima kasih. San, gimana kabarmu?" Pak Asep bertanya pada ibu."Alhamdulillah baik. Kamu gimana?""Aku juga baik. Maaf, muka kamu sedikit pucat. Apa kamu sedang sakit?" tanya Pak Asep pada ibu."Oh, enggak. Mungkin cuma kurang tidur aja," bantah ibu."Kalau kamu sakit, biar aku antar ke dokter," tawar Pak Asep."Gak perlu. Beneran gak apa-apa, kok. Makasih," tolak ibu."Ya sudah. Kalau kamu butuh bantuan, hubungi aku aj
Benar saja, selang seminggu kedatangan Om Haryo ke rumah, ibu dan Om Haryo kini menikah. Aku sudah berusaha membujuk ibu setiap hari agar mengurungkan niatnya. Namun, semua sia-sia. Ibu tetap pada pendiriannya untuk menikah dengan Om Haryo."Ini semua demi masa depanmu, Rindu." Selalu itu alasan yang ibu bilang padaku. Entah masa depan seperti apa yang di maksud.Hari ini, di sebuah masjid yang tak jauh dari rumah ibu, Om Haryo dan ibu menikah. Kata orang-orang mereka menikah siri atau menikah agama. Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti.Dari arah belakang, aku menatap ibu yang berada di depan sana dengan tatapan nanar. Mengenakan kebaya putih dipadukan dengan rok batik corak, ibu terlihat sangat cantik. Bersisian dengan Om Haryo yang mengenakan jas hitam dan celana kain dengan warna senada.Nenek yang duduk di sampingku, berkali-kali mengusap punggung tanganku. Aku tahu nenek sama sedihnya denganku. Karena dia juga tidak menyukai calon suami dari anaknya itu.Pernikahan ibu hanya
"Rin." Ibu masuk ke dalam kamarku saat aku sedang membereskan pakaianku. Wanita yang sudah melahirkanku dua belas tahun lalu itu duduk di tepi ranjang dengan wajah sendu."Maafkan ibu. Ibu tidak tahu kalau ternyata Mas Haryo akan melarangmu untuk ikut bersama ibu."Aku menghentikan aktivitasku memasukkan baju ke dalam tas. Lalu berbalik membuat posisiku dan ibu berhadapan."Tidak apa-apa, Bu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Itu juga keputusan ibu, bukan?" Aku sengaja sedikit menekan nada bicaraku."Tapi bukan ini yang ibu inginkan." Ibu masih berusaha membela dirinya."Dari awal Rindu sudah melarang ibu untuk menikah dengan Om Haryo. Karena Rindu sudah bisa melihat kalau dia tidak menyayangi Rindu. Tapi ibu tetap bersikeras untuk menikah dengannya." Aku kembali mengingatkan ibu."Maafkan ibu kalau keputusan ibu menyakitimu." Ibu memegang tanganku. Menatap mataku begitu lekat. Aku bisa melihat kesedihan di dalam matanya."Tidak apa-apa, Bu. Rindu hanya bisa mendoakan ibu, semoga ibu
Aku mengatakan yang sejujurnya. Nenek memang selalu menjagamu dengan baik. Dia tidak pernah membiarkan aku kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah seperti ibu dulu. Tapi kami selalu melakukannya bersama. Berbagi tugas."Syukurlah. Ibu tau kamu akan baik-baik saja. Kamu itu anak yang kuat. Ibu lega mendengarnya. Jadi ibu tidak terlalu khawatir meskipun jauh dari kamu." Ibu tersenyum simpul. Memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih cantik."Tapi kamu juga harus sering-sering jenguk Rindu, Santi. Kasian dia," proses nenek."Iya, Bu," jawab ibu."Bu, sebentar lagi ada acara perpisahan di sekolah Rindu. Orang tua wajib datang." Meski ragu ibu akan datang, aku tetap memberi tahunya."Ibu usahakan datang, ya," jawab ibu dengan senyum sedikit dipaksakan.Aku membalas senyumannya depan anggukkan."Rindu, mau ngelanjutin sekolah ke SMP, Bu," ucapku lagi."Ehmm, nanti, ibu bicarakan lagi sama ayahmu, ya. Ibu akan bujuk dia untuk biayain sekolah kamu." Ibu menjawab seolah tak yakin
Semakin malam batuk nenek semakin bertambah banyak. Aku terus saja berada di sampingnya. Membaluri punggungnya dengan minyak kayu putih supaya hangat sambil memijatnya perlahan."Nek, besok kita ke puskesmas, ya? Rindu khawatir." Aku berkata dengan nada cemas."Tidak perlu, Rindu. Nenek cuma batuk biasa. Insyaallah besok juga mendingan." Nenek menjawab dengan terbata diselingi batuk. Lagi-lagi kulihat ada darah di kain yang dipakai menutup mulut nenek."Tapi batuk Nenek selalu mengeluarkan darah. Rindu tidak mau terjadi sesuatu pada Nenek. Rindu gak punya siapa-siapa lagi selain Nenek." Air mata mulai menetes di kedua pipiku."Rindu, kan masih punya ibu. Rindu gak akan sendirian. Rindu jaga diri baik-baik, ya. Selalu doakan nenek setiap habis solat," pesan nenek."Kenapa Nenek bilang seperti itu? Nenek juga akan baik-baik saja. Nenek akan selalu menemani Rindu di sini, di rumah ini." Aku menatap mata nenek yang terlihat memerah.Nenek hanya tersenyum samar tanpa berkata.Malam ini aku
Ibu memandangku sendu. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tapi yang dikatakan Om Haryo itu memang benar adanya. Dulu, akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah."Mas." Ibu menatap Om Haryo lekat. Seolah memohon agar apa yang dikatakannya tidak benar-benar serius."Kalau kamu setuju, silakan anakmu itu tinggal di rumah ini. Tapi kalau keberatan, dia boleh pergi ke mana saja. Atau mungkin mau nyari bapak kandungnya?" Om Haryo menyunggingkan sebelah bibirnya. Sinis."Gak apa-apa, kok, Bu. Rindu gak keberatan. Yang penting Rindu ada tempat untuk berteduh, terutama bisa melanjutkan sekolah." Aku buru-buru bersuara. Takut perdebatan antara ibu dan ayah tiriku itu merembet kemana-mana. Apalagi Om Haryo sudah membahas bapak yang entah di mana sekarang."Nah, itu Rindu saja tidak keberatan. Sudah Untung aku mengizinkannya tinggal di sini. Bisa makan gratis. Bisa melanjutkan sekolah. Padahal itu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab bapak kandungnya," gerutu Om Haryo.Ibu hanya menunduk. S