Share

Bab 5

Saat itu usiaku hampir dua belas tahun. Aku sudah mulai mengerti bahwa nenek tidak suka ibuku dekat dengan Om Haryo. Sebenarnya aku juga tidak suka. Aku lebih suka sama Pak Asep yang disebut nenek tadi. Dia guru bahasa Indonesia di sekolahku. Dia orang yang baik. Terkadang aku diberi uang kalau membantunya membawakan buku-buku berisi tugas ke ruangannya. Buat jajan katanya. Dia juga tidak pernah marah, sekalipun murid-muridnya terkadang nakal. Dia hanya akan menasehati dengan lembut. Tapi kenapa ibu justru tidak menyukainya?

Benar saja, selang beberapa hari setelah pembicaraan nenek dan ibu waktu itu, ibu mengajakku pindah ke rumah yang kami tempati dulu bersama bapak. Rumah yang kata ibu dibangun saat usiaku baru lima tahun. Rumah itu memang sederhana, hanya rumah semi permanen dengan ukuran cukup kecil. Tapi di rumah itu banyak sekali kenangan antara aku dan bapak.

"Ibu, apa boleh kalau Rindu tinggal di sini saja sama nenek?" pintaku saat ibu mengajakku pindah. Sebenarnya aku lebih betah tinggal bersama nenek. Jarak ke sekolah juga lebih dekat dari rumah nenek. Hanya butuh waktu kurang lebih sepuluh menit. Sementara dari rumah yang dulu butuh waktu lebih dari dua puluh menit. Aku cape harus jalan kaki setiap hari.

"Kalau kamu tinggal sama nenek, lalu yang bantuin ibu mengerjakan pekerjaan rumah siapa?" Mata ibu melotot menatapku. Membuat nyaliku langsung ciut dan menunduk.

"Ayo buruan beresin bajumu. Gak usah banyak protes. Nanti keburu sore. Rumahnya harus dibersihkan dulu. Pasti kotor banget."

Aku mengangguk lalu mulai memasukkan baju-bajuku satu persatu ke dalam tas besar yang ibu sediakan. Baju-baju yang warnanya sudah pudar karena aku jarang sekali membeli baju baru.

"Rindu, hati-hati, ya. Jaga ibumu. Bantu dia mengerjakan pekerjaan rumah. Jangan lupa solat juga mengaji," pesan nenek saat aku pamit dan mencium punggung tangannya.

"Baik, Nek," jawabku sopan. "Nenek juga hati-hati di sini, ya. Rindu pasti sering main ke rumah nenek," lanjutku lagi.

Nenek mengangguk sambil tersenyum meskipun di sudut matanya sudah mulai terlihat bulir bening yang menggenang.

"Santi, jaga anakmu baik-baik. Jadilah contoh yang baik untuk putrimu itu. Agar dia tumbuh menjadi anak solehah," pesan nenek pada ibu.

"Ayo, Rindu," ajak ibu tanpa menanggapi pesan nenek. Aku menatap nenek iba. 

Aku pun berjalan mengikuti ibu. Sesekali menoleh ke belakang ke tempat di mana nenek masih berdiri memperhatikanku. Nenek melambaikan tangannya padaku lalu mengusap kedua sudut matanya. Sepertinya nenek menangis. Kasian nenek tinggal seorang diri. Pasti kesepian.

Rumah nenek dan rumahku yang dulu memang tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu lima belas menit jika naik angkot. Hanya saja aku harus selalu jalan kaki kalau mau ke rumah nenek karena gak punya uang untuk naik angkot. Andai saja aku punya uang, pasti bisa sering-sering main ke rumah nenek.

Angkot yang kutumpangi bersama ibu berhenti di dekat rumahku. Kami berdua turun membawa tas masing-masing. Bau pengap langsung menyeruak menusuk Indra penciumanku saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam rumah itu. Aku dan ibu mulai membersihkan setiap sudut rumah itu. Banyak debu karena rumah ini cukup lama tidak ditempati. Hanya sesekali ibu ke sini untuk mengecek kondisi rumah. Terkadang mengajakku terkadang juga ibu sendirian.

Sudah seminggu aku menempati kembali rumah yang penuh dengan kenangan ayah ini. Saat sedang sepi dan sendirian aku selalu teringat nenek. Aku hanya bisa mendoakannya semoga nenek selalu sehat.

Setelah kembali pindah ke rumah ini, aku tidak pernah melihat ibu pergi bekerja. Selalu ada di rumah setiap hari. Memainkan handphone baru yang diberi Om Haryo beberapa hari yang lalu. Sesekali ibu keluar rumah bersama Om Haryo. Terkadang pulang malam. Jika aku tanya mau ke mana, ibu selalu menjawab mau makan malam. Tapi tak pernah sekalipun membawa makanan untukku. Sementara aku di rumah hanya makan nasi yang dicampur garam saja Entah jam berapa ibu pulang aku tidak ingat. Karena mungkin aku sudah tidur.

"Bu, kenapa Rindu tidak pernah melihat ibu pergi bekerja lagi?" tanyaku penasaran.

"Kalau ada yang ngasih ibu uang, kenapa ibu harus cape bekerja?" timpal ibu. "Om Haryo sering ngasih ibu uang. Dia juga sering ngajak ibu belanja. Sering ngajak ibu makan enak. Dia itu banyak duitnya. Gak kayak bapak kamu, udah kere, pengkhianat lagi," lanjut ibu.

Selalu seperti itu. Ibu pasti mengumpat bapak. Kadang aku berpikir, kenapa bapak tidak membawaku waktu itu.

Ibu sepertinya lebih bahagia sekarang. Wajahnya terlihat lebih cantik. Kulitnya makin putih. Baju-bajunya pun terlihat bagus. Hanya saja, terlalu seksi menurutku.

Mungkin benar kata ibu. Om Haryo itu banyak uangnya. Buktinya dia bisa memberikan ibu uang. Mobilnya juga bagus. Tapi aku tidak tahu dia bekerja apa.

Meskipun banyak uang, entah kenapa aku tetap tidak suka Om Haryo dekat-dekat dengan ibu. Apalagi jika aku memergoki mereka sedang bermesraan. J*jik rasanya. Sudah berkali-kali aku protes dan mengingatkan ibu. Tapi ibu tidak pernah mau mendengarku. Anak berusia dua belas tahun yang dipaksa bersikap dewasa sebelum waktunya.

*****

Ingatanku tentang masa lalu buyar saat aku mendengar langkah kaki mendekat menuju kamarku. Saat gorden kamarku disibak ibu, aku buru-buru memejamkan mata. Ibu terasa duduk di pinggir ranjang.

Kepalaku mulai dibelai ibu lembut. Hal yang sudah lama sekali tidak ibu lakukan padaku. Mataku mulai memanas saking bahagianya. Namun, sebisa mungkin aku tahan karena takut ketahuan ibu.

"Maafkan ibu, Rindu. Selama ini, ibu hanya memberikan penderitaan dan kesedihan kepadamu. Setiap melihatmu, ibu teringat pada bapakmu. Dan itu membuat luka di hati ibu kembali terasa. Semua ini gara-gara bapakmu. Andai saja dia tidak menyakiti ibu dan meninggalkan kita. Hidup kita tidak akan seperti ini." Ibu bergumam.

Ibu bangkit dari duduknya, mencium keningku pelan, lalu menyelimuti tubuhku. Setelah itu dia keluar dari kamarku.

Tanpa terasa air mata sudah menetes dari kedua sudutnya. Hatiku berbunga-bunga. Bahagia. Setelah sekian lama bisa merasakan kembali ciuman dan belaian lembut ibu.

Apa ibu sudah kembali lagi seperti dulu? Atau mungkin besok pagi akan kembali kasar dan sering memarahiku? Tetaplah seperti ini, ibu. Aku mohon. Aku rindu ibu yang dulu. Rindu sekali.

Benar kata ibu. Semua ini gara-gara bapak. Hidupku berubah sejak bapak pergi meninggalkanku dan ibu. Bapak jahat. Aku benci bapak. Aku juga benci pelak*r yang sudah membawa bapak.

Kalau ibu jadi menikah dengan Om Haryo, berarti ibuku juga pelak*r? Tidak. Aku tidak mau mempunyai ibu pelak*r. Masa kecilku hancur gara-gara pelak*r. Aku harus bisa melarang ibu menikah dengan Om Haryo. Tapi bagaimana caranya? Ya Alloh, tolong bantu aku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ghovi Ahmad
mkin seruuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status