Share

Bab 3

Suasana kini sudah sepi. Hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar nyaring. Memekakkan telinga di tengah sunyinya malam. Hampir setengah jam yang lalu Pak RT, Om Haryo dan istrinya pergi dari rumah ini. Tentunya setelah mendapat jawaban dari ibuku.

Tanpa kuduga ibu mengangguk. Itu artinya ibu bersedia menikah dengan Om Haryo. Itu juga berarti Om Haryo akan menjadi ayahku. Aku melihat kesedihan di mata istri Om Haryo. Kesedihan yang sama dengan yang ibuku rasakan dulu. Lima tahun yang lalu.

Jam di dinding sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Namun, rasanya mataku sulit sekali untuk terpejam. Kilasan kejadian tadi terus saja terbayang di pelupuk mata. Membuat hatiku lagi-lagi berdenyut nyeri.

Ya Alloh, kenapa semua ini harus terjadi padaku? Bahkan aku hanya merasakan kasih sayang bapak sampai usiaku menginjak tujuh tahun saja. Padahal aku sangat menyayangi bapak. Setiap hari aku merindukan bapak. Berharap bapak kembali pulang seperti dulu.

Teringat dulu ketika aku masih kecil. Setiap sore setelah selesai dimandikan ibu, aku selalu duduk di teras. Menunggu kepulangan bapak. Ketika suara motor bapak yang sudah sangat kukenali mulai terdengar, aku bersorak gembira. Hingga akhirnya lelaki yang dulu paling kucintai itu benar-benar nampak di hadapanku.

Setelah turun dari motornya, bapak pasti langsung menggendongku masuk ke dalam rumah. Menenteng keresek yang terkadang berisi martabak, baso, gorengan, atau sekedar sebungkus cilok. Yang penting kata bapak, membawa buah tangan untukku. 

Aku rindu. Aku benar-benar merindukan masa-masa itu. Bercerita apa saja kepada bapak. Tertawa bersama bapak dan ibu. Terkadang mereka menggelitik perutku hingga kami tertawa bersama.

Setiap awal bulan, bapak selalu mengajakku dan ibu pergi ke mall. Sekedar jalan-jalan kemudian membeli es krim. Makanan enak yang hanya bisa kunikmati sebulan sekali. Namun, meski begitu aku tetap bahagia. Yang penting bapak dan ibuku selalu ada bersamaku.

Dari hari ke hari, bapak mulai sering pulang malam. Kadang tak pulang sama sekali. Kalau pun bapak pulang, aku sering mendengar pertengkaran mereka saat aku pura-pura sudah terlelap.

Ibu sering marah sama bapak. Ibu selalu bilang tak punya uang. Ibu juga terkadang membentak bapak. Dulu aku berpikir karena itulah bapak jadi malas pulang ke rumah. Karena sering dimarahi ibu. Malam terakhir aku bertemu bapak, bapak dan ibu bertengkar hebat.

"Udah mah kere sok-sokan mau nikah lagi. Istri satu aja gak tercukupi, apalagi istri dua. Mikir, Bang. Pakai otak bukan pakai dengkul." Ibu menunjuk-nunjuk kepala bapak dengan jarinya. Aku hanya bisa mengintip dari celah gorden yang sedikit terbuka.

"Kamu keterlaluan Santi. Gak ada sopan-sopannya sama sekali sama suami." Dengan kasar bapak menghempaskan tangan ibu.

"Suami gimana yang harus dihormati, Bang? Suami pengkhianat kayak kamu."

"Kamu." Tangan bapak sudah mengambang di udara, hendak melayangkan tamparan pada pipi ibu. Ibu segera memalingkan wajahnya sambil menutupnya dengan kedua tangan. Namun, dengan kasar bapak kembali menurunkannya sambil berteriak, "Agghhh." Bapak mengusap wajahnya dengan kasar.

"Lalu mau kamu apa sekarang, Santi?" tanya bapak. Suaranya terdengar sudah mulai lirih.

"Aku mau kamu ceraikan aku, Bang. Aku gak mau hidup dipoligami apalagi sama lelaki kere seperti kamu," jawab ibuku lantang.

"Kamu pikirin perasaan Rindu. Aku gak akan menceraikan kamu."

"Harusnya Abang yang pikirin perasaan Rindu sebelum Abang memutuskan untuk selingkuh. Abang tega sama aku juga Rindu," tutur ibu dengan suara bergetar. Akhirnya tangis ibu pecah. Ibu ambruk. Terduduk di lantai. Aku terus saja memperhatikan mereka. Meskipun aku bingung, tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan kedua orang tuaku itu.

Bapak berjongkok, kemudian berusaha meraih bahu ibu. Membantu ibu untuk berdiri. Namun, ibu menepis tangan bapak dengan kasar.

"Maafkan aku Santi. Maafkan aku. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini." Bapak ikut terduduk di lantai di hadapan ibu. Bulir bening mulai terlihat mengalir dari kedua manik matanya yang hitam.

"Tolong maafkan aku demi Rindu, Santi. Maafkan aku."

Bapak terus saja mengucapkan kata maaf. Entah maaf untuk apa. Apa mungkin ayah nakal sama ibu? Pikirku saat itu.

Namun, ibu tetap terdiam. Hanya suara isakan yang terdengar dari mulutnya. Berkali-kali bapak mencoba memeluk ibu tapi ibu selalu mendorongnya.

"Ceraikan aku, Bang." Ibu kembali bersuara dalam jeda tangisnya. Matanya yang merah menatap tajam ke arah bapak.

"Tidak, Santi. Aku menyayangimu juga Rindu. Aku tidak mau kehilangan kalian berdua." Bapak membalas tatapan ibu dengan sorot mata mengiba.

"Cukup, Bang. Jangan pernah katakan itu lagi. Kamu tidak akan mungkin mengkhianatiku kalau kamu memang menyayangiku." Mata ibu masih menatap tajam kepada bapak.

"Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku."

"Semuanya sudah terlambat, Bang. Ceraikan aku dan pergilah dari sini. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku juga Rindu. Anggap saja aku dan Rindu sudah mati." Suara ibu mulai melemah.

"Jangan bicara seperti itu, Santi, aku mohon. Kalau perlu, aku akan bersujud di kakimu asal kamu mau memaafkan aku." Lagi bapak mengiba kepada ibu.

"Tak perlu, Bang. Dengan bersujud di kakiku, tidak akan menyembuhkan hatiku yang terlanjur sakit. Aku minta kamu pergi dari sini. Biarkan aku dan Rindu hidup berdua tanpa kehadiranmu."

"Tidak, Santi. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Bapak menggeleng kuat.

"Kalau begitu, tinggalkan wanita itu dan jangan pernah temui dia lagi." Suara ibu terdengar kembali meninggi.

"A-aku tidak bisa. Maafkan aku, Santi," jawab bapak dengan terbata.

"Sudah kuduga. Kalau begitu, segeralah pergi dari rumah ini. Pergilah ke rumah j*l*ng itu. Pergiiii," teriak ibu membuatku sedikit tersentak.

Bapak bergeming. Wajahnya terlihat bingung.

"Pergi ...." Ibu kembali berteriak semakin keras.

Perlahan bapak mulai bangkit, lalu berjalan gontai menuju kamarnya. Tak berselang lama bapak kembali keluar kamar dengan menggendong tas ransel di punggungnya.

"Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini. Jangan pernah temui aku lagi ataupun Rindu. Hubunganku denganmu berakhir mulai detik ini. Juga hubunganmu dengan Rindu." Ibu kembali bersuara. Membuat bapak yang sedang berjalan menghentikan langkah kakinya.

"Sampai kapanpun Rindu tetaplah anakku. Darah dagingku. Kamu tidak akan bisa mencucinya bagaimana pun caranya," jawab bapak dengan suara bergetar.

"Selama aku masih bernyawa, jangan pernah coba-coba untuk menemui Rindu. Kalau kamu nekad, tanggung sendiri akibatnya," ancam Ibu.

Bapak kembali melanjutkan langkahnya. Aku segera memejamkan mata saat gorden kamarku dibuka bapak. Suara langkah kaki bapak semakin mendekat. Hingga ranjang kayu yang kupakai terdengar berderit. Sepertinya bapak duduk di pinggir ranjang.

"Maafkan bapak, Rindu. Bapak sangat menyayangimu. Bapak terpaksa pergi. Tolong maafkan bapak. Bapak mohon jangan pernah benci bapak." Bapak berkata dengan suara lirih. Bahkan terdengar seperti suara bisikan.

Sesaat kemudian keningku terasa dicium oleh bapak. Hingga sebuah air ikut menetes di atas keningku. Sepertinya bapak menangis.

Derap langkah kaki bapak kembali terdengar. Kali ini menjauh dari kamarku. Hingga akhirnya terdengar suara pintu yang dibuka. Apa bapak pergi? Malam-malam seperti ini?

Tak lama setelah suara pintu kembali ditutup, ibu terdengar kembali menangis. Meraung. Rintihannya terdengar begitu menyayat hati. Setelah malam itu, bapak tidak pernah lagi pulang ke rumah ini. Bapak benar-benar tidak pernah lagi muncul di hadapanku dan ibu.

Setelah hari itu, sikap ibu mulai berubah kasar padaku. Setiap kali aku bertanya kapan bapak pulang, ibu pasti menjawab, "bapakmu sudah pergi digondol pelak*r."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status