Share

10 juta pertahun

"Aku minta ganti rugi, Mbak!"

Aku menengadahkan tangan di depan Mbak Risma. Istri kakak iparku itu menautkan dua alis, dia kebingungan dengan perkataanku.

"Rp. 25.000,- Mbak?"

"Untuk apa kamu minta uang, Li?"

"Buat ganti uang batagor. Niko beli tidak bawa uang, jadi aku yang harus bayar."

"Cuman uang receh aja, Li. Lagi pula Niko itu keponakanmu. Harusnya kamu manjain dia. Bukan justru pelit begini. Pantas saja sampai saat ini kamu gak hamil. Sama anak kecil saja gak deket, gimana Tuhan mau kasih."

Aku diam, mulut ini mendadak membisu. Perkataan Mbak Risma tak ubahnya tombak yang ditancapkan tepat di jantungku. Sakit, teramat sakit.

Perempuan mana yang tak sakit hati mendengar ucapannya. Aku bukannya pelit, aku hanya tak suka dengan cara Niko meminta uang. Dia seperti tak pernah diajari tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua. Apa salah aku memberinya pelajaran?

"Lain kali sayang sama keponakan biar cepet hamil, Li."

Perempuan itu kembali menyayat hati sebelum akhirnya berlalu dari pandangan mataku. Apa hubungannya bersikap tegas dengan rejeki yang Tuhan berikan? Noting, tidak ada sangkut pautnya sama sekali.

Aku melangkah gontai menuju kamar. Pintu aku kunci sebelum tubuh ini luruh di lantai. Terisak, aku menangis kala kalimat Mbak Risma kembali terngiang di telinga.

Hamil adalah rejeki yang Tuhan beri pada setiap hambanya. Namun jika dalam waktu dua tahun Tuhan belum juga menitipkan seorang bayi. Apa pantas seorang kakak ipar mengatakan hal menyakitkan itu padaku?

Cukup lama aku tenggelam dalam luka yang tak nampak oleh mata. Rasa sakit yang jauh lebih pedih dari pada goresan pisau yang tertinggal di jari. Aku sakit mengingat perkataan kakak iparku.

Sebuah notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatianku. Aku beranjak, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Lengkungan di bibir muncul tanpa diminta.

[Gamis 2 pcs, warna hitam dan sage. Dikirim ke alamat biasa.]

Pesanan gamis mengalihkan rasa sedih yang sempat hadir. Kembali aku fokus memposting model pakaian terbaru, bukan hanya di story, namun juga di beberapa aplikasi online.

Menjadi reseller membuat ponselku tak pernah sepi. Entah ada yang membeli atau hanya sekedar bertanya lalu hilang di telan bumi. Namun dari pekerjaan ini aku dapat mewujudkan mimpi kami berdua, membangun sebuah rumah minimalis di kampung halaman suamiku.

Sesak kembali memenuhi rongga dada manakala aku ingat ucapan Mas Reza kala itu. Kemudian kejutan indah datang, kedatangan benalu bergelar saudara ipar. Ah, entah bagaimana alur cerita yang akan kuhadapi nanti.

Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Rasa lelah membuatku terlelap ke alam mimpi.

Suara azan berkumandang membangunkanku dari tidur lelap. Aku mengejapkan mata beberapa kali. Cahaya yang masuk ke retina diterjemahkan oleh otak, menciptakan lukisan kamar dengan beraneka ragam pernak-perniknya.

"Mama kenapa gak enak, sih?"

"Keasinan."

"Dah makan aja gak usah protes! Atau kalian saja yang masak!"

Aku diam sejenak, samar-samar kudengar perdebatan yang terjadi di antara mereka. Refleks sudut bibirku tertarik ke atas. Sebuah kepuasan saat mendengar mereka bertengkar.

Aku segera beranjak dari ranjang, melangkah perlahan menuju sumber suara. Tiga orang itu itu duduk di kursi dengan meja sebagai pembatas. Nasi dan lauk terletak di atas meja, tepat di hadapan mereka. Rasa ingin tahu membuatku melangkah kian mendekat.

"Kamu gak boleh makan, Li. Aku yang sudah capek masak. Kalau kamu lapar masak sendiri sana!"

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Sebenarnya siapa orang yang membayar kontrakan ini, aku atau Mbak Risma?

"Mbak Risma gak salah ngomong, kan? Ini rumah Mbak atau rumahku, ya?"

Perempuan yang hendak memasukkan nasi diam sesaat. Makanan yang ada di dalam sendok kembali ia letakkan di piring. Nampaknya nafsu makannya telah hilang. Syukurlah, itu tandanya ia paham siapa yang lebih berkuasa, aku atau dia?

"Ini memang yang membeli kamu, Li. Tapi tetap saja aku yang masak. Jadi kamu gak boleh makan secuil pun."

Aku hanya tersenyum saat melihat sayur sop di atas meja dan tempe goreng yang dimasak terlalu matang hingga berwarna coklat kehitaman. Dibayar pun aku tak mau memakannya, apalagi gratis. Masakan Mbak Risma membuatku tak nafsu makan.

"Aku juga gak mau makan masakan Mbak Risma. Nanti disuruh bayar lagi," ucapku seraya beranjak dari kursi.

"Gak enak, Ma."

"Jangan protes, makan aja apa yang ada!" Mas Risma menatap tajam putra semata wayangnya. Niko pun memilih bungkam tanpa bersuara.

Sebuah ide terlintas di kepala ini. Segera aku mengambil sebuah mie instan rasa soto dan memasaknya. Aroma lezat mie instan rasa soto menyeruak memenuhi ruangan. Aroma itu kian menciptakan rasa lapar terutama bagi Niko. Beberapa kali anak itu menghirup dalam, seolah menikmati kuah soto tersebut.

"Tante, Niko mau mienya," pintanya dengan wajah mengiba.

Aku tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun. Aku justru makan mie tepat di hadapan mereka. Kata siapa aku akan kelaparan di rumahku sendiri?

"Ma, Niko mau mie itu."

Anak lelaki itu menggoyang-goyangkan lengan ibunya. Tingkah Niko membuat Mbak Risma kesal.

"Mau ke mana, Mbak?" tanyaku saat Mbak Risma beranjak dari kursi.

"Mau buat mie."

Perempuan yang mengenakan daster berwarna kuning itu segera menuju dapur. Dia nyalakan kompor dengan panci berisi air di atasnya. Aku memperhatikan gerak-geriknya seraya menikmati mie instan.

"Kenapa gak bisa dibuka, Li?" tanya sambil berusaha membuka lemari kecil yang berisi berbagai bahan makanan.

"Satu mie 5000,Mbak," jawabku sambil memamerkan kunci dalam genggaman.

"Lili!"

Aku tersenyum kemudian kembali menikmati makan siang yang kesorean ini. Tidak aku hiraukan suara melengking kakak iparku.

***

Aku dan Mas Reza duduk di depan televisi yang menyala. Sebuah stasiun televisi menayangkan berita viral yang ada di dunia maya. Kami sampai tertawa saat seorang lelaki jatuh ke got karena asyik bermain ponsel.

"Ya Allah, Mas. Kok bisa sampai jatuh?" tanyaku sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Bisalah, orang matanya gak lihat depan."

"Reza."

Sontak aku dan Mas Reza menoleh ke samping. Mas Reno dan Mbak Risma segera duduk di kasur lantai tepat di sebelah suamiku.

"Mas mau bicara sama kalian berdua."

Aku melirik sekilas, mendadak perasaanku tak enak. Jangan bilang pinjam dulu lima ratus agar silaturahmi tidak terputus. Itu motif baru dalam meminjam uang lalu lupa dikembalikan.

"Ada apa, Mas?"

"Kami mau pinjam rumah kamu di Salatiga. Toh rumah itu belum kalian pakai, kan? Dari pada rusak mending Mas yang pakai."

"Boleh, Mas. Harga sewanya 10juta pertahun."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status