"Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?"
Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi."Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi."Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya."Keputusan berada di tangan Lili, Mas."."Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu mau diinjak-injak!"Semakin diam, semakin lancar mulut lelaki itu menghinaku. Ternyata ungkapan diam itu emas sama sekali tidak terbukti. Diamku justru seperti keset di lantai, diinjak-injak."Aku tetep mau pinjam rumah kamu, Za. Kamu harus ingat siapa yang menolongmu saat susah?"Mas Reno terus mengungkit masa lalu. Seolah ia tak ikhlas telah membantu membayar biaya pendidikan Mas Reza dulu. Kakak seperti apa dia? "Za!""Aku tidak bisa, Mas. Rumah itu dibangun dengan uang Lili. Lili berhak menolak keinginan Mas."Mas Reno mencebik. "Pasti ini hanya alasan kamu saja. Mana mungkin Lili yang membangun rumah itu. Bilang saja kamu pelit."Mas Reno dan Mbak Risma beranjak, dengan menghentak-hentakkan kaki dua orang itu pergi dari ruang keluarga. Sekalian saja pergi dari planet bumi.Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kepergian Mbak Risma dan Mas Reno bak magnet yang membawa sebagian keceriaan kami. Hanya kebisuan yang menyelimuti ruangan ini."Maafkan keluargaku, Li.""Maaf juga aku tak mengizinkan rumah kita mereka pakai."Mas Reza menghela napas, lalu kembali membisu.Aku paham betul seperti apa perasaan Mas Reza. Dia tenggelam dalam kebimbangan. Tidak tahu memilih siapa, aku atau keluarganya. Meski sebenarnya dia tidak harus memilih asal kedua belah pihak mau mengerti keadaan dan tidak menuntut ini itu.Aku bukan istri egois. Sikap mereka yan membuatku harus tega. Kalau bukan aku yang memperjuangkan hak kami, mau siapa lagi.Lelah dalam keheningan, aku memilih masuk kamar. Aku tinggalkan Mas Reza dengan perasaan tidak enaknya.***Rutinitas pagi selalu melelahkan bagiku. Memasak untuk sarapan dan bekal Mas Reza adalah suatu keharusan yang akhirnya menjadi kebiasaan. Namun rasa lelah itu hilang saat aku lihat senyum senang penuh ketulusan."Masak apa, Li?" tanya Mas Reza sambil melangkahkan kaki mendekat, ia segera duduk di kursi kesayangannya."Masak tumis brokoli dan telur dadar, Mas.""Mas Reno dan Mbak Risma gak kamu panggil, Li?""Nanti kalau lapar juga datang sendiri, Mas. Memangnya mereka siapa, Mas? Bukan anak presiden, kan?""Kamu boleh kesal dengan mereka, Li. Namun harus kamu ingat, mereka saudaraku. Sudah sepantasnya mita menghormati mereka, kan? Terlepas dari sikap mereka yang menyebalkan, kita wajib menghormati orang yang lebih tua."Seketika aku bungkam. Perkataan Mas Reza bak tamparan yang ia lakukan bertubi-tubi. Menyadarkanku jika sikapku salah."Biar aku panggilkan, Mas."Aku letakkan piring kosong di atas meja. Kaki kupaksa melangkah menuju kamar tamu. Aku abaikan hati yang menjerit dan memintaku berhenti.Terkadang mengalah dalam suatu permasalahan bukan berati kita kalah. Namun menurunkan ego demi bertahannya suatu hubungan jauh lebih penting. Inilah yang kulakukan.Pintu kamar tamu masih tertutup rapat. Samar terdengar orang berbincang, meski aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun suara itu menegaskan mereka sudah terbangun dari mimpi indah. Meski belum keluar tempat persembunyian.Tok! Tok! Tok!Pintu aku ketuk perlahan seraya memanggil nama Mas Reno dan Mbak Risma. Sepi,tak ada jawaban dari merela. Tiba-tiba saja kamar itu seperti kosong, tak berpenghuni. Jelas tadi kudengar mereka berbicara, tapi kenapa kini justru bungkam? Fix, mereka masih mengibarkan bendera perang."Mbak, Mas, sarapannya sudah siap. Ditunggu Mas Reza untuk makan bersama."Tidak ada jawaban, mereka pura-pura tidur. Baiklah, kalian jual maka aku akan membelinya. Hanya saja bukan uang yang kalian dapatkan. Namun sebuah kesadaran jika perbuatan kalian itu salah di mataku, apalagi menurut agama."Kalau tidak mau makan, jangan salahkan aku jika lauk habis dan Mbak Risma harus masak sendiri."Aku membalikkan badan, kembali kulangkahkan kaki menuju meja makan. Aku yakin tidak sampai lima menit mereka akan menyusulku."Mbak Risma sama Mas Reno mana, Li?"Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan bobot di kursi samping Mas Reza."Kita makan duluan saja kalau begitu."Aku mengangguk. Segera aku pindahkan nasi ke piring Mas Reza dan piringku. Tidak lupa lauknya, karena tak enak jika makan hanya dengan nasi saja.Derap langkah kaki menghentikan gerakan tangan kami. Sendok yang hampir masuk ke mulut kembali kuletakkan ke atas piring. Fokus mataku hanya satu, koper besar yang ada di tangan Mas Reno dan Mbak Risma. Apa mereka akan pergi dari rumah ini?"Kami mau pulang ke Salatiga, Za. Percuma di sini, kami sama sekali tidak dihargai."Tidak dihargai bagaimana, Tejo? Bukankah kalian yang tidak memiliki tata krama dan sopan santun? Semut saja tidak diam saat diinjak, apalagi aku! Jelas akan melawan dengan seluruh kekuatan yang tersisa."Baiklah kalau kalian mau pulang sekarang. Aku dan Lili tidak bisa memaksa kalian untuk tetap tinggal, kan? Lagi pula ini sudah menjadi keputusan Mas dan Mbak, kan?"Aku melongo saat mendengar jawaban Mas Reza. Mas Reza tidak sedang mimpi, kan? Tumben ucapannya sepaham dengan isi kepalaku."Kamu gak cegah kami, Za?" tanya Mas Reno."Buat apa, Mas? Kalian sudah besar, kan? Pasti sudah memikirkan matang sebelum mengambil keputusan. Kalau aku larang nanti Mas pikir aku tidak menghargai keputusan Mas Reno lagi."Mas Reno diam kemudian melirik Mbak Risma. Dari gestur tubuhnya dapat kulihat mereka kebingungan. Rencana untuk menggertak Mas Reza gagal total. Emang enak?"Ma, Niko lapar?" ucap Niko seraya menarik ujung kaos yang Mbak Risma kenakan."Diam, Niko!"Anak kecil itu diam, dia menunduk meski sesekali melirik makanan yang tersaji di atas meja. Niko kelaparan setalah bangun kesiangan."Sarapan dulu sebelum berangkat ke Salatiga, Mbak.""Gak perlu, Li. Kami masih kenyang."Krucuuk ... Krucuuk ...."Apa mau dibungkus, Mbak?" tanyaku seraya menahan tawa."Kamu gak anter mereka, Mas?" "Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian m
Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
“Apa Ibu bilang?”“Kamu gimana sih, Li? Kalau orang tua ngomong didengerin! Capek ibu ngulang berkali-kali. Denger,ya ... rumah kamu dipakai Reno sementara, setidaknya sampai Masmu dapat kerja dan bisa ngontrak rumah sendiri.”Allahu Akbar!Setidaknya sampai Masmu punya kerja? Lalu kapan? Kenapa mereka memakai tanpa izin dariku? Kunci duplikat memang dibawa oleh bapak karena kami jarang pulang kemari. Kami berniat tinggal di sini satu bulan lagi, setidaknya sampai rumah itu selesai 100 %. Namun apa yang aku dapatkan, rumah baruku justru dipakai kakak ipar.“Kenapa ibu tidak bicara sama kami dulu? Harusnya ibu meminta izin pada kami sebelum kunci itu ibu berikan kepada orang lain.”“Orang lain kamu bilang, Za? Reno itu kakak kandungmu. Saat ini dia sedang kesusahan, sudah sepantasnya kamu dan Lili membantunya, bukan justru mengusirnya.” Ibu meletakkan cangkir teh dengan kasar. “Ingat ya, Za kamu berhutang budi pada Reno,” pekik ibu kemudian masuk kamar.Aku terduduk lemas di kursi ka
"Rara kabur, Za!""Kabur, Bu? Kenapa bisa?""Reza mana? Kasih teleponnya ke Reza!" serunya. Aku menghela napas. Sabar ... Sabar, ini ujian pernikahan. Aku mengelus dada kemudian membangunkan Mas Reza dari alam mimpi. "Apa, Li? Nanti Mas cuci piringnya. Mas ngantuk ini.""Ini ibu telepon, katanya Rara kabur.""Kabur?"Mas Reza terperanjat, seketika dia sambar ponsel yang ada di tangan kananku. Aku hanya memperhatikan wajah panik dari lelakiku. Beberapa kali dia mengusap wajah kasar. Dia bingung dan khawatir dengan adik perempuannya. "Reza ke sana sekarang, Bu!"Mas Reza meletakkan ponsel di atas kasur lantai. Dengan cepat ia berlari menuju kamar. Aku pun mengikuti ke mana langkah kakinya. Namun entah kenapa aku tak bersiap, ada perasaan ragu yang membuatku memilih diam terpaku. "Kamu di rumah saja, Li. Aku tahu kamu masih kecewa dengan ibu.""Tapi, Mas.""Nanti aku bilang ada kepentingan lain."Mas Reza segera pergi meninggalkan rumah. Setelah kepergiannya, ada perasaan tak nyaman
"Benar ini kediaman saudara Reza?""Iya, Pak. Suami saya tidak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku cemas, aku tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Mas Reza. "Suami ibu?""Bapak ke sini ingin mengatakan jika suami saya kecelakaan, begitu?"Aku perjelas perasaan khawatir yang menyelimuti diri ini. Bukankah kedatangan polisi selalu berkaitan dengan kasus dan kecelakaan. Mas Reza tidak mungkin mengalami sebuah kasus, sehingga kecelakaan seketika terlintas di kepalaku. "Saya tidak tahu menahu tentang Pak Reza, Bu. Kedatangan saya kemari untuk menyampaikan jika adik Pak Reza berada di rumah sakit.""Rara maksud Bapak?""Iya, saudari Rara pingsan di jalan tak jauh dari kantor kami. Tidak ada KTP atau pun ponsel, setelah saudari Rara sadar kami baru bisa mencari informasi."Aku bernapas lega, ternyata bukan kecelakaan yang terjadi pada Mas Reza. Polisi itu justru menemukan orang yang kami cari-cari. "Di mana rumah sakitnya, Pak? Saya akan segera ke sana."Lelaki bertubuh tegap dengan ku
"Sarapan dulu, Mas, Bu?" Aku meneguk air putih hingga tandas tak tersisa. Sedikit aku lirik perempuan paruh baya yang masih berdiri dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Apa ibu tidak capek?"Kamu itu harusnya di rumah. Tidak malu keluyuran dengan perut besar begitu, Ra? Ibu malu, Ra! Malu punya anak sepertimu!"Braak!Kursi kayu itu di dorong keras ke belakang, Rara segera pergi menuju kamar. Teriakan Ibu tak mampu mengubah pendirian adik suamiku itu. Tidak lama terdengar pintu dibanting keras. Aku menghela napas melihat sikap perempuan bergelar ibu. Saat anaknya terpuruk, harusnya dia mampu menjadi pelindung, memberi kenyamanan agar Rara tak semakin terluka. Namun ibu hanya mementingkan perasaannya sendiri. Dia lupa, Rara butuh perhatian bukan nasihat apalagi caci dan maki. Rara jelas salah karena telah melakukan perbuatan terlarang. Namun sebagai keluarga, kita harus tetap memberi semangat. Bukan justru menjatuhkan mentalnya yang tinggal lima persen tersebut. Setelah keper