Share

Gagal Total

last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-21 08:55:21

"Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?"

Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi.

"Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"

Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi.

"Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"

Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya.

"Keputusan berada di tangan Lili, Mas.".

"Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu mau diinjak-injak!"

Semakin diam, semakin lancar mulut lelaki itu menghinaku. Ternyata ungkapan diam itu emas sama sekali tidak terbukti. Diamku justru seperti keset di lantai, diinjak-injak.

"Aku tetep mau pinjam rumah kamu, Za. Kamu harus ingat siapa yang menolongmu saat susah?"

Mas Reno terus mengungkit masa lalu. Seolah ia tak ikhlas telah membantu membayar biaya pendidikan Mas Reza dulu. Kakak seperti apa dia?

"Za!"

"Aku tidak bisa, Mas. Rumah itu dibangun dengan uang Lili. Lili berhak menolak keinginan Mas."

Mas Reno mencebik. "Pasti ini hanya alasan kamu saja. Mana mungkin Lili yang membangun rumah itu. Bilang saja kamu pelit."

Mas Reno dan Mbak Risma beranjak, dengan menghentak-hentakkan kaki dua orang itu pergi dari ruang keluarga. Sekalian saja pergi dari planet bumi.

Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kepergian Mbak Risma dan Mas Reno bak magnet yang membawa sebagian keceriaan kami. Hanya kebisuan yang menyelimuti ruangan ini.

"Maafkan keluargaku, Li."

"Maaf juga aku tak mengizinkan rumah kita mereka pakai."

Mas Reza menghela napas, lalu kembali membisu.

Aku paham betul seperti apa perasaan Mas Reza. Dia tenggelam dalam kebimbangan. Tidak tahu memilih siapa, aku atau keluarganya. Meski sebenarnya dia tidak harus memilih asal kedua belah pihak mau mengerti keadaan dan tidak menuntut ini itu.

Aku bukan istri egois. Sikap mereka yan membuatku harus tega. Kalau bukan aku yang memperjuangkan hak kami, mau siapa lagi.

Lelah dalam keheningan, aku memilih masuk kamar. Aku tinggalkan Mas Reza dengan perasaan tidak enaknya.

***

Rutinitas pagi selalu melelahkan bagiku. Memasak untuk sarapan dan bekal Mas Reza adalah suatu keharusan yang akhirnya menjadi kebiasaan. Namun rasa lelah itu hilang saat aku lihat senyum senang penuh ketulusan.

"Masak apa, Li?" tanya Mas Reza sambil melangkahkan kaki mendekat, ia segera duduk di kursi kesayangannya.

"Masak tumis brokoli dan telur dadar, Mas."

"Mas Reno dan Mbak Risma gak kamu panggil, Li?"

"Nanti kalau lapar juga datang sendiri, Mas. Memangnya mereka siapa, Mas? Bukan anak presiden, kan?"

"Kamu boleh kesal dengan mereka, Li. Namun harus kamu ingat, mereka saudaraku. Sudah sepantasnya mita menghormati mereka, kan? Terlepas dari sikap mereka yang menyebalkan, kita wajib menghormati orang yang lebih tua."

Seketika aku bungkam. Perkataan Mas Reza bak tamparan yang ia lakukan bertubi-tubi. Menyadarkanku jika sikapku salah.

"Biar aku panggilkan, Mas."

Aku letakkan piring kosong di atas meja. Kaki kupaksa melangkah menuju kamar tamu. Aku abaikan hati yang menjerit dan memintaku berhenti.

Terkadang mengalah dalam suatu permasalahan bukan berati kita kalah. Namun menurunkan ego demi bertahannya suatu hubungan jauh lebih penting. Inilah yang kulakukan.

Pintu kamar tamu masih tertutup rapat. Samar terdengar orang berbincang, meski aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun suara itu menegaskan mereka sudah terbangun dari mimpi indah. Meski belum keluar tempat persembunyian.

Tok! Tok! Tok!

Pintu aku ketuk perlahan seraya memanggil nama Mas Reno dan Mbak Risma. Sepi,tak ada jawaban dari merela. Tiba-tiba saja kamar itu seperti kosong, tak berpenghuni. Jelas tadi kudengar mereka berbicara, tapi kenapa kini justru bungkam? Fix, mereka masih mengibarkan bendera perang.

"Mbak, Mas, sarapannya sudah siap. Ditunggu Mas Reza untuk makan bersama."

Tidak ada jawaban, mereka pura-pura tidur. Baiklah, kalian jual maka aku akan membelinya. Hanya saja bukan uang yang kalian dapatkan. Namun sebuah kesadaran jika perbuatan kalian itu salah di mataku, apalagi menurut agama.

"Kalau tidak mau makan, jangan salahkan aku jika lauk habis dan Mbak Risma harus masak sendiri."

Aku membalikkan badan, kembali kulangkahkan kaki menuju meja makan. Aku yakin tidak sampai lima menit mereka akan menyusulku.

"Mbak Risma sama Mas Reno mana, Li?"

Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan bobot di kursi samping Mas Reza.

"Kita makan duluan saja kalau begitu."

Aku mengangguk. Segera aku pindahkan nasi ke piring Mas Reza dan piringku. Tidak lupa lauknya, karena tak enak jika makan hanya dengan nasi saja.

Derap langkah kaki menghentikan gerakan tangan kami. Sendok yang hampir masuk ke mulut kembali kuletakkan ke atas piring. Fokus mataku hanya satu, koper besar yang ada di tangan Mas Reno dan Mbak Risma. Apa mereka akan pergi dari rumah ini?

"Kami mau pulang ke Salatiga, Za. Percuma di sini, kami sama sekali tidak dihargai."

Tidak dihargai bagaimana, Tejo? Bukankah kalian yang tidak memiliki tata krama dan sopan santun? Semut saja tidak diam saat diinjak, apalagi aku! Jelas akan melawan dengan seluruh kekuatan yang tersisa.

"Baiklah kalau kalian mau pulang sekarang. Aku dan Lili tidak bisa memaksa kalian untuk tetap tinggal, kan? Lagi pula ini sudah menjadi keputusan Mas dan Mbak, kan?"

Aku melongo saat mendengar jawaban Mas Reza. Mas Reza tidak sedang mimpi, kan? Tumben ucapannya sepaham dengan isi kepalaku.

"Kamu gak cegah kami, Za?" tanya Mas Reno.

"Buat apa, Mas? Kalian sudah besar, kan? Pasti sudah memikirkan matang sebelum mengambil keputusan. Kalau aku larang nanti Mas pikir aku tidak menghargai keputusan Mas Reno lagi."

Mas Reno diam kemudian melirik Mbak Risma. Dari gestur tubuhnya dapat kulihat mereka kebingungan. Rencana untuk menggertak Mas Reza gagal total. Emang enak?

"Ma, Niko lapar?" ucap Niko seraya menarik ujung kaos yang Mbak Risma kenakan.

"Diam, Niko!"

Anak kecil itu diam, dia menunduk meski sesekali melirik makanan yang tersaji di atas meja. Niko kelaparan setalah bangun kesiangan.

"Sarapan dulu sebelum berangkat ke Salatiga, Mbak."

"Gak perlu, Li. Kami masih kenyang."

Krucuuk ... Krucuuk ....

"Apa mau dibungkus, Mbak?" tanyaku seraya menahan tawa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Kamu Bukan Kandung Kami

    20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Sesal

    5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Menyadari Kesalahan

    Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Tagihan hutang

    Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Kabar Buruk di Pagi hari

    "Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Pamer Mobil

    "Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status