"Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar."
Ya Allah, kenapa malah doa makan yang aku ucapkan?“Se—setan!” teriakku lantang.Aku memejamkan mata, takut menatap rambut panjang dengan wajah putih itu. Entah kuntilanak model apa yang kini berada di dapur. Sejak kapan rumahku jadi horor begini? Ini pasti akibat aura negatif dari kakak iparku. Tuhan, harusnya kutolak mereka menginap di sini.“Kamu kenapa, Li? Mana setannya?”Suara itu bukan seperti kuntilanak yang ada di film horor. Jelas ini suara Mbak Rima. Berarti setan yang kulihat sudah lenyap dari pandangan.Perlahan aku membuka mata. “Aaa ... setan!”“Mana ... mana?”Setan itu menoleh ke kanan dan kiri. Tunggu ... kenapa suara setan itu seperti Mbak Rima.“Ini Mbak Risma atau kuntilanak?” tanyaku.“Kuntilanak ... kuntilanak, emang wajah Mbakmu ini kayak setan? Kelewatan kamu ini, Li. Saudara sendiri dibilang setan. Kualat tahu rasa kamu!”“Salah sendiri malam-malam maskeran, wajah putih rambut digerai begitu. Ini lagi baju kenapa harus putih sih, Mbak? Bikin orang parno aja. Mana membungkuk gitu.”“Kalau kuntilanak mah terbang, Li. Bukan membungkuk. Kamu ini sukanya ngawur. Mbak sakit perut habis makan bakso larva kamu.” Mbak Rahma menatap lekat netra ini. “Aduh, sakit,” ucapnya kemudian membalikkan badan dan lari ke kamar mandi.Aku diam, tangan menutup mulut agar tawa yang keluar tak terdengar oleh istri kakak iparku itu. Ingin kasihan, tapi ada rasa puas yang tak bisa kusembunyikan. Mungkin ini karma karena memakan habis semur yang kumasak. Emang enak, Mbak? Lain kali kalau makan lihat saudara lain juga dong.Aku kembali melangkah menuju kamar. Penasaran yang sempat hadir terjawab sudah, bukan maling atau kuntilanak tapi Mbak Risma. Perempuan itu yang sempat mengusik tidur nyenyakku.Aku menggeleng pelan melihat Mas Reza yang masih terlelap setelah kehebohan barusan. Dia benar-benar tak terusik dengan teriakanku. Ya Tuhan, suamiku seperti orang mati kalau tidur. Tidak akan sadar meski aku berteriak hingga kelelahan.***Suara azan subuh bak alarm alami yang membangunkanku dari tidur lelap. Suara itu memiliki ritme tersendiri hingga saat mendengarkan hatiku pun ikut bergetar. Sungguh indah Kuasa Tuhan yang kini kurasakan. Bangun setelah tertidur adalah salah nikmat. Sayangnya banyak orang yang tak mensyukuri akan hal itu.Aku pun beranjak dari ranjang untuk menunaikan ibadah wajib dua rakaat. Kemudian segera mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah menumpuk.Rumah masih sepi saat aku keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan iparku itu. Mereka pasti masih terlelap di alam mimpi. Tidak adakah niat untuk membantuku di dapur, meski hanya mengupas bawang sebiji. Ah, untuk apa aku berharap pada orang yang tidak peka sama sekali. Itu namanya mengharapkan pelangi saat mentari bersinar terang, mustahil.Kembali harus kutahan emosi mana kala tumpukkan piring kotor menggunung. Belum lagi lautan pakaian kotor yang bahkan keluar dari keranjang karena banyaknya. Hampir 75% dari pakaian kotor itu miliki Mas Reno dan keluarganya.Entah bagaimana orang tua mereka mendidik. Harusnya mereka memiliki sopan santun dan etika yang baik. Namun nyatanya tidak sama sekali. Mereka memperlakukan diriku layaknya pembantu. Ini rumahku, aku ratu bukan babu di sini.Aku kembali mengelus dada dan beristigfar. Dengan mulut terus mengomel kubereskan gunungan-gunungan kotoran tersebut. Jangan tanya betapa kesal diri ini. Sangat kesal, rasanya ingin memaki mereka. Namun tata krama menuntutku untuk diam."Sarapannya apa, Li?" taya Mas Reza yang sudah menjatuhkan bobot di kursi makan.Lelaki itu menautkan dua alis menatap meja makan yang kosong. Tidak ada nasi apa lagi lauk yang tertata rapi di sana."Sarapan roti dulu, ya, Mas."Aku berikan dua roti tawar dengan selai nanas. Tidak lupa secangkir susu agar perut kenyang.Tidak lama Mas Reno, Niko dan Mbak Risma keluar dari kemar. Mereka pun duduk di kursi makan yang kosong. Sama seperti Mas Reza, mereka juga menanyakan sarapan pagi. Sudah kuduga ini akan terjadi."Kamu gak masak, Li?" tanya Mbak Risma tanpa rasa bersalah sedikit pun."Aku belum sempat masak, Mbak.""Ada tamu kok gak masak to, Li?""Aku nyuci piring dan pakaian bergunung-gunung jadi gak sempet masak.""Kita makan apa, Za?""Tanya Lili saja, Mas. Aku dah kesiangan ini."Mas Reza pun melangkah pergi meninggalkan ruang makan. Tidak lama suara motor terdengar menjauh dari halaman rumah. Mas Reza kabur sebelum menjawab pertanyaan kakaknya. Dia melemparkan jawaban padaku."Makan seadanya dulu, Mbak. Ada roti sama susu. Aku capek habis nyuci, masak agak siangan."Aku menjawab tanpa rasa berdosa. Aku pun mengambil roti dan mengolesinya dengan selai nanas. Aku abaikan wajah mereka yang dipenuhi tanda tanya. Emang enak gak ada makanan?"Ma, laper," ucap Niko mengiba."Kalau mau masak nasi dulu, Mbak. Ada tu mie instan juga."Mbak Risma menghela napas, dia melangkah menuju dapur. Tidak lama aroma mie instan menyeruak memenuhi indra penciuman. Mas Risma lebih memilih anaknya makan mie instan dibanding roti dan susu.***Terik mentari terasa begitu menyengat. Tidak ada angin yang berlari dan menyapa. Kipas angin sudah dinyalakan tapi tak mengurangi gerah yang kurasa.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Tangan dengan lincah mengirim balasan pesan customer. Ya, selain menjadi ibu rumah tangga, aku mengurangi kebosanan dengan menjadi reseller pakaian seperti gamis dan lainnya. Hasilnya pun lumayan dapat memenuhi keinginan sendiri.Aku memejamkan mata saat kantuk mulai menyapa. Alunan lagu bak nyanyian yang menina bobogkan diriku."Tante ...."Aku pura-pura tak mendengar teriakan Niko. Kembali kupejamkan mata. Namun gedoran pitu kian terdengar jelas. Anak itu terus memanggil namaku. Tidak bisakah anak kecil itu membiarkan diriku terlelap walau sekejap?Sambil menghentak-hentakkan kaki aku mendekat ke arah pintu. Sedikit keras kubuka benda yang terbuat dari kayu mahoni itu. Suara benturan membuat anak kecil itu melonjak, kaget."Ada apa, Niko!""Ada tamu, Tan.""Siapa?""Mana Niko tahu, Tan. Tamunya om-om, Tan."Aku menautkan alis, Om siapa yang ia maksud? Apa mungkin teman Mas Reza? Atau tetangga sebelah?"Buruan, Tan! Om sudah nunggu di luar dari tadi."Rasa penasaran menuntun langkahku untuk mengikuti anak itu. Pintu depan kubuka perlahan. Seorang lelaki tersenyum ramah saat menatapku."Maaf, Bu. Anaknya belum bayar batagor.""Niko!"Anak kandung Mas Reno berlari cepat masuk kamar. Dia tinggalkan aku dan penjual batagor itu. Dasar anak dan ayah sama saja! "Totalnya Rp. 25.000,00 Bu. Tolong segera dibayar."Alamak, sial betul nasibku. Dia yang makan tapi aku yang harus bayar."Aku minta ganti rugi, Mbak!"Aku menengadahkan tangan di depan Mbak Risma. Istri kakak iparku itu menautkan dua alis, dia kebingungan dengan perkataanku. "Rp. 25.000,- Mbak?""Untuk apa kamu minta uang, Li?""Buat ganti uang batagor. Niko beli tidak bawa uang, jadi aku yang harus bayar.""Cuman uang receh aja, Li. Lagi pula Niko itu keponakanmu. Harusnya kamu manjain dia. Bukan justru pelit begini. Pantas saja sampai saat ini kamu gak hamil. Sama anak kecil saja gak deket, gimana Tuhan mau kasih."Aku diam, mulut ini mendadak membisu. Perkataan Mbak Risma tak ubahnya tombak yang ditancapkan tepat di jantungku. Sakit, teramat sakit. Perempuan mana yang tak sakit hati mendengar ucapannya. Aku bukannya pelit, aku hanya tak suka dengan cara Niko meminta uang. Dia seperti tak pernah diajari tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua. Apa salah aku memberinya pelajaran? "Lain kali sayang sama keponakan biar cepet hamil, Li."Perempuan itu kembali menyayat hati sebelum akhi
"Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?" Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi. "Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi. "Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya. "Keputusan berada di tangan Lili, Mas.". "Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu ma
"Kamu gak anter mereka, Mas?" "Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian m
Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
“Apa Ibu bilang?”“Kamu gimana sih, Li? Kalau orang tua ngomong didengerin! Capek ibu ngulang berkali-kali. Denger,ya ... rumah kamu dipakai Reno sementara, setidaknya sampai Masmu dapat kerja dan bisa ngontrak rumah sendiri.”Allahu Akbar!Setidaknya sampai Masmu punya kerja? Lalu kapan? Kenapa mereka memakai tanpa izin dariku? Kunci duplikat memang dibawa oleh bapak karena kami jarang pulang kemari. Kami berniat tinggal di sini satu bulan lagi, setidaknya sampai rumah itu selesai 100 %. Namun apa yang aku dapatkan, rumah baruku justru dipakai kakak ipar.“Kenapa ibu tidak bicara sama kami dulu? Harusnya ibu meminta izin pada kami sebelum kunci itu ibu berikan kepada orang lain.”“Orang lain kamu bilang, Za? Reno itu kakak kandungmu. Saat ini dia sedang kesusahan, sudah sepantasnya kamu dan Lili membantunya, bukan justru mengusirnya.” Ibu meletakkan cangkir teh dengan kasar. “Ingat ya, Za kamu berhutang budi pada Reno,” pekik ibu kemudian masuk kamar.Aku terduduk lemas di kursi ka
"Rara kabur, Za!""Kabur, Bu? Kenapa bisa?""Reza mana? Kasih teleponnya ke Reza!" serunya. Aku menghela napas. Sabar ... Sabar, ini ujian pernikahan. Aku mengelus dada kemudian membangunkan Mas Reza dari alam mimpi. "Apa, Li? Nanti Mas cuci piringnya. Mas ngantuk ini.""Ini ibu telepon, katanya Rara kabur.""Kabur?"Mas Reza terperanjat, seketika dia sambar ponsel yang ada di tangan kananku. Aku hanya memperhatikan wajah panik dari lelakiku. Beberapa kali dia mengusap wajah kasar. Dia bingung dan khawatir dengan adik perempuannya. "Reza ke sana sekarang, Bu!"Mas Reza meletakkan ponsel di atas kasur lantai. Dengan cepat ia berlari menuju kamar. Aku pun mengikuti ke mana langkah kakinya. Namun entah kenapa aku tak bersiap, ada perasaan ragu yang membuatku memilih diam terpaku. "Kamu di rumah saja, Li. Aku tahu kamu masih kecewa dengan ibu.""Tapi, Mas.""Nanti aku bilang ada kepentingan lain."Mas Reza segera pergi meninggalkan rumah. Setelah kepergiannya, ada perasaan tak nyaman