Share

Berhenti Naya

Author: Ilyas One
last update Last Updated: 2022-06-15 14:06:28

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 5

"Kadang nih ya, Man. Bisa saja itu trik dari istri kamu. Biar rumah tangga kalian bubar, terus dia bisa nikah lagi deh sama laki-laki lain," lanjut Ibu lagi.

Aku jadi teringat tentang kata-kata Naya tadi. Saat dia mengatakan ingin pulang ke rumah Abi. Aku mengepalkan tangan kuat, ini tidak bisa dibiarkan.

"Jadi aku harus gimana, Bu?" tanyaku bingung.

"Ya kalau dia minta ceria kamu ceraiin aja. Lagian Ibu nggak suka sama dia," ucap Ibu yang spontan membuatku menggeleng kepala kuat.

"Percuma, Buk. Mau Ibu bilang apapun tentang Mbak Maya, Bang Arman nggak akan percaya," celutuk Lela yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.

"Iya, Ibu tau. Tapi kan Ibu cuma mengingatkan Abangmu. Kalau cuma dijadikan angin lalu yowes nggak papa," balas Ibu sambil mencebik mulutnya.

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Lebih baik aku diam saja, daripada masalah bertambah runyam. Pikiranku sangat kacau saat ini.

Di satu sisi aku seperti meyakini jika yang dikatakan oleh Ibu barusan benar. Jika Naya sudah berubah. Dan perubahan besar itu terjadi pasti karena pengaruh seseorang.

Tapi di sisi yang lain. Jauh di lubuk hatiku. Aku yakin jika Naya tidak akan mengkhianatiku. Mengingkari janji suci kami. Apalagi saat ini kami sudah di karuniai seorang anak.

"Tuh liat aja, Bu. Wajah Bang Arman terlihat ragu-ragu," ucap Lela lagi yang membuatku terkejut.

Aku pun menjadi salah tingkah karena ucapan Lela barusan. Ada baiknya memang aku pulang dan istirahat. Karena semakin lama disini akan semakin membuatku bingung.

"Yasudahlah, Lela. Biar saja dia menanggung akibatnya sendiri," balas Ibu acuh.

"Aku permisi aja deh, Bu. Besok akan aku bicarakan lagi sama Naya dirumah. Sekarang sudah larut," pamitku lalu berjalan keluar rumah.

Kuambil payung yang tadi aku letakkan di luar rumah Ibu. Hujan turun semakin deras. Aku memang kenyang, tapi rasanya tidak puas. Apa sebaiknya aku tanyakan saja sama Naya tentang tuduhan Ibu.

Atau aku menyelidiki semuanya sendiri. Tapi jika mengingat kesibukanku tidak mungkin aku menyeledikinya sendiri. Atau aku tanyakan saja langsung pada Naya. Sekalian aku mau lihat seberapa jujur dia padaku sekarang.

Dijalan pulang pikiranku terus berkecamuk. Bagaimana tidak, rasanya rumah tanggaku tidak pernah mengalami masalah serumit ini.

"Ah, sebaiknya aku ke warung dulu untuk beli beras buat besok," gumamku sendiri ketika melewati warungnya Mpok Atik. Sekalian aku mau menanyakan apakah Naya tadi beli beras disini atau tidak.

"Mpok, berasnya dong," ucapku ketika sudah berada di dalam warungnya. Karena ini warung kecil, jadi hanya menyediakan beras kiloan.

"Berapa, Man?" tanya Mpok Atik balik.

"Sekilo aja, Mpok."

"Emang beras tadi nggak cukup?" tanyanya sambil memasukkan beras ke dalam plastik kemudian menimbangnya pada timbangan.

"Eump…." Jawabanku tergantung di udara. Karena memang aku tidak tau harus menjawab apa.

Pikiranku malah tertuju pada cerita Naya dan Ibu tadi. Berarti benar tadi Naya sudah beli beras.

"Nih, 15rebu aja," ucap Mpok Atik menyodorkan aku plastik berwarna hitam. Aku menerimanya kemudian memberikan satu lembar uang dua puluh ribu.

Mpok Atik dengan cekatan menerima uang dariku dan kembali menyodorkan uang sebesar lima ribu untukku sebagai kembalian.

Saat sampai dirumah, aku mendengar suara Daffa menangis. Sudah jadi kebiasaan memang, jika dia menangis setiap malam.

Aku menyimpan payung di teras rumah. Kemudian mencuci kaki pada kran air yang berada di luar. Kemudian duduk sebentar di kursi luar rumah. Karena Naya selalu marah jika aku pulang malam-malam begini langsung masuk kedalam rumah.

Katanya ada jin yang mengikutiku dan 'dia' akan ikut serta kedalam rumah. Jika biasanya ucapannya itu tidak aku pedulikan. Malam ini aku memilih menurut saja. Karena aku tidak ingin bertengkar lagi dengannya.

Apalagi jika aku masuk ke dalam. Pasti Naya akan meminta bantuanku untuk bergantian menggendong Daffa. Bukannya aku tidak mau menggendong anakku sendiri. Hanya saja kata Ibu itu memang tugasnya Naya sebagai seorang Ibu.

Aku sudah seharian capek kerja banting tulang. Masak aku harus kembali mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga anak. Yang benar saja?

Sudah sepuluh menit aku duduk di luar. Tapi tangis Daffa masih saja terdengar. Aku putuskan untuk masuk dan melihat apa yang terjadi.

Ternyata Naya sedang menyusui Daffa sambil berdiri. Dia menggoyangkan badannya seperti sedang mengayun Daffa.

Dia menatapku sekilas kemudian kembali fokus pada Daffa. Tumben sekali dia tidak meminta bantuanku untuk membantunya. Benar kata Ibu, Naya berubah menjadi lebih dingin.

Aku putuskan untuk ke dapur untuk menyimpan beras yang aku beli tadi dan juga untuk minum. Padahal aku tidak haus. Tapi sengaja agar Naya menanyakan aku dari mana. Atau dia meminta bantuanku untuk menggendong Daffa.

Sudah dua gelas air yang aku minum. Tapi Naya masih saja fokus sama Daffa. Dia sama sekali tidak memperdulikan kehadiranku. Kesal.

Karena dia sedang berada di ruang TV. Aku juga pura-pura ingin menonton TV. Padahal jujur aku sudah sangat ngantuk. Tapi apa daya, rasa penasaran kenapa Naya tidak meminta pertolonganku lagi lebih besar dari rasa ngantuk.

Sholallah ala muhammad

Shollallah alaihi wasallam

Shollallah ala muhammad

Waala alaihi wasallam

Rabbi faj'al mujtama'na

Ghoyatuhusnul khitami

W*'thina maqod sa alna

Min atho ya kaljisani

Tholaal badru alayna

Mintsani yatilwada

Wajaba syukru alaina

Madaa lillahida

Ayyuhal mabu tsufina

Jitabil amril mutho

Jitasyaroftal madinah

Marhaban ya khoirodai

Naya menggendong Daffa sambil bersalawat. Suaranya sangat merdu, mendayu-dayu hingga membuatku terlena.

Dia bukan hanya cantik, tapi juga Soleha. Oleh sebab itu dulu aku menolak dijodohkan dengan Intan oleh Ibu. Karena aku bukan hanya mencari istri. Tapi juga Ibu untuk anak-anakku.

Tangisan Daffa mereda. Dia tidak lagi menangis. Aku rasa dia sekarang sudah tidur. Naya membawa Daffa ke dalam kamar.

Aku beranjak dari duduk. Mematikan televisi dan mengikuti langkah Naya ke kamar. Sebaiknya besok saja aku menanyakan masalah yang dikatakan Ibu dan Lela tadi.

*

Aku menggeliat ketika cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Aku terbangun karena silauannya. Kulirik pandanganku pada jam weker yang berada di atas nakas.

"Astaghfirullah." Sontak aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Aku segera bangun dari tidur dan berlari ke kamar mandi. Hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Tidak mungkin aku mandi lagi, karena pasti aku akan terlambat ke kantor.

Ini pasti karena semalam aku telat tidur. Belum lagi tengah malam tadi Daffa kembali menangis. Kata Naya karena sedang tumbuh gigi.

Setelah siap dengan pakaian dan tas kantor. Aku segera keluar kamar untuk melihat dimana Naya.

"Nay, kenapa kamu nggak bangunin aku sih. Kamu tau nggak aku telat," bentakku ketika melihat Naya sedang menyuapi Daffa.

"Aku udah bangunin kamu tadi. Kamu aja yang nggak mau bangun," jawab Naya tanpa melihat kearahku.

"Tapi kamu kan bisa paksa aku bangun kayak hari-hari biasanya. Alasan aja, bilang aja kamu mau aku dipecat kan?" bentakku lagi sambil memakai sepatu kantor.

"Ini kenapa sepatuku kotor banget? Kamu nggak semir ya?" tanyaku lagi ketika melihat sepatuku sangat kotor dan apek.

Biasanya setiap hari Naya akan menyiapkan baju kerja. Bukan hanya itu, dia juga akan menyiapkan sepatu yang sudah dia semir di depan pintu.

Aku hanya tinggal mandi, pakai baju, sarapan dan berangkat kerja. Tapi sekarang semuanya aku urus sendiri. Mana baju kerja yang aku pakai sekarang kusut.

"Nggak sempat, Mas," jawab Naya acuh. Dia terus saja menyuapi Daffa dan bermain-main dengannya.

"Aaggrrhhh!" 

Daripada aku terus meladeninya yang mulai gila itu. Lebih baik aku sarapan. Mengisi lambung agar tenaga terisi penuh.

Akhirnya pagi ini ada sarapan untukku. Padahal aku tadi sudah was-was jikalau Naya masih mogok masak.

"Kamu baik-baik dirumah. Jangan kemana-mana tanpa ijin dariku, ingat itu!" tegasku pada Naya saat akan berangkat kerja.

"Iya, aku kan kamu nikahi untuk jadi Irt sekaligus ART," jawab Naya halus tapi menyakitkan.

"Kamu nyindir aku?" Aku kembali membalikkan badan melihat kearahnya dengan tatapan tajam.

"Nggak, emang kamu ngerasa?" tanyanya balik yang membuatku tertegun.

"Kamu tau nggak kesalahan kamu hari ini banyak banget," bentakku.

"Dengar ya, Mas. Aku itu capek tau nggak. Aku capek selalu peduli sama kamu. Aku itu capek bersikap baik seperti pengemis. Padahal kamu itu suamiku, tapi rasanya seperti orang lain!"

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Tamat!

    "Tidaak! Jangan kubur anak saya. Dia masih hidup!" Tiba-tiba Ibu datang dan berteriak dari jauh. Kami semua terkejut dan melihat Ibu yang datang dengan penampilan yang sangat berantakan.Wajahnya merah, bahkan Ibu tidak memakai jilbab. Padahal tadi Umi sudah menyerahkan satu set gamis beserta jilbab. Agar Ibu bisa menutup aurat di acara pemakaman Lela."Stop. Kalian semua pembunuh. Jangan kubur Lela, dia masih hidup. Lelaaa!" teriak Ibu sambil terisak. Terpaksa acara pemakaman Lela dihentikan. Pak Hartono yang dari tadi terdiam, berjalan menghampiri Ibu yang sedang berontak karena dipegang oleh beberapa santri."Cukup, Jubaidah! Jangan buat masalah lagi. Lela sudah tenang, relakan," tegas Pak Hartono sambil memegang kedua bahu Ibu."Tidak. Lela anakku masih hidup. Kalian semua pembunuh," sungut Ibu yang membuat suasana semakin menegang.Beberapa pelayat ada yang bingung dengan kejadian ini. Ada di antara mereka yang langsung pulang karena proses pemakaman terlalu lama."Diam. Tolong

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Menjadi Gila

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 72POV Naya"Ibu mertuamu dimana, Nay? Apa dia tidak ingin mencium Lela untuk terakhir kalinya?" tanya Umi padaku. Saat ini jenazah Lela sudah dirumah Umi dan Abi. Tadi saat di rumah sakit Ibu berkali-kali pingsan karena tidak sanggup kehilangan Lela.Dia berbicara antara sadar dan tidak sadar. Ibu terus meracau memanggil nama Lela. Sesekali Ibu tertawa sendiri, kemudian kembali menangis. Makanya tadi saat dirumah sakit, aku memutuskan untuk naik mobil ambulans menemani jenazah Lela.Sedangkan Ibu, pulang bersama Mas Arman. Ibu lebih tenang jika berada di dekat Mas Arman daripada Pak Putra dan Pak Hartono. Padahal mereka adalah keluarga kandung Ibu. Mungkin karena efek sudah lama tidak bertemu dan bersama. Makanya Ibu juga merasa asing dengan mereka. Begitu juga sebaliknya, walaupun ada gurat kecewa di wajah Pak Putra.Apalagi saat Ibu mengatakan jika dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Wajah Pak Putra dan Pak Hartono langsung memerah

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Frustasi 2

    Ketika Istri Berhenti PeduliPak Putra mengambil kembali ponselnya dari tanganku. Sedangkan aku masih berdiri di sampingnya karena syok. Bagaimana bisa ada dua orang yang sangat mirip tapi tidak kembar."Dia Widya. Tapi kamu tenang saja, saya tau kamu sudah menikah dan memiliki anak," ucap Pak Putra dengan nada suara yang lebih tenanSetelahg. Sepertinya dia sudah jauh lebih baik dari tadi."Apakah Widya memiliki orang tua atau keluarga?" tanyaku pada Pak Putra yang sedang menyimpan ponselnya di dalam saku jaket kulit miliknya."Iya, dia sama seperti kamu. Anak tunggal, hanya saja kedua orangtuanya sudah pindah ke luar negeri setelah dia meninggal," jawab Pak Putra menjelaskan."Kenapa kami bisa sangat mirip, padahal kami tidak memiliki hubungan darah," aku terus memikirkan bagaimana wajahku bisa sangat mirip dengan wanita itu."Entahlah, kuasa Allah. Tidak ada yang tidak mungkin bukan?" jawab Pak Putra yang membuatku beristighfar.Kenapa aku tidak berpikir seperti Pak Putra. Padahal j

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Frustasi

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 71POV NayaKami masih menangis di depan kamar Lela. Sedangkan di dalam ada dokter dan beberapa perawat yang sedang melakukan pemeriksaan. Walaupun kami tau jika Lela sebenarnya sudah tiada. Tapi Dokter pasti akan tetap melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Mataku sembab dan terasa sangat lelah. Mas Arman masih menangis sesenggukan di sampingku. Sedangkan Pak Putra hanya diam dengan wajah datarnya. Dia sama sekali tidak terlihat sedih atau merasa kehilangan. Ya wajar menurutku, karena dia tidak pernah dekat dengan Adiknya itu. Bahkan dia malah membencinya karena sikap Lela tempo hari.Tapi jauh di dalam sini, aku berucap pada diriku sendiri. Jika aku sudah memaafkan semua kesalahan Lela padaku. Semua dendam yang pernah tertanam di dalam hati. Kini sudah hilang, tidak ada lagi dendam ataupun kebencian pada Lela.Kini aku malah teringat dengan Diki, dia telah menjadi yatim di usia balita. Mau menghubungi Herman juga aku tidak mempunyai nomor teleponnya. B

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Meninggal 2

    "Maksudnya gimana ya, Pak?" tanya Mas Arman tersenyum aneh. Aku juga merasa aneh dengan sikap mereka dari tadi."Jadi dulu, setelah dia melahirkan Putra. Dia pamit karena suatu urusan. Dan setelah itu dia tidak pernah kembali lagi pada kami. Di menghilang bak ditelan bumi. Saya pikir dia sudah meninggal, karena tidak kunjung kembali. Tapi nyatanya, dia masih hidup. Walaupun kami dipertemukan dengan cara seperti ini. Tapi itu cukup membuat saya bahagia. Ternyata anak saya masih hidup dan sudah mempunyai anak di tempat lain. Kamu adalah cucu saya juga." Pak Hartono menjelaskan semuanya sehingga membuat aku dan Mas Arman terkejut. Berarti Ibu masih mempunyai keluarga. Dan tidak main-main, dia punya keluarga yang sangat kaya raya."Anda sedang tidak bercanda kan, Pak?" tanya Mas Arman memastikan."Saya serius. Kamu bisa tanyakan lagi nanti sama Ibu. Dia akan siuman sebentar lagi. Tadi terpaksa dokter menyuntikkan obat penenang. Karena dia terus menangis memanggil anaknya," jelas Pak Hart

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Meninggal

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 70POV NayaKami berlari mengejar langkah dokter yang semakin menjauh. Perutku rasanya sedikit nyeri bagian bawah karena berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ternyata Lela sudah dibawa kembali ke ruang operasi.Aku dan Mas Arman menunggunya dengan harap-harap cemas. Jujur, jika ditanyakan apakah aku membenci Lela. Jawabannya iya, karena dari dulu dia menginginkan aku berpisah dari Mas Arman. Dia selalu menghasut supaya Mas Arman menceraikan aku. Apalagi setelah kejadian kemarin, ketika dia ingin menjualku pada laki-laki hidung belang. Rasa benciku semakin bertambah-tambah rasanya.Tapi jika sekarang ada yang menanyakan, apakah aku mencemaskan Lela. Jawabannya juga iya, aku sangat mencemaskan dia. Jujur, saat ini aku sungguh menginginkan dia untuk sembuh kembali. Walaupun setelah dia sembuh dan sehat dia akan menggangu hidupku. Rasanya aku rela, karena melihat penderitaan yang dia alami sekarang membuatku sadar. Jika doaku selama ini mungkin telah dik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status