Share

Siapa yang Durhaka?

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

POV Naya

Part 7

"Ingat, Bu. Sampai kapanpun aku akan tetap mempertahankan rumah tanggaku. Selama Mas Arman tidak main perempuan, berjudi dan melakukan kekerasan," tegasku sambil menunjuk kearah Ibu.

"Kamu akan segera bercerai dengan Arman!" teriak Ibu lagi sambil maju menarik kerah bajuku.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba Mas Arman masuk ke dalam rumah yang membuat kami terkejut.

Melihat situasi yang menegangkan, aku langsung menjatuhkan diriku sendiri ke lantai. Seakan-akan Ibu mendorongku dengan kuat, agar Mas Arman bisa menilai sendiri bagaimana perlakuan Ibu padaku.

"Auw…." ringisku pura-pura kesakitan.

"Ibu! Apa yang Ibu lakukan!" Mas Arman membentak Ibu yang gelagapan.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Man," ucap Ibu berusaha menjelaskan semuanya.

Sepertinha Mas Arman tidak memperdulikan penjelasan Ibu. Dia menghampiri dan memegang kedua tanganku untuk berdiri kembali.

"Kamu nggak papa?" tanya Mas Arman saat aku sudah berdiri kembali.

Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Walaupun ini hanya akting, tapi punggungku nyatanya beneran sakit. Karena terkena siku meja yang berada di belakangku.

"Kamu kok pulang, Mas?" tanyaku pada Mas Arman. Karena ini masih siang, biasanya Mas Arman akan pulang sore.

"Iya, karena ada berkas yang kemarin aku bawa pulang. Tapi ketinggalan tadi pagi, karena buru-buru," jawab Mas Arman menjelaskan.

"Tapi sampai dirumah, malah mendapati Ibu sama kamu bertengkar. Pusing aku tau nggak!" lanjut Mas Arman sambil meremas rambutnya yang terlihat sedikit panjang.

Jujur, aku kadang kasihan melihat posisi serba salah Mas Arman. Satu sisi, itu Ibunya. Yang sampai kapanpun hubungan darah itu tidak akan terputus.

Tapi di sisi yang lain, ada aku Istrinya yang harus dia jaga. Tapi yang membuat aku kesal dan geram. Mas Arman tidak bisa bertindak tegas. Dia masih seperti anak kecil yang bisa diatur oleh Ibu dan Adiknya.

Seharusnya dia bisa bersikap tegas. Karena aku juga tidak pernah melarang dia memberikan uang bulanan pada Ibu. Jadi dia tetap masih bisa berbakti pada Orang tuanya tanpa harus mengabaikan perasaanku.

"Gimana Ibu nggak marah, Man. Dia itu ketahuan selingkuh, tapi masih ngelak," pekik Ibu dengan suara meninggi.

Aku melototkan mata mendengar penjelasan Ibu barusan. Bagaimana bisa dia memfitnah di depanku sendiri. Seakan-akan semua yang dia katakan itu benar.

Mas Arman tidak kalah terkejutnya dariku. Pandangannya yang semula menghadap kearah Ibu. Kini malah berbalik melihatku dengan tatapan yang entah. Sulit untuk kujelaskan.

"Benar itu Naya?" tanya Mas Arman padaku.

"Benar apanya?" tanyaku balik dengan tatapan bingung.

"Benar yang Ibu katakan barusan. Kalau kamu berselingkuh di belakangku?" tanya Mas Arman lagi yang kini malah menunjuk di depan wajahku.

Ibu tersenyum penuh kemenangan saat aku tidak sengaja melihat ke arahnya. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menetralisir rasa benci dan marahku pada manusia di depanku ini.

"Atas dasar apa Ibu memfitnahku begini, Mas? Apa Ibu ada bukti?" tanyaku balik yang membuat air wajah Ibu yang semula cerah sedikit meredup.

Mas Arman kembali melihat ke arah Ibunya. Meminta penjelasan dan bukti, sesuai pertanyaanku barusan.

"I-ibu…." Ibu terlihat gugup saat kedua tatapan mata melihatnya, menuntut bukti.

"Kenapa, Bu? Nggak ada bukti?" tanyaku sambil tersenyum sinis.

"Ibu ada bukti?" tanya Mas Arman.

Ibu terlihat memikirkan bagaimana caranya memberikan bukti pada Mas Arman. Tangannya terus saja saling meremas satu sama lain. Aku tahu dia sedang memikirkan cara untuk membuat anaknya yakin jika akulah yang berselingkuh.

"Emang tadi Naya lagi sama siapa dirumah?" tanya Mas Arman lagi pada Ibu yang masih diam.

"Tadi memang dia sendirian, Man. Tapi pas Ibu kemari. Ibu dengar dia lagi telponan, dia nyebutin nama laki-laki. Namanya… Wira, iya Wira!" ucap Ibu sumringah karena telah berhasil mengingat nama yang menjadi bahan fitnahnya.

Aku tersenyum getir, ya Allah apa salahku hingga harus mendapatkan cobaan seberat ini.

"Mana ponsel kamu, Nay!" Mas Arman meminta ponsel padaku. Terpaksa aku menyerahkan ponsel yang dari tadi aku genggam. Mungkin ini sudah saatnya mereka tahu.

Mas Arman terlihat melihat pada panggilan terakhir. Hanya ada nomor yang tidak dikenal, karena aku memang belum membuat kontak untuk nomor Pak Wira.

"Ini nomor siapa?" tanya Mas Arman memperlihatkan layar ponsel padaku.

"Nomor yang tadi nelpon aku," jawabku singkat.

"Ya siapa? Kenapa dia nelpon kamu!" tanya Mas Arman dengan nada ketus dan meninggi.

Belum aku menjawab, Mas Arman langsung menekan tombol hijau untuk menelpon nomor Pak Wira.

Tut…Tut …Tut….

"Halo selamat siang, dengan WH Publisher. Ada yang bisa kami bantu Bu Naya?" Ketika panggilan sudah terhubung, Pak Wira langsung mengucapkan salam.

Mas Arman kelabakan mendengar sambutan resmi dari Pak Wira. Dia menyuruhku untuk menjawabnya.

"Ngomong," desis Mas Arman pelan.

"Mohon maaf, Pak. Saya salah tekan," ucapku sambil mengambil ponsel dari tangan Mas Arman.

"Tidak apa-apa, Bu Naya. Kalau begitu selamat siang." Setelah mengatakan itu Pak Wira langsung memutuskan panggilan telepon.

"Kamu udah dengar sendiri kan, Mas?" tanyaku sambil melipat tangan di depan dada. Kesal dengan sikapnya yang terlalu percaya dengan perkataan Ibu.

"Tapi Ibu masih nggak yakin, Man. Bisa saja kan mereka bekerja sama agar merahasiakan semuanya dari kita," ucap Ibu yang kembali mendoktrin Mas Arman.

"Cukup, Bu! Cukup Ibu memfitnah di depan suamiku sendiri. Ingat dosa, Bu," bentakku berang.

"Lihat, Man. Sekarang saja dia sudah berani membentak Ibu di depan kamu," keluh Ibu sambil pura-pura menangis.

"Kamu ya, Nay…."

"Apa? Aku apa, Mas! Kamu mau marahin aku lagi? Kamu mau ceramahin aku lagi agar bisa bersikap sopan pada Ibu. Iya! Ingat ya, Mas. Kamu itu udah nikah, harus bisa bersikap tegas. Ibu kamu udah ngefitnah aku lho, dia juga sudah melakukan kekerasan fisik padaku. Bisa saja aku mununtutnya atas pencemaran nama baik dan kekerasan," tegasku berusaha berontak.

Mas Arman dan Ibu tercengang melihatku marah-marah sambil berkacak pinggang. Mungkin mereka tidak menyangka jika Naya yang lemah lembut dan selalu mengalah bisa marah-marah.

Jangankan mereka, aku sendiri juga tidak percaya jika aku bisa berbuat dan berbicara seperti barusan. Hampir saja aku tertawa melihat ekspresi wajah takut Ibu yang mendengarku akan menuntut.

"Jadi Wira itu siapa?" tanya Mas Arman yang kemudian melemah.

"Wira itu ya pegawai dari kantor penerbit, Mas. Abi menyuruhku untuk memesan beberapa kitab. Buat para santri," jawabku berbohong.

Ibu beberapa kali mencebik mulutnya. Mungkin dia kesal karena kali ini dia gagal lagi membuat Mas Arman marah padaku.

"Lagian aku juga nggak kenal sama dia," ucapku lagi sambil memilih duduk di sofa. Beberapa kali aku mengusap bagian punggungku yang sakit.

"Ibu dengar kan sekarang, kalau Naya nggak kayak bayangan Ibu sama Lela. Lain kali jangan berbuat kasar sama Naya, Bu. Gimanapun Naya istri Arman, menantu Ibu," ucap Mas Arman lembut.

"Durhaka kamu, Man. Anak durhaka kamu. Kamu rela marahin Ibu mu sendiri semi wanita itu! Kamu lupa siapa yang udah besarin kamu hingga bisa kayak sekarang?" hardik Ibu marah dan memaki-maki kami.

Aku hanya bisa mengelus dada melihat reaksi Ibu saat dinasehati oleh Mas Arman.

"Bu-bukan gitu, Bu. Maksud Arman itu, mulai sekarang Ibu dan Naya bisa akur. Arman pusing kalau begini terus setiap hari," ucap Mas Arman sambil memegang tangan Ibu. Belum sempat Mas Arman mencium tangan Ibu, sudah ditepis oleh Ibu.

"Nggak! Sampai kapanpun, Ibu nggak rela bermantukan wanita ini. Kalau kamu anak Ibu, harusnya kamu belain Ibu. Bukan wanita itu!" teriak Ibu berang.

Suara Ibu yang keras membuat Daffa yang tertidur jadi menangis. Aku segera bangkit ingin ke dalam kamar.

"Berhenti kamu. Kalau kamu mau saya maafkan, sekarang juga cium kaki saya dan minta maaf," lirih Ibu mencengkal tanganku.

Tangisan Daffa semakin menjadi, tapi aku tidak bisa pergi karena dihadang oleh Ibu. Mas Arman mengangguk padaku, tanda dia menyuruhku untuk bersujud di kaki Ibu.

Aku memegang tangan Ibu dengan tanganku yang satu lagi. Kemudian aku melepas cekalan tanganku.

"Maaf, Bu. Saya tidak salah, dan untuk saat ini. Menggendong Daffa lebih penting daripada bersujud di kaki orang yang memfitnahku," tegasku kemudian langsung berjalan cepat ke kamar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yanti Isma
mertua rasa ibu kandung jarang ada kalau mertua rasa mak lampir buwanyak
goodnovel comment avatar
Aswati Mummu
bagus ceritanya sayang selalu di ulang2 paragarafnya jdi malas melanjutkan membacax
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status