Share

Mencoba Iklas

Mencoba Iklas

"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya. 

Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka. 

"Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.

Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit.

"Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi. 

"Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria."

"Bodo ah."

"Yee."

Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam.

"Aku ke toilet dulu ya."

"Ok."

Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet. 

Iya benar tu Eliana ...  benar saja Satria mengenali suaranya. Satria mengontrol detak jantungnya yang naik turun mendapati kenyataan bahwa istrinya sangatlah cantik saat ini. 

"Eliana ...," panggil seseorang yang saat itu Eliana sedang bercanda bersama Rein. membuat Eliana dan Reindra mencari arah suara panggilan itu. 

Seorang cowok yang terlihat kusut dan mata panda disekitar mata, sepertinya kurang tidur datang memanggil di samping mereka. 

"Iya ."

Tiba-tiba debar dada Eliana berpacu lebih cepat, ketika mantan. Suaminya itu mendekat.

"Apa kabar, Eliana?" 

Sekian detik Satria begitu terpana melihat penampilan Eliana yang begitu memukau. Wanita yang dahulu terbiasa memakai pakaian daster lusuh, kini bertransformasi menjadi wanita berkelas, dengan barang mahal melekat di tubuhnya. Baju indah tas bahkan sepatunya melebihi Yolanda. 

"Alhamdulillah aku baik."

Reindra tahu jika pria pecudang ini pasti mantan suaminya, yang membuat Eliana menangis. Sesaat Reindra mengepalkan tangannya. 

"Saya Satria," ucap Satria saat menjabat tangan Reindra. 

"Reindra," jawab Reindra singkat.

"El ... kembalilah ke rumah?"

Kedua manik mata Satria ada sesuatu yang sulit diungkapkan, karena terlalu bahagia. Bisa melihat wajah Eliana lagi, Satria sanggat rindu ... teduh mata Satria tidak bisa menyembunyikan rasa di dalam dadanya.

"El ... aku mohon."

Eliana memandang Rein yang saat itu juga sedang menatapnya. Eliana tahu ada rasa cemas di hati Reindra terlihat dari pias wajahnya. 

"Eliana tidak akan kembali, dia adalah kekasihku."

Teduh mata Satria sontak berubah menjadi gurat kekecewaan yang teramat dalam. Kini istrinya berubah total saat ia bersama lelaki lain. 

"Kekasih?"

Eliana mengangguk pelan.

Satria seketika beku tubuhnya terasa kaku, sulit untuknya percaya apa yang diucapkan Reindra juga Eliana. 

"Iya dia kekasihku".

Diam

"Oh."

"Kami pergi dulu." Reindra menggandeng tangan Eliana, digenggamnya erat dan mengajak wanitanya melangkah pergi.

Satria menyaksikan dengan hati yang hancur ia lalu duduk. Dengan tangan yang begitu gemetar, bagaimana bisa Eliana berubah. Dalam hitungan hari ia tak lagi menganggapnya. Rongga dada Satria begitu sesak menyaksikan Eliana digandeng oleh pria lain. 

"Lo kenal Sat, wanita cantik itu?" tanya Anton pelan. 

Diam 

Hening

Satria hanya bisa menyesali apa yang telah ia perbuat. 

*

Satria terus meyakinkan diri bahwa Eliana pasti kembali, bayang-bayang senyum Eliana bersama lelaki lain selalu menghantuinya, meski di dalam dada sungguh terasa hampa dalam keheningan yang kapan saja bisa membuat Satria gila. 

Sekuat apa pun Satria mengelak akan rindu yang menyiksa, pertahanan Satria akhirnya tumbang saat sebuah surat dengan logo pengadilan agama di amplop warna cokelat tiba di meja kerjanya. Mata Satria terbelalak, kepalanya mendadak pusing apa ini nyata? Siapa yang membantu Eliana? Apakah lelaki itu? Keterlaluan kamu Eliana? 

Pikiran Satria kacau, ia tak terima di hina oleh Eliana, surat itu meruntuhkan seluruh kepercayaan diri yang ia bangun kokoh bahwa Eliana begitu mencintainya. Namun hanya bohong belaka. Aghh ... 

Satria meremas rambutnya kasar. Dan membuang barang di atas meja tertebaran ke lantai. Apa kesalahannya sefatal itu hingga Eliana istrinya benar-benar ingin berpisah? 

Satria berbaring di sofa tempat ia bekerja, 

runtuh sudah air mata Satria, di atas sofa kantor. Satria hanya mampu memeluk bayangan Eliana juga Daffa. 

Eliana di mana kamu? Kembalilah.... 

Mobil membawa Eliana dan Reindra ke rumah. Eliana tersenyum ke arah Rein yang dengan gagahnya mengemudikan mobil, entah apa jadinya jika Reindra tak menolongnya. 

"Terima kasih Bang Rein, karena berkat pertolonganmu Eliana jadi kuat menghadapi Bang Satria." Terlihat Eliana tersenyum senang. 

Reindra tersenyum manis ke arah Eliana. "Iya sama-sama El."

Reindra tahu jika Satria suka nongkrong di kafe itu, menurut salah satu informasi pesuruhnya. Reindra segera menyusun rencana agar Eliana bisa datang bersamanya di kafe itu. Dan dugaan Reindra benar lelaki pecundang itu berhasil masuk dalam perangkapnya. 

"Kenapa bisa kebetulan ya Bang Rein. Dia ada disitu?"

"Ya kebetulan El, sudah Allah atur agar ia sakit hati melihatmu secantik ini," ucap Reindra membuat Eliana bersedih. 

"Oh."

"Apa kau masih mengharapkannya El?"

Eliana menarik nafas panjang. 

"Entahlah Bang Rein, namun yang jelas saat ini aku begitu membencinya."

Selama beberapa saat, mereka berdiam diri, hanya terdengar seru mesin yang terdengar. Reindra masih menatap lurus ke depan, fokus akan menyetir. 

"Bang Rein," panggil Eliana pelan.

"Hmm."

"Maaf jika aku salah bicara?" Eliana menatap Reindra penuh harap agar tak tersinggung oleh ucapannya. 

Reindra menoleh kearah Eliana untuk beberapa saat.

"Ya," jawab Reindra

Bibir Reindra tersenyum, membuat Eliana kembali ceria. 

"Dia jahat El, jangan kasihan padanya? Setidaknya ingatlah jika kau tidakku tolong saat itu, apa yang akan terjadi padamu. Bagaimana jika ada orang jahat yang menemukanmu? Bahkan Satria tahu kan kau tidak mengetahui kota besar ini?"

Eliana menggangguk.

"Jika Satria mencintaimu, dia akan terima apapun kekuranganmu El," ucap Rein membuat Eliana seprti tertampar oleh sikap Satria. 

"Kau benar, Bang Rein."

Mobil melaju membelah jalan raya menuju rumah mewah Rein, mobil terparkir di sebelah kanan rumah Rein. Ia membukaka pintu untuk Eliana, Ia masuk dan menuju kamarnya. 

"Assalamu'alaikum.Mbok, gimana Daffa rewel tidak?" tanya Eliana. 

"W*'alaikumsalam. Non El. Alhamdulillah aman," jawab Mbok Siti sambil menidurkan Daffa.

"Mbok nih oleh-oleh di makan ya? Kata Den Rein. Makanan ini kesukaan Mbok Siti lo." Eliana memberikan bungkusan makanan untuknya. 

"Aduh repot segala, terima kasih lo, Non."

"Sama-sama, Mbok."

Eliana berjalan mendekati pintu baklon, dan Saat ia membuka pintu suasana masih menguning di langit barat nampak senja mulai menguning dari balik perumahan nan jauh di sana, pertanda hari berganti petang. 

Daffa pun selesai makan lalu tertidur, Eliana segera turun ke bawah untuk mengambil air minum dari lemari es. Eliana duduk dan meneguk air mineral. 

"El kenapa disitu?"

Eliana menoleh, dari mana suara itu. 

"Minum Bang Rein."

Mereka berjalan mendekati gazebo dan duduk berdampingan. 

"Aku cuma ingin menikmati kenangan kebersamaan kita dulu El." Senyum manis terukir di bibir Reindra. 

Eliana merasa tersanjung. Melihat wajah tampan yang kini sedang bicara dengan begitu menarik hati. 

"Iya, aku begitu menikmatinya saat kau memilih menggendongku dari pada adikmu Safana. 

Reindra tersenyum renyah, " Kau masih ingat itu? 

"Iya."

"Padahal sudah aku bilang kan, jangan bermain dengan laki-laki itu. Kau malah tak menurutinya? Aku bahagia waktu itu El..." suara itu terdengar semakin melemah. 

Mereka terdiam cukup lama. Mengamati tetes demi tetes air yang mulai berjatuhan dari langit. Gemiris seolah enggan pergi membuat mereka terdiam dalam pikiran masing-masing. 

"Kadang ... aku takut jika bertemu lagi denganmu. Kau tahu aku berlari mengejarmu saat itu, namun mobil membawamu juga Safana semakin menjauh. Sejak saat itu aku hidupku kehilangan arah."

"Ya aku yang salah, tak berani berpamitan sendiri denganmu. Bahkan Safana pun menangis beberapa hari karena merindukanmu kala itu."

"Ya, aku pun menderita saat itu."

"Cantik kamu malam ini El." Ucapan itu membuat Eliana terkejut dan tentu menjadikan pipi Eliana bersemu merah. Tak menyangka sahabatnya jadi suka ngegombal. 

"Mungkin karena hujan jadi cantiknya nambah Bang," ucap Eliana menggoda Reindra. 

"Biar nambah cantiknya, kalau kamu bikinin aku nasi goreng special." Reindra tersenyum terukir di bibirnya.

Angin malam mengiringi percakapan mereka, sambil merasakan lapar yang tak tertahan. 

"Baiklah ... pedas kan kesukaanmu?"

"Yups."

Tak butuh waktu lama, di bantu Mbok Siti mengupas bawang merah juga bawang putih serta daun kol juga sawi. Eliana langsung menumisnya dan memasukkan telur juga sosis. Lalu menggorengnya hingga harum, masukkan nasi, terakhir dikasih irisan tomat juga ayam suwir. 

"Sudah siap, silahkan makan."

"Lah kamu mana? Cuma satu piring saja?"

"Enggak Bang Rein, El lagi diet," ucap Eliana pada Reindra. 

"Diet apaan orang kurus gitu? Makan berdua ya? Bukankah kita dulu sering makan berdua?"

"Tapi...?"

"Ga ada tapi-tapi sini."

Eliana tersenyum. "Baiklah."

Mereka menikmati satu piring berdua, sambil ditemani embusan angin di gazebo belakang rumahnya. Entah ada yang lain dari dalam hati Eliana saat bersama Reindra. 

"Awal bulan depan sidang perdana perceraian kamu. Kemarin Pak pengacara menelfon, kau siap El?"

Uhuk ... uhuk. 

"Santai El, minumlah." Reindra menyodorkan air putih dalam gelas. 

"Iya."

"Jangan merasa sendiri Eliana. Ingatlah ada aku yang selalu melindungimu."

"Baru dapat kabarnya saja, sudah membuatku takut Bang Rein."

Sejujurnya hati Eliana terasa pegitu perih seperti tersayayat belati, mungkin inilah yang terbaik untuk dirinya juga Daffa. 

"Jangan takut El, percayalah semua akan baik-baik saja."

Eliana menggangguk ke arah Reindra dan tersenyum. "Iya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status