Share

Foto Mesra Mereka

Aku sangat mengenal perempuan yang digandeng mesra oleh mas Radit di sebelah kanan. Sementara, tangan sebelah kiri lelaki yang masih sah menjadi suamiku membopong seorang bocah perempuan. Mereka tampak sangat bahagia.

Aku mengepal tangan kuat-kuat. Dadaku bergemuruh hebat. Darah terasa mendidih. Di sana dia enak-enakan menikmati hidup, jalan-jalan, memanjakan perempuan lain. Istri mudanya. Sementara, aku di sini terasa terpenjara, tidak bisa ke mana-mana karena ada ibu yang sedang sakit yang butuh perhatian ekstra.

Jalan-jalan? Rasanya mas Radit sudah lama sekali tak pernah mengajak kami pergi. Setiap pulang dia hanya sibuk menghabiskan waktunya di rumah.

Kenapa tega kamu lakukan ini padaku, Mas? Desti, di mana hati nuranimu sebagai seorang perempuan? Kamu tahu itu suamiku tapi tega merampasnya! Ya, perempuan itu Desti. Teman kecilku waktu di kampung dulu. Namun, kami tak lagi menjalin komunikasi setelah berpisah setamat SMP. Dia merantau ikut kakaknya di Palembang. Tidak tahu tepatnya di daerah mana?

Namun, perempuan itu hadir saat aku mengadakan resepsi pernikahan kami. Saat itu aku mengundangnya karena ia sedang pulang kampung.

Sejak kapan mereka berhubungan? Apa yang dia lakukan sehingga berhasil mengikat mas Radit dan membuatnya takut kehilangan? Apa istimewanya perempuan itu hingga posisinya sama pentingnya dengan aku di hati bapaknya Wildan?

Di kepala, berjejal berbagai pertanyaan yang membuat emosiku mendidih.

Rasa di dada ini ingin meledak karena gemuruhnya yang begitu kuat. Mata ini terpejam, kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskan pelan-pelan.

Lekas, aku tekan tombol telepon milik Ririn.

[Assalamu'alaikum, Rin.] Sapa ku dengan suara setenang mungkin.

[Waalaikummussallam, Mbak. Mbak tahu dia siapa? Jujur aku tadi kaget banget melihat kemesraan mereka, Mbak. Sakit hatiku melihatnya. Maaf bukan maksud mengompori. Sebagai adik ipar sepupu jujur aku tak terima melihat kemesraan mereka. Nyesek sekali aku, Mbak.] Tanpa berbasa-basi lagi, dia pasti sudah tahu tujuan aku menelponnya.

Suara Ririn menggebu-gebu. Amarah jelas sebagai penyebabnya padahal, dia adalah istri dari adik sepupunya mas Radit. Apalagi aku selalu istrinya. Tentu darah sudah mendidih di ubun-ubun. Namun, aku harus bersikap setenang mungkin. Amarah tidak akan menyelesaikan masalah ini. Aku harus tenang dan keluar sebagai pemenangnya.

[Kamu belum pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya, Rin?] Aku menarik napas dalam-dalam. Sesekali menepuk dada yang terasa sangat sesak. Sekeras mungkin aku berusaha tenang, nyatanya di dalam sini tetap menyisakan rasa sakit yang teramat dalam.

[Belum, Mbak. Aku sering ke daerah Gumawang, tapi tidak pernah berjumpa dia. Sering juga aku ketemu mas Radit tapi hanya seorang diri. Dia itu istrinya atau masih sebatas selingkuhannya, Mbak? Asli aku sakit banget melihat kemesraan mereka kemarin. Sayangnya, aku tidak bisa menghampiri mereka karena kami sedang ada acara dari sekolah. Aku dan para guru lainnya sedang mengawal anak-anak.] Suara sesal terdengar jelas dari bibir Ririn.

Ya, Ririn adalah guru TK di daerah sana.

[Aku belum tahu, Rin. Kapan-kapan aku main ke sana, ya, Rin. Dan tolong jangan pernah kasih tahu pada mas Radit tentang hal ini. Aku ingin menyelidiki sendiri.] Belum saatnya Ririn tahu apa yang sebenarnya terjadi. Memang sebaiknya begitu.

[Siap, Mbak. Pintu rumahku terbuka lebar untuk Mbak Alina. Nanti kabarin kalau mau ke sini, ya, Mbak.]

Sambungan telepon kami tutup setelah berbincang-bincang ringan dan mengucapkan salam penutup.

Ya, aku harus ke sana. Aku akan mencari tahu semua. Di kepala sudah tersusun rencana yang akan aku lakukan nantinya. Akan ada banyak perombakan di sana-sini. Terus mempercayai mas Radit rasanya sungguh tak mungkin.

Apesnya, selama ini aku terlalu percaya pada lelaki yang bergelar suami. Tak pernah terlintas sedikitpun Mas Radit akan melakukan kecurangan.

Teringat akan ucapan teman beberapa tahun silam. "Jangan pernah percaya dengan pasangan seratus persen."

Dulu aku orang yang menentang ucapan itu. Namun, saat ini aku mengalami sendiri. Baru aku pahami alasannya saat ini.

Jam di handphone sudah menunjuk pada angka sembilan malam.

Ah, aku lupa untuk menanyakan tentang Desti. Segera kugulir gagang telepon berwarna hijau. Tujuanku menghubungi nomor Mbak Sisil. Kakak sepupu yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan orang tua Desti.

"Mbak, pernah dengar kabar tentang Desti?" Aku langsung bertanya pada intinya setelah saling menjawab salam.

"Desti? Oh Desti yang anaknya Bu Endah itu, ya?" Sepertinya Mbak Sisil masih mengingat-ingat tentang sosok Desti. Memang, semenjak lepas SMP dia tak pernah di rumah. Selalu merantau.

"Iya, Mbak pernah lihat dia pulang atau pernah dengar kondisinya saat ini? Aku sudah lama lost kontak dengannya. Kemarin mau mampir dan meminta nomor pada ibunya, tapi lupa." Aku terkekeh di ujung kalimat. Menertawakan diri sendiri yang telah dibodohi mas Radit dan Desti hingga sekian tahun lamanya.

"Dengar-dengar dia sekarang sudah sukses, sudah punya toko besar, katanya dia menikah sama juragan. Konon, suaminya itu memiliki beberapa hektar kebun karet. Sesuai sih kalau dilihat dari penampilannya yang sekarang. Gayanya seperti wanita sok sosialita. Kamu pasti pangling kalau temu di jalan. Dia sekarang berubah, sangat cantik, pakaian pun bagus-bagus kalau pulang ke sini."

Aku terdiam, tak tahu lagi harus menjawab apa?

Kepalaku kembali penuh dengan pertanyaan yang membuatnya berdenyut nyeri. Mas Radit dibilang juragan?

Kebun karet itu milikku. Toko besar? Apa istri mudanya dibuatkan toko dari hasil karet selama ini? Besar kemungkinan auang igubo

Ya Allah … tega kamu, Mas. Jahat kamu, Mas. Bisa-bisanya kamu gunakan hartaku untuk menafkahi istri barumu! Itu semua hasil kerja kerasku selama ini, Mas!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status