"Tenang dulu, Mas. Diminum dulu teh manisnya." Kang Paimin menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku sampai tidak menyadari kapan istrinya menyuguhkan minum hangat itu. Biasanya aku akan meminumnya hingga tandas. Tapi, tidak kali ini. Aku tak berselera.Aku berdiri dari tempat duduk setelah menyambar uang dalam plastik kresek tadi."Kang, aku pamit." Segera kubawa langkah kaki meninggalkan rumah Kang Paimin. Kubawa motor melaju ke arah kebun. "Siapa yang menyuruh kalian menyadap di tempat saya?" Kudekati lelaki kerempeng yang sedang menderes getah itu. Dia mendongak, menatapku yang sedang berkacak pinggang. "Yang menyuruh saya? Ya yang punya tanahlah, Mas! Ini kebun milik Pak Randu. Kalau mau marah-marah atau komplain silakan hubungi beliau. Saya hanya orang suruhannya." Enteng sekali mulut itu menjawab. Ketenangan pria itu justru membuat emosiku semakin menjadi-jadi."Telepon sekarang bosmu! Suruh ke sini sekarang. Hadapi saya!" Kutepuk dada ini agar dia paham aku tak terima de
POV Desti[Bang. Kamu di mana? Kok nggak pulang-pulang. Betah amat! Cepat pulang dong!] Sambungan telepon segera kumatikan. Aku tak ingin mendengar alasan atau pun penolakannya. Enak aja dia keluyuran, sementara aku disuruh mengurus ibunya yang jompo."Des, kapan kamu akan membelikan kalung emak?" Aku memutar bola mata dengan malas. Emak yang baru selesai menjemur baju ikut duduk di ruang tengah.Emak tahunya hanya minta saja. Kapan dia paham kondisiku? "Emak bisa nggak jangan terus membahas masalah kalung. Aku pusing, Mak. Uang hajatan itu hanya cukup untuk membayar ini dan itu. Tidak sebesar yang Emak bayangkan selama ini," bantahku dengan mata yang terus terpaku pada layar televisi. Tidak ada orang yang membantu menghitung uang dari kotak selain aku dan Bang Radit sendiri. Sengaja dihitung di dalam kamar berdua. "Kamu cuman dimintain kalung aja pelit! Apa yang Emak pinta ini tak sebanding dengan apa yang aku berikan padamu selama ini, Desti! Dari bayi aku membesarkan dan menghid
Aku mengerjap kemudian meregangkan otot seperlunya di atas bangku mobil. Tak lupa aku pun membetulkan posisi duduk. Setelahnya, aku pun membetulkan posisi kepala Wildan yang ada di pangkuanku. Posisi kaki Wildan meringkuk di kursi sampingku. Mataku membelalak saat menatap ke arah jendela. Baru sadar kalau kami sudah berada di daerah Lampung. Butuh waktu dua jam lagi dari daerah sini menuju daerah kami. Entah berapa lama kami terlelap dalam buaian mimpi, tiba-tiba saja sudah ada di daerah sini? Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mobil. Semua terlelap kecuali Bang Sukri yang kini menjadi pengemudi. Di sampingnya pun Bang Zaki tampak terpejam. Dering handphone ku cukup nyaring, membuat tangan ini membuka tas kecil yang ada di sisi kananku. Siapa yang menelepon? Mbak Niswa? Ada apa? Rasa penasaran terus bergelut di dalam pikiran. Jelas tidak mungkin sepupu mantan suamiku itu menelpon bila tak penting.[Assalamu'alaikum, Mbak. Gimana?] [Waalaikummussallam, Lin. Gawat, Lin. Gawat!
"Entahlah. Tapi, ada dua kemungkinan. Satu memang tidak ingat tentang perjanjian di hadapan notaris itu. Dan ini masih bisa dimaklumi lah ya. Kedua, bisa jadi dia ingat, tapi tidak peduli dengan perjanjian itu. Ini yang berbahaya Bun. Dia bisa nekat melakukan apa pun demi keinginannya." Entah mengapa aku bisa berasumsi demikian?"Nggak habis pikir Aku dengan lelaki yang bernama Radit itu. Bagaimana bisa dia meminta jatah harta bersama, sementara itu hasil kerja keras Alina?" Mbak puji yang duduk di belakangku pun bersuara."Lelaki yang tak punya harga diri. Maunya enaknya saja tanpa mau bekerja keras. Padahal, harga diri seorang suami itu terletak pada tanggung jawab menghidupi keluarganya. Bukan dilihat dari penampilan dan tampangnya." Bang Sukri menyahut ucapan istrinya."Nah, bener itu … Lin, kalau sudah siap membuka hati lagi kabarin kami ya." Bang Zaki tergelak sendiri padahal, tidak lucu."Apa-apaan sih kalian. Aku tidak tahu apakah masih mau menikah lagi atau tidak. Tapi, yang
Ya Allah … lindungi hamba. Di dalam hati aku terus memohon. Tiba-tiba mataku tertuju pada jempol kaki. Cantengan itu sering ia alami. Dan saat ini jempol itu pun tampak tak sehat. Sejurus kemudian aku tersenyum menyeringai. Rasakan ini Radit! kuinjak jempol kaki yang sedang bernanah itu dengan kekuatan penuh. Pria brengsek itu mengaduh. Spontan dia melepaskan cengkraman tangannya. Dengan gerakan cepat aku berlari menjauh darinya menuju taman belakang, tempat berkumpulnya keluargaku. Namun, gagal. Aku terjatuh sebab kaki ini terbelit dengan gamis bagian bawah. "Mau lari ke mana kamu, Alina!" Belum sempat aku bangkit lelaki itu sudah berada di sampingku. Dia jongkok. Tangan kekar itu menyentuh pipi ini. Aku jijik! Sekuat tenaga aku menepis lengan Radit, gagal. Tanganku kembali berada dalam cengkeramannya lagi.Dari tempat jatuh aku bisa melihat Radit yang tersenyum menyeringai. Aku yakin kaki itu masih sakit tapi dia tahan demi bisa mengejarku!Aku benar-benar tidak menyangka Radit b
Aku peringatkan kepadamu! Berani kamu sentuh anakku penjara tempatmu menatimu!" Bapak melepaskan kerahnya Radit,kemudian mendorong pria itu ke belakang."Zaki! Jaga dia! Jangan sampai kabur!" Lelaki yang baru datang dari belakang itu mengangguk."Ayo, kalian ikut Bapak!" Bapak mengajakku dan Bang Sukri masuk ke ruang tengah. Kami berunding di sana, membahas langkah apa yang akan kami ambil. "Kamu hampir saja menodai adikku. Dulu memang itu menjadi hakmu. Wajib bagi Alina untuk melayanimu. Tapi, sekarang kalian bukan lagi suami istri. Kasus ini termasuk pelecehan. Ada pasalnya. Masalah ini bisa kami bawa ke kantor polisi, Dit. Dan bisa dipastikan kamu akan mendekam di sana. Minimal beberapa hari. Tapi, kami sengaja tidak melakukan itu karena Alina masih memikirkan Ibumu. Kamu dipenjara pasti dia terlantar di sana. Kamu yakin Desti mau mengurus ibumu dengan baik? Belum tentu! Kamu lihat saja perbedaan antara Alina dengan Desti dalam mengurus ibumu!" ucap Bang Sukri setelah kami kemb
Semoga kali deal. Aku ingin segera pindah rumah. Memulai hidup baru berdua dengan Wildan tanpa adanya bayangan masa lalu. Mataku membelalak sempurna saat tahu siapa yang keluar dari pintu mobil. Diakah yang akan membeli rumah ini? mpat yang sedang terlibat obrolan ringan di ruang tamu. "Siapa tamunya, De?" Mbak Mela bertanya saat aku melewati mereka di ruang tengah. Aku hendak membuatkan minuman untuk mereka yang berada di ruang tamu. "Bang Randu, Mbak." Aku mendengar Mbak Mela berdecak, tanda tak suka dengan jawaban yang diberikan."Kenapa, sih, Bang Sukri itu apa-apa menghubungi Randu?" Pertanyaan serupa protes itu keluar dari bibir Mbak Mela. Aku hanya bisa mengangkat bahu sebelum kembali berjalan menuju dapur."Memangnya kenapa kalau Randu yang datang, Mel?" tanya Mbak Puji saat aku sudah menjauh dari mereka. Aku berjalan ke arah depan dengan membawa nampan berisi teh manis dan kudapan. "Ini rencananya mau ditempati siapa, Nak?" tanya Bapak yang aku dengar dari ruang tengah
"Ibu kenapa, Mbak?" Aku sudah takut duluan. Takut ada apa-apa dengan ibu mertua. Biar bagaimanapun kami pernah begitu dekat."Bi Wiwin masuk rumah sakit setelah terjatuh dari ranjang katanya. Dari masuk rumah sakit sampai saat ini beliau belum membuka mata. Mbak takut, Lin. Bi Wiwin adalah orang tua yang Mbak punya saat ini." Mbak Niswa sesenggukan di seberang sana. Ya, Ibu adalah satu-satunya orang tua yang Mbak Niswa miliki. Orang tuanya telah lama meninggal. Bahkan menurut penuturannya, Ibulah yang mantu Mbak Niswa. "Innalillahi … bagaimana bisa jatuh dari ranjang, Mbak?" Rasa penasaran tak dapat aku sembunyikan."Mbak juga kurang tahu, Lin. Tapi, ini perkiraan Mbak ya, kayaknya penyebab Bi Wiwin itu bukan semata-mata jatuh melainkan, soal tanah yang dijual atau digadaikan oleh Radit." Tanah? Radit menggadaikan atau menjual tanah ibunya? Iya, Ibu memiliki tanah peninggalan almarhum suaminya di sini, di kecamatan sebelah. Sayangnya, tanahnya berbentuk rawa yang kurang produktif. S