“Wah, kamu rajin sekali, Delima." Mama mertua tersenyum ramah padaku."Nggak papa, Ma. Dari pada bengong nggak ada kerjaan," sahutku dengan sopan."Sudah, bantu seadanya saja. Lagian ngapain kamu bengong-bengong. Mana Suami kamu sama Silvi? Kok dari tadi nggak keliatan. Bukannya bantu-bantu, malah ngilang.""Ada kok, Ma. Tadi Delima lihat mereka di ruang keluarga.""Oh, ya sudah. Ikut Mama, yuk. Mama mau ngasi sesuatu sama kamu.""Iya, Ma." Lagi-lagi hanya itu yang aku ucapkan tanpa bertanya ke mana dan mau diberi apa.Aku mengikuti Mama dari belakang. Melewati ruang keluarga dan kembali melirik ke arah mereka. Segera kualihkan pandangan begitu saja karena tak ingin merasakan sakit yang sama."Nanti ganti pakai seragam ini, ya. Berikan juga sama Silvi. Kemarin baru selesai dijahit. Jadi nggak sempat ngirim buat dicobain. Sekalian itu batik, kasi sama suamimu."Aku menerima tumpukan baju berbahan brokat dari tangan Mama. Kainnya bagus dan terlihat mahal. Aku merasa tersentuh diperlakuk
"Oh, anu Mbak. Tadi Mama nitipin ini." Aku menyodorkan bagpapper yang aku bawa tadi."Apa ini? Kenapa Mama ngasi ke kamu?" Dia semakin terlihat tidak senang."Itu seragam buat kita dan juga Mas Raka, Mbak." Dia membongkar isi kantongan itu."Mama bicara apa lagi sama kamu?""Anu, itu, dia bilang...." Aku ragu-ragu mengatakannya. Takut Mbak Silvi tersinggung, dan malah terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya padaku."Mama bilang apa, Delima?" Dia terdengar tak sabaran."Mama bilang, Mbak Silvi sedang hamil. Selamat ya, Mbak. Akhirnya apa yang Mbak dan Mas Raka impikan akan segera terwujud," ucapku dengan tulus. Meski ada yang berdenyut di hati ini."Oh, itu, ya. Maaf, kalau Mbak belum cerita." Dia terlihat salah tingkah."Iya, Mbak. Delima ngerti. Sekali lagi selamat ya, Mbak.""Iya, iya. Makasih," ucapnya begitu saja.Usai mengganti pakaian di kamar tadi, aku langsung keluar seperti yang diperintahkan oleh Mbak Silvi. Lalu berkeliling mencari apa yang dia suruh tadi. Setelah me
"Kamu udah ganti baju, Delima? Wah, cantik banget mantu, Mama." Mama tiba-tiba datang sambil tersenyum pada kami."Makasih, Ma," ucapku membalas senyumannya."Kok kamu ditinggal terus? Mana Silvi sama Raka?""Lagi ganti baju, Ma.""Panggilin sana! Acara sudah mulai ini," pintanya. Lalu pergi meninggalkan kami."Mas Deni, kalau begitu, Delima permisi dulu, ya."Aku izin pamit dan meninggalkannya. Lalu menyusul kembali ke lantai dua. Lagi-lagi aku tak sengaja mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu."Sabar, Sayang. Sabar. Kamu jangan marah-marah sama aku dong." Suara Mas Raka seperti sedang menenangkan."Sabar gimana? Belum apa-apa aja, Delima sudah dikasi kalung sama Mama."Aku terperanjat. Lalu memegangi kalung yang sedang aku pakai saat ini. Ternyata Mbak Silvi sudah menyadari. Tapi kenapa tadi dia diam saja, dan tak bertanya?"Kamu kan juga udah pernah dikasi, Sil. Berarti Mama berbuat adil, kan? Lagian, kamu sendiri yang memilih Delima untuk jadi menantunya. Kenapa sekarang
Aku menemani Mbak Silvi yang sudah mendapatkan penanganan di ruang IGD. Sementara Mas Raka menghubungi keluarga di luar ruangan."Sakit banget, Suster." Mbak Silvi kembali merintih. "Sebentar ya, Buk. Biar saya pasang infusnya dulu," jawab suster menenangkan. Aku hanya bisa melihat mereka menanganinya tanpa bisa berbuat apa-apa.Tak lama Mas Raka masuk dan langsung mendekati istrinya itu. Kata Dokter, kandungan Mbak Silvi yang baru berusia tiga minggu sangat lemah. Agak berbahaya jika terlalu stres dan banyak pikiran. Aku pun tak terlalu paham apa istilah yang kudengar dari Dokter tadi. Untungnya saat ini kandungannya tidak apa-apa, namun tetap harus menginap sampai keadaannya benar-benar pulih dan janinnya kuat.Mas Raka setuju saja. Asal istri dan anaknya baik-baik saja. Sampai di ruangan, aku membantu Mbak Silvi untuk menyeka badannya yang tadi sempat berkeringat. Hanya saja tak ada pakaian ganti yang bisa aku pakaikan. Betapa risihnya dia harus berbaring memakai terusan brokat s
Canggung juga rasanya berada dalam satu mobil bersama Mas Raka. Laki-laki yang menjadi suamiku, namun jarang sekali berbicara hal-hal tidak penting padaku. Padahal kalau sama Mbak Silvi dan keluarga lainnya, Mas Raka terlihat sangat ramah dan juga banyak bicara. Mungkin memang dia benar-benar merasa tidak nyaman saat bersamaku.Perjalanan kami terasa sangat kaku. Aku yang baru kali ini duduk sejajar dengannya di kursi depan, tak berani melihat. Hanya bersandar, dan membuang pandangan ke arah jendela."Kamu ngantuk, Delima?" Tiba-tiba saja suara Mas Raka menegurku. Aku yang sama sekali tidak menyangka langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya."Eh, enggak kok, Mas. Delima nggak ngantuk. Ada apa, Mas?""Nggak apa-apa kalau memang ngantuk. Hari ini kan kita semua memang capek. Nanti kamu tinggal aja di rumah. Biar Mas sendiri yang jagain Mbakmu."Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar saat dia berbicara padaku. "Nggak usah, Mas. Delima ikut aja. Nanti selesai mandi, dan m
"Eh, Maaf Dek. Mas masuk nggak ketuk pintu dulu. Mas tunggu di luar aja, ya." Mas Raka langsung melangkah keluar dengan cepat-cepat, dan kembali menutup pintu.Aku memegangi jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Kenapa Mas Raka malah meminta maaf. Bukankah dia juga punya hak untuk melihatku. Lagi pula, tak seharusnya juga aku bersembunyi dan menutup erat tubuh ini.Usai berpakaian, aku segera keluar untuk menemui Mas Raka. Kulihat dia duduk sambil memainkan telepon genggamnya di ruang tamu."Eh, Dek. Kamu jadi ikut?" Mas Raka terdengar gugup dan salah tingkah. Dia pasti masih memikirkan hal tadi."Iya, Mas. Kasihan kalau Mama yang nungguin. Nanti Mama sama Mas Deni disuruh pulang aja. Delima udah biasa kok jagain pasien di rumah sakit. Dulu waktu Bue operasi, Delima juga, kok yang jagain.""Iya. Mas tau. Sekali lagi, terima kasih ya, Dek. Mas jadi merasa tidak enak sama kamu.""Nggak enak kenapa, Mas?" Apa dia masih ingin membahas soal di kamar tadi? Atau tentang niatnya m
Pagi ini aku membawakan semua keperluan Mbak Silvi. Mas Raka pun sudah izin tak masuk kantor. Katanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Padahal aku sudah bilang untuk tak perlu khawatir, karena aku akan merawat Mbak Silvi dengan sebaik mungkin.Di sana aku kembali bertemu dengan Mama dan Mas Deni. Ternyata Mbak Dian pulang pagi-pagi sekali karena suaminya harus pergi ke kantor.Aku melirik ke arah Mbak Silvi yang masih terbaring lemah. Wajahnya lebih cemberut dari hari kemarin. Aku jadi semakin tidak enak dibuatnya."Ya udah, Ka. Mama sama Deni pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kamu kabari." Mama bersiap-siap untuk pulang."Dek, kamu ikut Mama sama Deni aja dulu cari sarapan, ya. Kan tadi belum sempat makan di rumah." Mas Raka memberi perintah. Sepertinya dia sengaja mencari alasan untuk menyuruhku keluar, dan membiarkan mereka berduaan.Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan. Melihat wajah Mbak Silvi yang dari tadi tak tersenyum sedikit pun, aku yakin pasti Mas Rak
Aku tak mau lagi jadi duri dalam rumah tangga mereka. Meski miskin dan berasal dari kampung, aku masih tetap memiliki harga diri. Kalau seperti ini, baiknya aku saja yang mundur. Dari pada selalu berharap-harap cemas tentang keputusan mereka, yang bisa datang kapan saja untuk menendangku keluar dari kehidupan mereka.Baru saja aku ingin mengungkapkan semua yang aku dengar, tiba-tiba saja suara ponsel berdering. Sepertinya itu ponsel Mbak Silvi yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang.Mas Raka mewakili untuk mengambilnya. Mengernyitkan dahi karena tak ada nama pemanggil katanya."Angkat saja!" ketus Mbak Silvi masih dengan wajah cemberut. Lagi-lagi Mas Raka hanya menurut."Halo," sahutnya, sembari meletakkan benda pipih itu di telinga."Oh, iya. Ada, ada. Sebentar." Mas Raka menoleh ke arahku. Menyodorkan ponsel itu.Aku yang kebingungan, langsung menerimanya tanpa bertanya."Mbak Delima. Ini Sidik." Sidik? Oh, aku baru ingat. Nomor ini pernah kuberikan padanya jika ada perl