Share

Part 3

“Mbak mau bicara apa?” Bibirku bergetar mempertanyakan hal yang pasti sudah aku tahu.

Namun, sanggupkah ia melakukan semua ini padaku? Pada sesama wanita yang dia bilang sudah seperti adik baginya?

“Begini, Delima. Saat ini Mbak itu sedang....”

“Sayang.” Suara Mas Raka tiba-tiba terdengar dan muncul mendekati kami. “Mama mau ngomong sama kamu, nih,” ucapnya pada istrinya sembari memberikan ponsel yang sedang menyala.

Mbak Silvi terlihat panik, lalu dengan cepat meraih ponsel itu.

“Iya, Ma.”

"Iya, iya."

“Besok Silvi dan Mas Raka akan datang lebih awal.”

“Delima?” Dia melirik ke arahku. “Iya, iya. Pasti silvi ajak dong, Ma. Dia kan juga istrinya Mas Raka.” Aku melihat mimik wajahnya yang sepertinya sedang kecewa. Entah apa yang mereka bicarakan barusan. 

Dia menarik napas setelah panggilan dimatikan. Lalu kembali menoleh ke arahku.

“Mbak tadi mau bicara apa?” tanyaku sembari menatap wajahnya dan Mas Raka secara bergantian.

“Oh, itu.” Mbak Silvi kembali memasang senyum manis. Tak seperti saat pertama kubukakan pintu tadi. “Mbak mau ngajak makan malam. Ayuk kita makan sama-sama. Biasanya kamu yang selalu ngingetin. Iya kan, Mas?” Kulihat Mbak Silvi menyenggol lengan Mas Raka dengan sikunya.

"Eh, iya benar. Ayo, Dek. Kita makan." Seperti biasa, hanya seperti itu saja basa-basi dari Mas Raka.

Apa benar hanya itu yang ingin dia ucapkan? Jelas-jelas aku mendengar sendiri bahwa dia ingin aku bercerai dari suaminya. Tapi syukurlah, setidaknya aku masih bisa berada di sini malam ini.

“Delima masih kenyang, Mbak. Tadi pas masak sambil nyicipin.” Aku beralasan. Padahal memang sudah tak ada lagi berselera.

Sejak tinggal di rumah ini, memang aku yang mengambil alih hampir semua tugas di rumah. Karena biasanya di rumah ini Mbak Silvi tidak memakai asisten rumah tangga dan mengerjakan semuanya sendiri.

Hal itu dia lakukan karena dirinya tak bekerja, dan mereka belum memiliki anak. Jadi tak terlalu merepotkan. Selain itu, dia bilang mamanya Mas Raka paling tidak suka melihat wanita yang manja. Wanita itu harus mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain. 

“Oh, iya, Delima. Besok pagi kamu siap-siap, ya. Ada hajatan di rumah Mas Raka."

“Iya, Mbak.” Aku hanya menurut tanpa bertanya ada apa. Sepertinya memang karena inilah dia mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal tadi.

*

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah mertuaku usai menikah. Baik Mbak Silvi dan Mas Raka belum pernah sekalipun mengajakku ke sini. Meskipun aku telah mengenal keluarganya saat akad nikah tempo hari.

Mereka juga terlihat baik, dan tak mempersoalkan statusku sebagai istri ke dua. Malah terlihat ramah dan menganggapku juga bagian dari keluarga. Aku benar-benar merasa diterima.

Rupanya ada acara tujuh bulanan adiknya Mas Raka di rumah ini. Adiknya Lara, yang menikah satu tahun yang lalu. Pantas saja Mbak Silvi ingin cepat-cepat Mas Raka menikah dan punya anak, walaupun dengan wanita lain. Dia juga ingin menyenangkan hati mertuanya dengan memberikan seorang cucu.

Ya, Allah, apa yang akan terjadi setelah mereka tahu bahwa Mbak Silvi hamil? Apakah mereka juga akan ikut-ikutan membuangku yang sudah tidak berguna ini?

Dari pada sibuk memikirkan hal yang bukan-bukan, aku pun menyibukkan diri dengan membantu mengerjakan persiapan. Kulihat  Mbak Silvi selalu tertawa manja pada Mas Raka menjauh dariku. Seperti menganggapku tak ada dan bukan bagian dari mereka.

Entah kenapa hatiku mendadak sakit. Apakah ini artinya aku cemburu? Atau hanya merasa tak diperlakukan adil sebagai seorang istri? Entahlah. Mungkin inilah resiko dari menikah dengan laki-laki yang sudah menaruh hati pada wanita lain.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status