Share

Part 2

Masa depanku pun kelihatannya hanya begini-begini saja. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah SMP. Hanya sebentar saja aku menikmati bangku SMA, lalu tiba-tiba Bapak jatuh sakit dan aku terpaksa berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga. Bue yang sering sakit-sakitan tak kuat lagi untuk bekerja.

Tapi harga diriku sebagai wanita, jauh lebih tinggi dari itu semua. Akhirnya aku benar-benar menolak tawaran itu. Mbak silvi terlihat sangat kecewa. Tapi apa mau dikata. Tak ada kewajibanku untuk menuruti keingananya yang kuanggap tabu itu.

Namun takdir sepertinya punya rencana lain. Jantung Bue kumat dan harus dirawat ke rumah sakit. Operasi pun jalan satu-satunya. Dalam tangisan dan perasaan kalut, Mbak Silvi muncul lagi dan menawarkan bantuan. Dengan imbalan pernikahan pastinya.

*

Satu bulan pasca operasi, aku dan suaminya akhirnya melangsungkan ijab kabul. Hari itu juga aku baru melihat laki-laki yang baru saja sah menjadi suamiku datang bersama istri dan juga keluarganya. Dia terlihat gagah dan juga tampak berwibawa. 

Kata Mbak Silvi usianya sudah tiga puluh empat tahun. Dua belas tahun di atasku. Tapi masih terlihat muda seperti belum memasuki usia kepala tiga. Sekali pandang, mudah untuk membuat wanita jatuh cinta. 

Lalu bagaimana jika aku benar-benar jatuh cinta padanya? Sesuatu yang halal memang. Tapi bagaimana dengan perasaan Mbak Silvi? Apa nantinya dia tidak akan terluka?

Saat berada di pelaminan, aku sedang datang bulan. Mbak silvi sangat senang. Karena katanya setelah ini, aku bisa langsung hamil dan punya anak dari Mas Raka. Tak ada sedikit pun gurat kesedihan di wajah cantiknya. Tidakkah dia merasa cemburu mengingat kalau suaminya akan tidur dengan wanita lain?

Ya, Allah. Apakah  aku ini berdosa dan telah berbuat dzolim pada seorang wanita? Belum lagi kudengar para tetangga berbisik-bisik saat aku lewat ke kamar mandi tadi. Apa pun alasannya, cap pelakor akan melekat pada diriku.

*

“Maafkan istri Mas ya, Dek. Udah maksa kamu menikah sama Mas,” ucap Mas Raka saat kami berada di kamarku yang sudah dihias menjadi kamar pengantin. Karena aku sedang datang bulan, kami berdua pun bebas dari tuntutan malam pertama.

“Ya sudah, kamu tidur duluan, ya. Mas masih mau nyari udara segar dulu. Udah lama nggak menikmati udara malam di desa.” Dia beralasan. Aku mengiyakan, dan dia tak kembali sampai pagi.

Tak ingin berlama-lama, keesokan harinya, lagi-lagi Mbak Silvi langsung mengambil keputusan untuk membawaku ke rumah mereka di kota. Sampai di sana aku diperlakukan bagai adik sendiri. Selama berada di sana dia memaksa aku dan Mas Raka untuk tidur sekamar, meski aku belum bisa digauli layaknya seorang istri.

Tapi Mbak Silvi bilang itu bukan masalah. Hitung-hitung perkenalan, agar tidak merasa canggung. Tapi apa pun yang aku bicarakan, Mas Raka hanya menjawab seadanya saja. Bersikap baik dan lembut, tapi tak sekali pun menatapku. 

Kami hanya tidur dalam kebisuan, hingga aku tak pernah melihatnya ada di sampingku saat pagi menjelang.

Dia pasti pindah setelah aku tertidur. Dan entah kenapa ada rasa sakit melihat sikapnya yang seperti itu.

*

Aku tersentak, saat mendengar suara ketukan dari arah pintu. Aku bergegas mengusap air mata karena mendengar niat Mbak Silvi yang meminta Mas Raka untuk segera menceraikan aku tadi. Aku bangkit dan membuka pintu. Kulihat Mbak Silvi sudah berdiri di sana.

“Iya, Mbak?” Aku masih berpura-pura tak mendengar percakapan mereka tadi.

“Delima. Ada yang ingin Mbak bicarakan sama kamu.”

Deg! Apakah malam ini juga harus dia lakukan perceraian itu? Apakah malam ini juga, aku harus segera angkat kaki dari rumah ini?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status