Share

Bab 3. Foto Seorang pria di Bawah Bantal Embun

Bab 3. Foto Seorang pria di Bawah Bantal Embun

*****

Suara alarm membuatku terjaga. Cepat sekali waktu  berjalan. Baru saja aku tertidur sudah pagi lagi. Aku harus bangun dan bersiap-siap  ke kantor.

Seketika kepala terasa sakit. Rutinitas ini sungguh menjemukan. Aku bosan setiap hari seperti ini. Aku lelah setiap hari berhadapan dengan papa mertua. Laki-laki paruh baya itu tiada henti menceramahiku. Ada saja pekerjaanku yang dia protes.

Untung ada Sandra yang selalu tersenyum bila kutatap. Wajah cantik, body seksi,  dan suara mendesah lembut itu kujadikan pelepas penat. Perempuan itu sangat berjasa  sebagai  pengusir jenuh, meski sedikitpun aku tak cinta. Ah, aku harus semangat.  Hitung-hitung biar bisa bertemu Sandra.

Tak perlu menunggu Embun membangunkan, dia pasti sudah sibuk berkutat di dapur.  Kalau bukan mnegurus dapur, dia pasti  mengurusi si Radit yang katanya sedang tumbuh gigi.  Ada saja kesibukannya tanpa peduli untuk melayaniku. Meskipun  dia tak lupa menyediakan setelan pakaian ke kantor yang dia  letak rapi di atas kursi meja rias.

“Punya istri rasa duda,” gerutuku  kesal.

Aku bangkit perlahan, kurenggangkan tangan,  lalu memutar kepala ke kiri dan ke kanan. Tetapi,  Kepala tak mau diperintahkan untuk berbalik saat mata menangkap sebuah benda yang tersembul dari balik bantal. Bekas bantal Embun yang  hanya tidur-tidur ayam, karena sibuk mengurusi kerewelan Radit tadi malam.

Kugeser bantal  pelan, aroma sampo bekas rambut Embun tercium cuping hidung. Dada rasanya tak karuan, kuraih selembar foto dari sana. Siapa laki-laki ini? Kenapa Embun menyimpannya di bawah bantal?  Fotoku saat masih lajang dulukah?

Ops! Kenapa aku jadi tidak waras begini?  Masa aku tidak mengenal fotoku sendiri? Ya, jelas bukanlah! Pemuda di foto ini teramat  tampan.  Mirip artis Korea. Dibandingkan aku? Jauh.  Tapi, untuk apa Embun menyimpan foto ini? Sejak kapan dia menaruh foto laki-laki  di bawah bantalnya?

Kenyataan ini membuatku lemas. Lunglai terasa badan ini. Tak pernah terpikir sedikitpun kalau istriku ternyata memiliki waktu untuk memikirkan laki-laki lain. Dia bahkan menyimpan fotonya di bawah bantal. Persis seperti anak ABG yang yang sedang kasmaran. Tetapi, tak mungkin istriku sedang kasmaran, bukan.

Lalu kenapa? Ada apa? Atau, dia sebenarnya  tahu tadi malam aku ke mana? Dia tahu aku telah mendua?  Kemudian  mengadu pada pemuda di foto itu? Siapa laki-laki ini? Aku harus cari tahu. Ponsel. Ya, aku harus mencari informasi di ponselnya. Pasti dia menyimpan nomor laki-laki ini. Atau dia malah chatingan tadi malam, saat aku tertidur.

Kukembalikan foto ke balik bantal, meraih ponsel milik Embun yang tergeletak di atas meja lemari rias, di samping  alat make up sederhana miliknya.

Aku mulai memeriksa seluruh isi ponsel, dari daftar kontak, pesan w******p, f******k, dan semuanya. Tak ada yang mencurigakan. Bagaimana caraku membongkar rahasia besar ini. Istri luguku berhasil membuat kepala serasa pecah.

“Mas! Segera mandi! Sarapannya udah siap, nih!” Terdengar suara lembutnya mengingatkan dari luar kamar. Masih seperti pagi kemarin, tak ada yang berubah. 

Ok, aku tak boleh telat ke kantor, kalau tak ingin di sembur mertua galak. Nanti saja  lanjutkan penyelidikan ini. Gegas aku melangkah ke kamar mandi.

Ops! Apa ini? Gila! Ini kemeja yang aku pakai ke  rumah Sandra tadi malam? Kenapa banyak noda lipstick di bagian kerah dan punggungnya? Astaga! Embun pasti sudah melihatnya. Embun telah tahu apa yang aku lakukan tadi malam, tapi, kenapa dia diam seolah tak  ada apa-apa. Hanya foto lelaki itu yang tersembul dari balik bantal. Apa maksudnya? Mati aku!

***

“Iya, Bu, kirim sekarang juga, ya? Dua asisten rumah tangga dan dua baby sitter. Tolong pilihkan yang usianya paling muda!  Gadis boleh,  janda muda juga boleh, deh!”

Aku terperanjat saat memasuki ruangan makan. Embun sedang menelepon siapa?

“Iya, bu, mengenai gaji, enggak masalah bagi saya. Asal mereka kompeten, dan bisa diandalkan,” sambungnya  lalu mematikan ponselnya.

“Sayang, kamu … lagi nelpon siapa?” tanyaku menyelidik. Kupindai seluruh tubuh dan penampilannya. Daster lusuh masih melekat, basah bagian perut ke bawah, sepertinya kecipratan air saat mencuci piring.

Rambut panjangnya juga masih digelung saja seperti biasa, bahkan sebagian lepas, menjuntai-juntai menutupi sebagian wajah berminyak itu, karena tertiup angin yang berembus dari pintu dapur. Masih sama seperti kemarin. Bedanya, kalau di pagi hari seperti ini, aroma asem dan asap dapur belum menguar dair tubuhnya.  Itu saja, yang lainnya masih sama. 

Tapi, kenapa dia berani-beraninya menelepon yang entah siapa, meminta dikirimkan asisten dan babysitter ke rumah ini? Empat lagi? Dia pikir aku mau menggajinya? Enak aja! Gajiku sudah pas takarannya. Sepertiga  jatah dia untuk belanja, listrik, air dan sebangainya,  sepertiga untuk kebutuhan Papa dan Mamaku, sepertiga lagi untuk modalku merayu Sandra.

Enak aja mau masukin pembantu, mau dia gaji pakai apa? Gak mikir perempuan ini. Apa dia pikir, karena ada bekas noda lipstick di kemejaku itu, maka dia bisa memerasku? Huh, jangan harap! Jatah bulanan untuk orang tuaku, tak mungkin dikurangi, jatahku juga enggak akan kukurangi. Kalau dia berkeras juga, maka dia harus meminta jatah pada Papanya.  Terserah.

“Ini, Mas. Aku nelpon yayasan penyalur asisten rumah tangga. Aku  minta dikirimi pembantu. Mama udah janjii, sih, tapi janji-janji melulu. Udah tiga tahun, lho. Aku udah gak sanggup, Mas. Enggak apa-apa, kan?” jawabnya sambil mengulum senyum, seperti biasa. Tangan kasar itu bergerak lincah merapikan dasiku, yang mungkin memang kurang rapi karena  terburu-buru.

Istriku yang cantik tapi  rada bodoh ini tak tahu, kalau mama tirinya itu sengaja menunda-nunda memasukkan asisten di rumah ini. Lumayan, jatah untuk menggaji asisten bisa kugunakan untuk modal foya-foya Papa dan Mama. Orang tuaku baru kali ini merasakan hidup enak. Mereka sudah bosan hidup miskin. Berbeda dengan Embun, dari  masih di dalam perut ibunya pun sudah merasakan hidup mewah. Tidak apa-apa  sesekali merasakan hidup susah.

“Lho, sabar, dong! Kan Tante bilang minggu depan, kenapa kamu jadi  gak sabaran, gini, sih?”  sergahku.

“Mama enggak benar-benar mencarikan aku pembantu, Mas. Kalau memang dia niat, pasti udah dari dulu dia dapat,” bantahnya  seraya berlari menuju kamar. Radit terdengar menangis karena terbangun.

“Lalu kenapa sampai empat?” tanyaku mengikutinya.

“Iyalah, Mas. Pekerjaan sehari-hari yang aku kerjakan selama ini, wajarnya dikerjakan oleh empat orang pembantu. Satu khusus masak, nyuci piring, pakaian dan setrika. Satu lagi khusus bersih-bersih rumah, halaman, dan buka tutup gerbang, saat Mas pergi dan pulang kantor. Dua baby sitter, untuk Raya dan Radit. Empat, kan?” jawabnya enteng, sambil  meraih Radit dari dalam box bayi.

Dihenyakkannya tubuh di kasur, membuka blusnya bagian atas lalu menempelkan mulut Radit di dadanya. Jujur, dadaku berdesir saat melihat putraku mengulum dan menghisap daging kenyal yang mengantung di dada istriku itu.

“Maaf, Mas!” katanya langsung menggeser posisi duduk.

Untuk kesekian kalinya aku terkejut. Kenapa sikap  Embun berubah? Sepertinya dia tak ingin aku melihat pemandangan indah itu. Ini, aneh! Aku suaminya, lho. Masa aku tak  boleh melihatnya?

*****

Komen (6)
goodnovel comment avatar
amiyra imran
ga sadar diri bingit ini laki hahahah
goodnovel comment avatar
Wagirin
Rusaknya tatanan Rmh tangga dgn penghianat an.
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
skskdodmdkdkdodmdnd
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status