Share

Ketika Istriku Mulai Membangkang
Ketika Istriku Mulai Membangkang
Author: Silla Defaline

Bab 1

Bab 1

"Lia! Tolong buatkan aku teh!" terdengar suara Mas Yoga dari ruang depan.

   

"Ya, Mas. Bentar! Ini Chika lagi rewel."  sahutku sambil menyusun packingan-packingan pesanan para pelanggan.

   

"Cepetan!" teriakan Mas Yoga kembali terdengar.

   

"Ya, Mas. Bentar, aku urus Chika dulu!" sahutku.

   

Sebentar kemudian tidak terdengar lagi suara Mas Yoga. Aku sibuk menggendong dan mengayunkan Chika yang dari tadi menangis dan rewel. Aku khawatir. Bocah empat tahun itu nampak pucat.

   

"Lia...! Apa kau dengar apa kataku barusan?" tiba-tiba terdengar teriakan Mas Yoga terulang lagi. Aku terkejut. Bahkan Cika yang berada di gendonganku pun turut tersentak. Aku kesal, sebab anakku baru saja ingin memejamkan mata, eh malah di kejutkan kembali oleh suara keras ayahnya.

     

"Iya, Mas!" sahutku.

     

Tak ingin mengundang pertengkaran, apalagi anakku sedang sakit, aku pergi ke belakang dan bergegas membuat teh hangat untuk Mas Yoga dengan Chika yang masih bergelayut di gendongan. Jika sedang sakit, Chika, putri semata wayangku memang biasa minta di gendong. Tentu tak mudah bukan untuk menggendong bocah empat tahunan. Sedangkan Mas Yoga tidak mau tahu dengan kerepotanku.

Ya Tuhaan... Kalau saja orang tuaku tahu apa yang terjadi padaku, entahlah apa yang akan mereka rasakan. 

     

Mas Yoga, Mas Yoga, terkadang aku heran padanya. Betapa berat kedua tangannya untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini. Selalu saja ia meminta bantuanku. Tak peduli anak rewel, tak peduli aku sedang sibuk, aku harus tetap menuruti permintaannya. Kalaupun tak di turuti, maka kemarahannnya bisa naik ke level dewa. 

Menolak perintahnya sama saja dengan mengundang petaka di dalam rumah tangga ini. Sedangkan aku, adalah tipe wanita yang tak menyukai keributan. Itulah sebabnya aku tak bisa menolak perintahnya. Dan aku juga belum siap menerima tamparan dari kelima jarinya. Ribet memang.

Apalagi belakangan sikapnya berubah terhadap Chika. Dia yang dulu begitu menyayangi Chika, perlahan terlihat cuek. Padahal sebelumnya, kasih sayangnya pada Chika lah yang menjadi salah satu alasanku untuk bertahan. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya, apa yang menyebabkan perubahan sikap Mas Yoga pada Chika?

Untuk sementara, segera kutepis pertanyaan itu.

     

Setelah memperbaiki letak posisi Chika dalam gendonganku, dengan tergopoh gopoh aku membawa teh yang baru saja kuseduh ke hadapan Mas Yoga. 

    

Astaga...! Aku menghela nafas. Ternyata laki-laki itu dengan santainya duduk selonjoran di sofa sambil main game di ponselnya. 

    

"Kok lama banget? Jadi istri kok bawaaannya leleeet mulu! Nggak ada cepat-cepatnya. Dasar!" umpatan seperti biasa meluncur dari mulutnya.

  

Terkadang aku lelah dengan sikap Mas Yoga. Tapi untuk saat ini aku belum punya pilihan selain  dari bertahan. Aku masih memikirkan bahwa Chika masih butuh figur seorang ayah. Lagipula rumah tangga kami baru berjalan lima tahun. Aku masih berharap Mas Yoga bisa merubah sikap, dan kembali sayang pada Chika. Tak kupungkiri, beberapa bulan belakangan Mas Yoga kerap mengabaikan Chika. Padahal sebelumnya tidak.

"Maaf, Mas. Chika rewel. Makanya lama." jawabku pelan.

"Halaaah..! Alasanmu saja. Selalu saja Chika, Chika, Chika. Chika terus yang kau jadikan alasan. Toh banyak di luar sana wanita yang beranak banyak, masih bisa kok mereka melayani suami dengan baik." cetus Mas Yoga mencibir.

"Sudahlah, Mas. Lihat ini Chika demam. Nggak usah mengundang keributan." Aku mulai enegh dengan sikapnya yang riweh. Kesal.

Mendengar jawabanku itu, Mas Yoga bangkit dengan sorot mata tajam bak ingin menerkamku bulat-bulat. Aku tak terkejut, seperti itulah sikap Mas Yoga. Ucapannya pantang untuk di patahkan. Ada rasa menyesal dalam hati ini, mengala dulu aku terlalu ngotot menikahi lelaki ini. Tapi ya sudahlah, menyesalpun tiada berguna.

"Berani kau melawanku, haa?" Mas Yoga mencengkeram daguku. Bukannya kondisi Chika yang di khawatirkan, melainkan malah membentak.

"Aku bukan melawan, Mas. Aku cuma kerepotan, mana kondisi Chika yang rewel dan kesibukanku mengurus packingan. Kau tahu, aku harus segera menyelesaikan itu demi kenyamanan dan kepercayaan pelanggan." jawabku berusaha menjelaskan.

"Halah, Lia! Pekerjaan seperti itu saja kau buat-buat jadi alasan. Sibuk packing ini, packing itulah. Sibuk sendiri saja kamu. Sampai-sampai melupakan kewajibanmu sebagai istri. Dapat uang juga kagak." bibir Mas Yoga mencibir.

Ya, aku adalah salah satu wanita yang mengais rezeki dengan berjualan pakaian wanita di patform-platform resmi yang menampung para penjual online. Inilah sumber utama yang menunjang perekonomian rumah tangga kami, setelah aku terpaksa resign dari kantor bank yang sama dengan suamiku. Sayangnya, pekerjaanku ini sangat rendah nilainya di mata suamiku. 

"Jangan bilang begitu Mas! Kalau aku nggak dapat uang, tidak mungkin aku bela-belain bersusah payah seperti ini." kilahku. Aku sudah terlalu capek mendengar kata-katanya yang menyakitkan seolah pekerjaanku hanyalah pekerjaan rumahan yang tidak berarti apa-apa. Padahal 70% kebutuhan di rumah ini aku yang menutupi. 

Sebenarnya gaji Mas Yoga sebagai pegawai di sebuah kantor bank swasta berkisar sekitar lima jutaaan perbulan. Akan tetapi uang itu terlalu banyak dihabiskan untuk menutupi kebutuhan mertuaku, Bu Lasmi dan Melisa, adik bungsunya.. 

Bu Lasmi, mertuaku dua tahun yang lalu keluar dari penjara akibat perbuatannya yang bermasalah dalam kasusnya yang berusaha mencelakai majikannya di kota. Dulu beliau adalah seorang pembantu di rumah seorang saudagar kaya yang kudengar-dengar bernama Nadine dan George. Tapi entahlah aku tak tahu apa masalah mereka sebenarnya. Yang pasti, sejak Bu Lasmi keluar dari penjara, semua berubah. Semua kebutuhan Beliau dan Melisa, kami yang menanggung. Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, akan tetapi setidaknya, mereka seharusnya tahu bagaimana cara menghargaiku. 

Terlebih lagi, sejak keluar dari penjara tingkah perempuan tua itu semakin menjadi-jadi, sering merongrong kami dengan dalih timbal balik atas jasanya yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk menyekolahkan Mas Yoga hingga ke jenjang kuliah. Setiap bulan Mas Yoga memberikan jatah tiga juta buat ibu dan adiknya. Sisanya barun untuk rumah tangga kami.

Dampaknya, karena uang gaji Mas Yoga sebagian besar mengalir ke tangan sang ibu, maka akulah yang harus berjuang keras untuk menutupi kekurangan. Kadang memang letih, tapi untuk sementara aku bertahan.

"Oh ...sudah pandai menjawab ucapanku sekarang ya? Seolah-olah Kamu kecapean sendiri. Hei ... uang yang kau hasilkan dari hasil jualan online recehan kamu itu belum seberapa dibandingkan dengan uang gaji yang kau rogoh dari rekeningku. Gitu aja kok repot." cibir Mas Yoga kembali.

"Kalau saja aku tahu, kamu adalah wanita seperti ini, sungguh dulu aku tak ingin menjadikan kau sebagai istri, Lia. Dan aku yakin tidak akan ada lelaki yang ingin beristrikan wanita seperti kamu. Udah bela-belain aku membawamu dari kehidupan orang tuamu yang pas-pasan menuju ke hidup yang lebih baik bersamaku, eh tau-taunya bibirmu terlalu pandai melawan suami. Padahal apa-apa minta ke aku. Tidak tahu terima kasih kamu ya!"

Darahku mendidih mendengar ucapannya yang teramat merendahkan tersebut. Lagi-lagi orang tuaku dia ikut sertakan dalam hinaannya. Padahal apa salah orang tuaku?

"Apa yang kamu bilang, Mas? Sejak kapan aku apa-apa minta ke kamu? Lagipula jikalau aku minta sama Mas, apakah Mas pernah memberi apa yang kuminta?" emosi yang menguasai membuatku melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Apa katamu? Kau tak pernah minta apa-apa padaku? Nggak nyadar apa selama ini kamu makan dari hasil jerih payah siapa? Pikir kamu dari mana kau dan Chika bisa makan kalau tidak dari uang gajiku?" Mas Yoga nampak semakin marah.

"Mas, coba Mas pikirkan baik-baik. Dari lima juta uang yang Mas dapatkan setiap bulan, berapa uang yang Mas berikan padaku? Cuma dua juta Mas? Mas kira 2 juta itu cukup untuk membeli susu buat Chika? Pampers, listrik, air dan cicilan sepeda motormu? Haa?" 

Aku yang selama ini diam, sekarang sudah tak bisa menahan nya lagi.

"Dua juta itu lebih dari cukup, Lia. Hanya saja kau yang tak pintar mengelolanya. Kita di rumah ini cuma bertiga, dan Chika itu masih anak kecil yang belum banyak membutuhkan sesuatu. Seharusnya kau bisa menghandle uang itu, bahkan jika kau pintar, kau masih bisa menyisihkan sebagian uang tersebut untuk tabungan buat masa depan. Tapi apa? Setiap bulan uang yang kuberikan padamu selalu saja habis tak bersisa!"

Aku me gusap dada. Beginilah jikalau diajak berdebat, Mas Yoga tidak akan pernah kehabisan kata-kata. Mulutnya lebih dari pada mulut perempuan. Lama-lama aku bisa kehabisan stok kesabaran menghadapinya.

"Baiklah Mas, mulai bulan depan Mas jangan pernah lagi menyerahkan uang gaji Mas padaku! Silakan mas atur sendiri pengeluaran di rumah ini. Aku ingin lihat apakah Mas masih bisa menyisihkan uang tersebut untuk tabungan atau tidak, cukup atau tidak." 

Setelah berkata seperti itu, aku pun berlalu. Tak ingin memperpanjang perdebatan tersebut. Sementara kesehatan anakku sedang tidak bisa di katakan baik-baik saja.

Drrt...

Ponsel dalam kantongku bergetar. Aku mengecek sejenak. Bergegas aku menuju ke kamar. 

Di kamar, aku membuka pesan dari Papa.

[Lia. Papa sudah transfer lima puluh juta ke rekeningmu buat modal tambahan usaha onlinemu.]

Aku terkejut. Hatiku berbunga-bunga. 

Aku segera mengetik pesan balasan

[Oh ya, Pa? Aduh terimakasih banyak. Ntar kalo usahaku udah berkembang, aku kembalikan ya, Pa]

Tombol send segera kusentuh.

[Nggak usah, Nak. Anggap ajah itu bantuan cuma-cuma dari Papa. Itung-itung untuk membantu supaya usahamu cepat maju]

Aku menitikkan air mata. Rezeki memang kadang datang dengan jalan yang tidak terduga. Padahal sekarang Aku sedang mengalami krisis keuangan, sebab baru saja kemarin aku menggunakan uangku untuk membayar kredit sepeda motor Mas Yoga, dan untuk menutupi kredit sepeda motor Melisa.

Dengan segera aku mengecek m-banking. Mataku berkaca-kaca.

"Mas Yoga, kau tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." 

To be continued.

     

     

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau pikir dg menerima semua perlakuan suami mu itu berakibat baik utk anak mu? klu mau tolol dan bermental babu lakukan aja dan g usah banyak alasan utk pembenaran.
goodnovel comment avatar
Viona Manurung
kishnya mengharukan, demi anak semata wanyang Lia rela dihina dan kekurangan.
goodnovel comment avatar
Dewi Ansyari
Tunggu saja kamu Yoga akan dapat karmanya ...,karena sudah membuat istri dan anakmu menderita...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status