Share

Ketika Istriku Mulai Membangkang
Ketika Istriku Mulai Membangkang
Author: Silla Defaline

Bab 1

last update Last Updated: 2022-03-21 17:03:08

Bab 1

"Lia! Tolong buatkan aku teh!" terdengar suara Mas Yoga dari ruang depan.

   

"Ya, Mas. Bentar! Ini Chika lagi rewel."  sahutku sambil menyusun packingan-packingan pesanan para pelanggan.

   

"Cepetan!" teriakan Mas Yoga kembali terdengar.

   

"Ya, Mas. Bentar, aku urus Chika dulu!" sahutku.

   

Sebentar kemudian tidak terdengar lagi suara Mas Yoga. Aku sibuk menggendong dan mengayunkan Chika yang dari tadi menangis dan rewel. Aku khawatir. Bocah empat tahun itu nampak pucat.

   

"Lia...! Apa kau dengar apa kataku barusan?" tiba-tiba terdengar teriakan Mas Yoga terulang lagi. Aku terkejut. Bahkan Cika yang berada di gendonganku pun turut tersentak. Aku kesal, sebab anakku baru saja ingin memejamkan mata, eh malah di kejutkan kembali oleh suara keras ayahnya.

     

"Iya, Mas!" sahutku.

     

Tak ingin mengundang pertengkaran, apalagi anakku sedang sakit, aku pergi ke belakang dan bergegas membuat teh hangat untuk Mas Yoga dengan Chika yang masih bergelayut di gendongan. Jika sedang sakit, Chika, putri semata wayangku memang biasa minta di gendong. Tentu tak mudah bukan untuk menggendong bocah empat tahunan. Sedangkan Mas Yoga tidak mau tahu dengan kerepotanku.

Ya Tuhaan... Kalau saja orang tuaku tahu apa yang terjadi padaku, entahlah apa yang akan mereka rasakan. 

     

Mas Yoga, Mas Yoga, terkadang aku heran padanya. Betapa berat kedua tangannya untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini. Selalu saja ia meminta bantuanku. Tak peduli anak rewel, tak peduli aku sedang sibuk, aku harus tetap menuruti permintaannya. Kalaupun tak di turuti, maka kemarahannnya bisa naik ke level dewa. 

Menolak perintahnya sama saja dengan mengundang petaka di dalam rumah tangga ini. Sedangkan aku, adalah tipe wanita yang tak menyukai keributan. Itulah sebabnya aku tak bisa menolak perintahnya. Dan aku juga belum siap menerima tamparan dari kelima jarinya. Ribet memang.

Apalagi belakangan sikapnya berubah terhadap Chika. Dia yang dulu begitu menyayangi Chika, perlahan terlihat cuek. Padahal sebelumnya, kasih sayangnya pada Chika lah yang menjadi salah satu alasanku untuk bertahan. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya, apa yang menyebabkan perubahan sikap Mas Yoga pada Chika?

Untuk sementara, segera kutepis pertanyaan itu.

     

Setelah memperbaiki letak posisi Chika dalam gendonganku, dengan tergopoh gopoh aku membawa teh yang baru saja kuseduh ke hadapan Mas Yoga. 

    

Astaga...! Aku menghela nafas. Ternyata laki-laki itu dengan santainya duduk selonjoran di sofa sambil main game di ponselnya. 

    

"Kok lama banget? Jadi istri kok bawaaannya leleeet mulu! Nggak ada cepat-cepatnya. Dasar!" umpatan seperti biasa meluncur dari mulutnya.

  

Terkadang aku lelah dengan sikap Mas Yoga. Tapi untuk saat ini aku belum punya pilihan selain  dari bertahan. Aku masih memikirkan bahwa Chika masih butuh figur seorang ayah. Lagipula rumah tangga kami baru berjalan lima tahun. Aku masih berharap Mas Yoga bisa merubah sikap, dan kembali sayang pada Chika. Tak kupungkiri, beberapa bulan belakangan Mas Yoga kerap mengabaikan Chika. Padahal sebelumnya tidak.

"Maaf, Mas. Chika rewel. Makanya lama." jawabku pelan.

"Halaaah..! Alasanmu saja. Selalu saja Chika, Chika, Chika. Chika terus yang kau jadikan alasan. Toh banyak di luar sana wanita yang beranak banyak, masih bisa kok mereka melayani suami dengan baik." cetus Mas Yoga mencibir.

"Sudahlah, Mas. Lihat ini Chika demam. Nggak usah mengundang keributan." Aku mulai enegh dengan sikapnya yang riweh. Kesal.

Mendengar jawabanku itu, Mas Yoga bangkit dengan sorot mata tajam bak ingin menerkamku bulat-bulat. Aku tak terkejut, seperti itulah sikap Mas Yoga. Ucapannya pantang untuk di patahkan. Ada rasa menyesal dalam hati ini, mengala dulu aku terlalu ngotot menikahi lelaki ini. Tapi ya sudahlah, menyesalpun tiada berguna.

"Berani kau melawanku, haa?" Mas Yoga mencengkeram daguku. Bukannya kondisi Chika yang di khawatirkan, melainkan malah membentak.

"Aku bukan melawan, Mas. Aku cuma kerepotan, mana kondisi Chika yang rewel dan kesibukanku mengurus packingan. Kau tahu, aku harus segera menyelesaikan itu demi kenyamanan dan kepercayaan pelanggan." jawabku berusaha menjelaskan.

"Halah, Lia! Pekerjaan seperti itu saja kau buat-buat jadi alasan. Sibuk packing ini, packing itulah. Sibuk sendiri saja kamu. Sampai-sampai melupakan kewajibanmu sebagai istri. Dapat uang juga kagak." bibir Mas Yoga mencibir.

Ya, aku adalah salah satu wanita yang mengais rezeki dengan berjualan pakaian wanita di patform-platform resmi yang menampung para penjual online. Inilah sumber utama yang menunjang perekonomian rumah tangga kami, setelah aku terpaksa resign dari kantor bank yang sama dengan suamiku. Sayangnya, pekerjaanku ini sangat rendah nilainya di mata suamiku. 

"Jangan bilang begitu Mas! Kalau aku nggak dapat uang, tidak mungkin aku bela-belain bersusah payah seperti ini." kilahku. Aku sudah terlalu capek mendengar kata-katanya yang menyakitkan seolah pekerjaanku hanyalah pekerjaan rumahan yang tidak berarti apa-apa. Padahal 70% kebutuhan di rumah ini aku yang menutupi. 

Sebenarnya gaji Mas Yoga sebagai pegawai di sebuah kantor bank swasta berkisar sekitar lima jutaaan perbulan. Akan tetapi uang itu terlalu banyak dihabiskan untuk menutupi kebutuhan mertuaku, Bu Lasmi dan Melisa, adik bungsunya.. 

Bu Lasmi, mertuaku dua tahun yang lalu keluar dari penjara akibat perbuatannya yang bermasalah dalam kasusnya yang berusaha mencelakai majikannya di kota. Dulu beliau adalah seorang pembantu di rumah seorang saudagar kaya yang kudengar-dengar bernama Nadine dan George. Tapi entahlah aku tak tahu apa masalah mereka sebenarnya. Yang pasti, sejak Bu Lasmi keluar dari penjara, semua berubah. Semua kebutuhan Beliau dan Melisa, kami yang menanggung. Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, akan tetapi setidaknya, mereka seharusnya tahu bagaimana cara menghargaiku. 

Terlebih lagi, sejak keluar dari penjara tingkah perempuan tua itu semakin menjadi-jadi, sering merongrong kami dengan dalih timbal balik atas jasanya yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk menyekolahkan Mas Yoga hingga ke jenjang kuliah. Setiap bulan Mas Yoga memberikan jatah tiga juta buat ibu dan adiknya. Sisanya barun untuk rumah tangga kami.

Dampaknya, karena uang gaji Mas Yoga sebagian besar mengalir ke tangan sang ibu, maka akulah yang harus berjuang keras untuk menutupi kekurangan. Kadang memang letih, tapi untuk sementara aku bertahan.

"Oh ...sudah pandai menjawab ucapanku sekarang ya? Seolah-olah Kamu kecapean sendiri. Hei ... uang yang kau hasilkan dari hasil jualan online recehan kamu itu belum seberapa dibandingkan dengan uang gaji yang kau rogoh dari rekeningku. Gitu aja kok repot." cibir Mas Yoga kembali.

"Kalau saja aku tahu, kamu adalah wanita seperti ini, sungguh dulu aku tak ingin menjadikan kau sebagai istri, Lia. Dan aku yakin tidak akan ada lelaki yang ingin beristrikan wanita seperti kamu. Udah bela-belain aku membawamu dari kehidupan orang tuamu yang pas-pasan menuju ke hidup yang lebih baik bersamaku, eh tau-taunya bibirmu terlalu pandai melawan suami. Padahal apa-apa minta ke aku. Tidak tahu terima kasih kamu ya!"

Darahku mendidih mendengar ucapannya yang teramat merendahkan tersebut. Lagi-lagi orang tuaku dia ikut sertakan dalam hinaannya. Padahal apa salah orang tuaku?

"Apa yang kamu bilang, Mas? Sejak kapan aku apa-apa minta ke kamu? Lagipula jikalau aku minta sama Mas, apakah Mas pernah memberi apa yang kuminta?" emosi yang menguasai membuatku melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Apa katamu? Kau tak pernah minta apa-apa padaku? Nggak nyadar apa selama ini kamu makan dari hasil jerih payah siapa? Pikir kamu dari mana kau dan Chika bisa makan kalau tidak dari uang gajiku?" Mas Yoga nampak semakin marah.

"Mas, coba Mas pikirkan baik-baik. Dari lima juta uang yang Mas dapatkan setiap bulan, berapa uang yang Mas berikan padaku? Cuma dua juta Mas? Mas kira 2 juta itu cukup untuk membeli susu buat Chika? Pampers, listrik, air dan cicilan sepeda motormu? Haa?" 

Aku yang selama ini diam, sekarang sudah tak bisa menahan nya lagi.

"Dua juta itu lebih dari cukup, Lia. Hanya saja kau yang tak pintar mengelolanya. Kita di rumah ini cuma bertiga, dan Chika itu masih anak kecil yang belum banyak membutuhkan sesuatu. Seharusnya kau bisa menghandle uang itu, bahkan jika kau pintar, kau masih bisa menyisihkan sebagian uang tersebut untuk tabungan buat masa depan. Tapi apa? Setiap bulan uang yang kuberikan padamu selalu saja habis tak bersisa!"

Aku me gusap dada. Beginilah jikalau diajak berdebat, Mas Yoga tidak akan pernah kehabisan kata-kata. Mulutnya lebih dari pada mulut perempuan. Lama-lama aku bisa kehabisan stok kesabaran menghadapinya.

"Baiklah Mas, mulai bulan depan Mas jangan pernah lagi menyerahkan uang gaji Mas padaku! Silakan mas atur sendiri pengeluaran di rumah ini. Aku ingin lihat apakah Mas masih bisa menyisihkan uang tersebut untuk tabungan atau tidak, cukup atau tidak." 

Setelah berkata seperti itu, aku pun berlalu. Tak ingin memperpanjang perdebatan tersebut. Sementara kesehatan anakku sedang tidak bisa di katakan baik-baik saja.

Drrt...

Ponsel dalam kantongku bergetar. Aku mengecek sejenak. Bergegas aku menuju ke kamar. 

Di kamar, aku membuka pesan dari Papa.

[Lia. Papa sudah transfer lima puluh juta ke rekeningmu buat modal tambahan usaha onlinemu.]

Aku terkejut. Hatiku berbunga-bunga. 

Aku segera mengetik pesan balasan

[Oh ya, Pa? Aduh terimakasih banyak. Ntar kalo usahaku udah berkembang, aku kembalikan ya, Pa]

Tombol send segera kusentuh.

[Nggak usah, Nak. Anggap ajah itu bantuan cuma-cuma dari Papa. Itung-itung untuk membantu supaya usahamu cepat maju]

Aku menitikkan air mata. Rezeki memang kadang datang dengan jalan yang tidak terduga. Padahal sekarang Aku sedang mengalami krisis keuangan, sebab baru saja kemarin aku menggunakan uangku untuk membayar kredit sepeda motor Mas Yoga, dan untuk menutupi kredit sepeda motor Melisa.

Dengan segera aku mengecek m-banking. Mataku berkaca-kaca.

"Mas Yoga, kau tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." 

To be continued.

     

     

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau pikir dg menerima semua perlakuan suami mu itu berakibat baik utk anak mu? klu mau tolol dan bermental babu lakukan aja dan g usah banyak alasan utk pembenaran.
goodnovel comment avatar
Viona Manurung
kishnya mengharukan, demi anak semata wanyang Lia rela dihina dan kekurangan.
goodnovel comment avatar
Dewi Ansyari
Tunggu saja kamu Yoga akan dapat karmanya ...,karena sudah membuat istri dan anakmu menderita...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 153 Akhir

    Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 152

    Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 151

    Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 150

    Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 149

    "Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 148

    Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 147

    "Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 146

    "Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d

  • Ketika Istriku Mulai Membangkang   Bab 145

    Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status