Menjelang malam, Lia dikejutkan oleh kedatangan Yoga. Kontan saja yang Lia merasa heran. Sebab, tidak biasanya laki-laki itu datang pada saat menjelang magrib seperti ini. Namun Lia acuh saja dengan kemunculan suaminya kala itu. Tetapi sedikit banyak kedatangan Yoga kali ini mampu membuat Lia tersenyum. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan terhadap kedatangan pria tersebut. Lia mencari kesempatan yang tepat. Matanya tak lepas mengawasi apa yang dilakukan oleh Yoga. Ketika lelaki tersebut memasuki ruang kamar, Lia mengembangkan senyum. "Kita tunggu saja!" Lia tertawa tipis. Cukup lama lelaki itu di dalam sana. . Setelah sekian puluh menit, belum terlihat pria itu keluar. Lia memasuki kamar Chika, mengunci pintu, dan meraih sebuah laptop yang telah terhubung dengan cctv di kamar mereka. Ya, itu adalah sebuah laptop yang di hadiahi oleh orangtua Lia ketika ulang tahunnya beberapa hari
Menjelang siang, Lia dikejutkan oleh kedatangan Bu Lasmi sekeluarga. Sontak membuat Lia terkejut. "Ada apa mereka rame-rame datang kemari?" batin Lia bertanya. Terlihat Yoga menurunkan dua buah koper besar dari dalam mobil. "Pake bawain koper lagi, kayak mau ngungsi ajah." pikir Lia kembali. Bu Lasmi melangkah paling depan. Seperti biasa, langkah kaki itu terlihat angkuh dan sombong. "Ayo silakan masuk, Nak Riana! Anggap saja rumah sendiri." Bu Lasmi menarik tangan Riana agar lekas ikut masuk. Tanpa ba bi bu, Bu Lasmi membawa dua koper tersebut ke kamar depan. Tidak berapa lama, Bu Lasmi kembali muncul. Di sofa ruang keluarga, wanita paruh baya tersebut menghempaskan tubuh. "Lia! Tolong ambilkan minum! Ibu haus nih." Bu Lasmi memerintah seraya mengelap keringat di dahinya. Sepertinya wanita itu kelelahan. "Aku juga, Mbak. Aku pengen jus jeruk." ti
Lia terdiam beberapa saat lamanya. Dalam pikirannya, "enteng sekali mereka bilang ingin pindah ke rumah ini." "Emangnya Ibu pengen pindah kemari?" "Ya, bener." "Bawa pasukan gitu?" sindir Lia. "Pasukan apa maksud kamu?" Bu Lasmi mendelikkan mata. "Ya gitu, pasukan keluarga ibu. Mau pindah ke rumah orang kok rame-rame." celetuk Lia. "Jangan terlalu pinter ngomong kamu! Ini bukan rumah kamu! Ini rumah anakku sendiri. Suka-suka aku mau tinggal di rumah ini seberapa lama. Masih mending aku mau pamit terlebih dahulu sama kamu. Padahal sebenarnya aku nggak perlu tuh minta diizinin sama kamu." sungut Bu Lasmi. "Kalo pemikiran orang yang nggak punya etika emang kayak gitu, Bu. Ngerasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya." "Pokoknya aku nggak tahu kamu mau ngomong apa. Yang pasti aku tetap akan ajak Riana sama Melisa untuk tinggal di sini. Ngerti kamu! Jangan banyak prote
"Ini Lia gimana sih? Masa ia nggak ngelakuin apa-apa? Udah tahu Ada mertua di rumah. Kok dia teledor sekali nggak nyiapin spa-apa. Astaga! Istri macam apa Lia ini?" "Setiap hari kerjaannnya cuma keluar rumah! Pura-pura cari duit, padahal semuanya masih bergantung sana suami. Ya ampuuun! Di rumah pun kerjaannnya cuma main ponsel mulu!" "Yogaaa!" Omelan beruntun itu berakhir dengan suara teriakan nyaring Bu Lasmi. Yoga yang tengah duduk santai bersama Riana kaget dengan suara teriakan sang ibu. "Bentar ya, Sayang." Yoga meminta izin sembari mengecup kening Riana. Riana menganggukkan kepala.Buru-buru Yoga melangkah ke belakang. Dilihatnya Bu Lasmi tengah panik memeriksa dan mengecek segala sesuatu yang ada di dapur. Bolak balik membuka lemari, dan memeriksa isi toples-toples yang berjejer di tempat penyimpanan. "Ada apa, Bu?" tanya Yoga cepat.Bu Lasmi segera menoleh.
Seperti biasa, di tokonya Lia sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang sungguh membuatnya harus bekerja ekstra. Beruntung, toko tersebut cukup besar, jadi Lia bisa menghandle semua kebutuhan Chika dari sana. Sebuah kamar dan dapur yang tidak terlalu besar tapiebih dari cukup untuk sekedar beristirahat dan memasak. Untuk membuat Chika tetap terhibur, Lia juga memfasilitasi toko dengan televisi, kulkas, kipas angin dan peralatan elektronik lainnya. Jadi, meski di toko, Chika bisa merasa betah. Di toko tersebut, Lia juga sekalian membuka toko ofline yang khusus menjual pakaian wanita, membuka grosir dan juga eceran. Tidak sia-sia usahanya selama ini. Kemajuan usaha Lia yang semakin menanjak tentu tak di ketahui oleh Yoga beserta keluarganya. Untuk kebutuhannya dan Chika, syukurlah Lia tidak merasa kekurangan. Semua berkat kerja kerasnya. Ya, wanita pekerja keras tersebut memang pandai menyiasati keadaan,
"Apa beneran yang kamu bilang itu, Mel?" Yoga membulatkan mata."Ya iyalah, Kak. Masa aku bohong. Aku nggak pernah bohong lho sama Kakak." Yoga mengangguk-anggukkan kepala."Kenapa baru bilang sekarang sama Kakak, Mel? Kenapa nggak bilang dari dulu? Biar Kakak bisa segera mencari tahu siapa laki-laki itu?" Yoga menepuk meja. "Maafkan aku, Kak. Dulu aku nggak mau Kakak sama Mbak Lia berantem. Aku nggak tega kalo Mbak Lia sampe didamprat sama Kak Yoga hanya gara-gara aku melaporkan kejadian itu. Makanya dulu aku nggak buru-buru bilang sama Kakak." ujaran adiknya nampak begitu bersungguh-sungguh di mata Yoga. Yoga menghela nafas. Sampai kapanpun, ucapan Melisa adalah suatu kebenaran yang tak terbantahkan di mata Yoga. Salah atau benar, di mata Yoga Melisa tetap benar. "Maafkan aku ya, Kak. Karena dulu sebenarnya aku sayang sama Mbak Lia, tak peduli dia wanita yang gak bisa ngehargain kita." Melisa kembali bersandiwara. Padahal dalam hat
Lia membawa Chika ke kamar dengan segera. Dielusnya rambut halus anak kecil tersebut. Dikecupnya kening Putri tunggalnya yang tak bersalah. Siapapun seorang ibu pasti akan merasakan pedih dan sedih yang luar biasa mendengar ucapan suami seperti Yoga barusan. Berbagai pertanyaan muncul di benak Lia. Apakah mungkin Yoga benar-benar sudah tidak lagi menyayangi Chika? Lalu di mana kasih sayangnya yang dulu sempat terlihat? Dimana nalurinya sebagai seorang ayah? Mengapa pria tersebut tega dan sampai hati berkata demikian? Bahkan kata-kata menyakitkan itu ia ucapkan langsung di hadapan sang putri sendiri. Tak terasa air mata Lia jatuh menetes. Selama ini terlalu susah baginya untuk meneteskan air mata. Akan tetapi apabila hal yang menyakitkan sudah menyangkut kepada anak kecil yang belum tahu apa-apa seperti Chika, maka tak bisa berbohong kalau hati Lia begitu sakit dan pedih. "Ma, Papa kenapa tadi bicaranya bentak-bentak? Kan
"Aku nggak bakal lepasin! Atau bila perlu biar kucekik sekalian leher kamu! Di rumah ini kamu cuma jadi biang masalah buat kami sekeluarga. Sadar Lia? kalau kamu cuma bisa jadi benalu, maka jangan banyak tingkah. Turuti aja apa kata tuan rumah!" "Mas, yang jadi benalu itu siapa? Aku, atau keluarga kamu?" Lia bertanya balik. Sedangkan tangan kekar Yoga masih menempel di lehernya. "Huuuh, kamu selalu saja bikin aku geregetan! Lebih baik kamu enyah dari rumah ini, sekalian bawa anak kamu!" Seiring dengan ucapannnya, cekikan tangan Yoga semakin kuat. "Uhuk!" Lia tersedak menahan sesak. Melihat hal itu, Melisa malah tertawa. Seolah itu adalah adegan lucu yang pernah ia lihat. Sekuat tenaga, Lia mengumpulkan tenaga. Brakh! Dengan gerakan kaki dan bantuan tangan kanannnya, Lia mendorong kuat tubuh kekar Yoga. Huuft! Yoga t