Share

Ketika Luka Menyapa
Ketika Luka Menyapa
Author: Raffa Raditya28

1. Awal Mula

"Arumi, datanglah kerumah mama!" mama Ina mertua dari Arumi meminta agar menantunya itu berkunjung kerumahnya.

"Kapan ma? Dan ada apa?" tanya Arumi

"Sekarang, nak. Datanglah dulu!" kata mama Ina di sebrang telefon.

"Tapi, Mas Afif belum datang, Ma. Dia masih di kantor, apalagi sekarang masih siang. Bolehkah Arumi menunggu mas Afif datang dulu, ma?"

"Gak usah nunggu Afif, kamu sendiri saja! Mama sudah Izinin kamu ke Afif."

"Benarkah? Oke baiklah! Arumi siap-siap dulu ya, ma." jawab Arumi bersemangat. Ya, karena memang Arumi adalah gadis yang ceria dengan segala kebaikannya.

"Iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya!"

"Asiaaap, Maa!"

Dengan segera Arumi bersiap-siap menuju rumah mertuanya. Ia menggunakan dres biru laut selutut tanpa lengan yang menampilkan bahu mulusnya. Sedangkan rambut sebahunya ia biarkan tergerai indah. Sedikit polesan make up serta lipstick yang senada dengan warna bibirnya, membuat ia tampak begitu anggun dan cantik. Dengan segera ia meraih tas yang senada dengan bajunya serta meraih kunci mobil yang ada di atas nakas, dan ia pun melajukan mobilnya ke rumah mama Ina dengan fikiran sedikit heran, karena tak biasanya mama Ina memintanya untuk datang ke rumah secara mendadak. kecuali ada hal yang urgent banget. Bahkan mertuanya tersebut tak pernah sedikitpun bersikap baik terhadapnya.

Setibanya di kediaman mama Ina, Arumi di buat bertanya-tanya kenapa rumah mama Ina di hias sedemikian rupa seperti akan ada acara mewah. Bahkan sudah ada beberapa kendaraan yang parkir di halaman rumah megah milik mertuanya itu.

'Kalau memang di sini ada acara, kenapa tak memberitahuku jauh-jauh hari' batin Arumi.

Karena rasa penasarannya, ia segera memasuki rumah megah itu dan disambut dengan penuh hormat oleh para pelayan disana. Setibanya di ruang tamu yang sudah di sulap menjadi tempat untuk mengucapkan sebuah ikrar janji suci, jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya seolah masih belum percaya dengan apa yang ia lihat disana. Disana, di depan penghulu duduk adik angkat dari suaminya --Dinda-- dan sang mempelai pengantin pria adalah sosok yang begitu ia cintai, Afif, suami Arumi. Kemudian pandangannya ia arahkan kepada sisi kanan sebelah penghulu. Disana mama mertuanya serta keluarga dari suaminya itu, menatap dengan tatapan yang berbeda-beda.

Arumi mengalihkan pandangannya saat suaminya menghampirinya dan menggenggam kedua tangannya.

"Dek," panggil Afif dengan suara lirih.

Arumi hanya memandangnya, dan tanpa disadari bulir-bulir bening yang sedari tadi meng-anak sungai di pelupuk matanya kini tumpah sudah. Tak bisa lagi untuk Arumi menahan jatuhnya air mata itu, dadanya terasa sesak.

"Disini, dihadapan para keluarga serta tamu undangan, dengan segenap hati, mas memohon keihklasan hatimu untuk menikah dengan Dinda," suara Afif seperti tertahan mengucapkan kalimat itu. Jujur, bukan ini yang Afif inginkan. Namun karena dorongan dari keluarga juga keinginan terbesarnya yang mengharapkan keturunan, ia terpaksa melakukan ini. Sungguh Afif sangat mencintai Arumi, tapi ia juga ingin memiliki seorang anak. Dengan usia pernikahan yang memasuki tahun ke delapan, Arumi dan Afif belum juga di karuniai buah hati. Berbagai macam metode sudah mereka lakukan demi mendapatkan buah hati, tapi Allah masih belum mengabulkan keinginan mereka.

Dinda adalah adik angkat Afif, Dinda berasal dari panti asuhan, ia adalah anak yatim piatu. Disaat usianya yang ke tujuh tahun, mama Ina serta suaminya --papa Aldo-- mengangkatnya menjadi anak kardna mereka tak bisa memiliki keturunan lagi. Sedangkan Afif saat itu sudah berumur dua belas tahun.

Runtuh! Dunianya sekarang seakan sudah runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping, dia, lelaki yang begitu di cintainya itu, meminta izinnya di hadapan para keluarga serta tamu untuk menikah lagi. Apa yang harus Arumi jawab, jika pun ia tak mengizinkan, pasti pernikahan itu akan tetap telaksana karena persiapannya sudah mencapai 98%. Entah sudah berapa puluh tetes air mata yang keluar dari mata indahnya itu. Mata yang awalnya terlihat begitu Damai dan tenang kini berubah menjadi satu, tatapan itu tak lagi hangat, tatapan itu tak lagi damai dan tenang. Dari sorot mata itu, tampak rasa kecewa, sakit hati dan terluka menjadi satu.

"Ke-kenapa mas?"

"Dek, mas menginginkan keturunan, dek,"

deg!

Tak pernah Arumi berfikir jika alasan suaminya ingin menikah lagi karena faktor keturunan. Afif, lelaki yang dianggapnya sangat mencintainya dan menerima semua takdir ilahi,  dia lelaki yang selalu meminta Arumi untuk sabar saat Arumi bersedih karena belum di karuniai keturunan, justru sekarang dengan gampangnya meminta keikhlasan hatinya untuk menikah lagi gara-gara ingin memiliki seorang anak.

"Silahkan menikahlah dengannya, mas!" terasa begitu berat mengucapkan itu, tapi apa boleh buat? Arumi tak bisa mengabulkan keingin suami serta keluarganya untuk memiliki seorang anak.

"Benarkah, dek?"

"Hmm,"

perlahan Afif menuntun Arumi untuk duduk bersama mama Ina, wajah yang awalnya ceria kini berubah menjadi sendu, air mata yang sedari tadi mengalir tak dapat ia hentikan walau sudah berkali-kali menghapusnya. Tatapan para tamu masih tak lepas dari Arumi yang tak henti-hentinya mengeluarkan air matanya itu. Banyak yang menatap iba kepada perempuan yang tampak sangat terluka itu.

"Maafkan mama, nak." kata mama Ina sembari meneteskan air matanya. Entah itu air mata sandiwara atau air mata karena merasa bersalah.

"Bisa dimulai acaranya?" Tanya pak penghulu

Sebelum menganggukkan kepalanya, Afif masih melihat kearah Arumi pertanda meminta persetujuan, mengerti dengan tatapan suaminya, Arumi memberikan senyumannya pertanda ia mengizinkan walau sesungguhnya hatinya begitu berat menerima ini semua. Sedangkan Diana, sedari tadi ia tak berani mengangkat kepalanya.

"Bismillahirrahmanirrahim! ananda Afifur Rohman bin Aldo Ar Rohman saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Adinda putri binti alam. Yazid dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas permata senilai 10 gram di bayar tunai."

Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Putri binti alam. Yazid dengan mas kawin tersebut, tunai." Dengan lantang dan semangat Afif mampu menyelesaikan mengucap ijab qobul tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Bagaima para saksi?"

"Sah."

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillah!"

Di balik rasa syukur yang mereka semua lantunkan, ada hati yang beristigfar memohon ampunan dan kekuatan kepada sang Khalik. Jika kedua pengantin itu tampak tersenyum bahagia, beda dengan wanita yang sedari tadi menundukkan wajahnya, ia tersenyum, bukan senyum bahagia melainkan tersenyum miris meratapi nasibnya. Saat kata sah di ucapkan, ia harus menerima bahwa Afif bukanlah miliknya seutuhnya, ia harus rela berbagi dengan adik madunya. Cinta sang suami tak lagi utuh untuknya, dia bukan lagi satu satunya wanita yang akan di jadikan prioritas utama bagi sang suami. Bahkan kini bagian atas dari bajunya yang berwarna biru muda, kini berubah menjadi biru tua akibat tetesan air mata yang tak bisa berhenti sedari tadi.

Inilah saatnya ia berperang, bukan untuk melawan sang madu, melainkan berperang dengan hati dan logikanya. Berjuang agar rasa ikhlas benar-benar tertanam dihatinya tanpa ada rasa dendam, sedangkan logikanya memaksa untuk menolak ini semua. Hati dan fikirannya berkecamuk membuat rasa nyeri di dadanya kini juga menjalar ke kepalanya. Kepalanya teras berat serasa ada batu besar yang menghantam kepala Arumi, hingga saat Afif dan Dinda tepat berada di depannya untuk sungkeman, pandangannya mulai kabur dan sepersekian detik Arumi sudah tak sadarkan diri, membuat suasana menjadi riuh.

"Dek,"

"Mbak,"

"Arumi,"

Dengan cepat kilat Afif membopong Arumi membawa ke kamarnya diikuti Adinda dan mama Ina, Afif membaringkan tubuh istrinya di kasur. Segenap rasa bersalah muncul di hati Afif, bukan hanya Afif kedua wanita di sampingnya juga merasa bersalah kepada Arumi.

Minyak kayu putih sudah di oleskan kehidung, tengkuk serta perut Arumi, Tapi rasanya Arumi begitu enggan membuka matanya. Bahkan sudah satu jam lebih ia tak sadarkan diri, membuat Afif dan keluarganya begitu sangat merasa bersalah.

"Dek, bangun, dek. Maafkan mas, sayang. bangunlah, jangan seperti ini, mas sedih lihat kamu begini! maafkan mas, sayang." air mata Afif turun begitu saja melewati pipinya.

"Mbak, bangun mbak, maafkan Dinda, Dinda mohon bangunlah. Dinda minta maaf telah membuat mbak seperti ini, bangun, mbak,"

Sedangkan mama Ina dan papa Aldo tak dapat lagi berkata-kata. Rasa bersalah yang begitu besar membuat mereka terasa kaku untuk berkata.

****

🙏🙏🙏🙏🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status