LOGINUcapan Victor menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan yang langsung menjerat Vella.
“Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”
Dunia Vella seakan berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa.
Victor masih menatapnya, menikmati keterkejutannya seperti seseorang yang dengan sengaja menjebak mangsanya.
“Apa maksudmu?” Vella akhirnya berhasil membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.
Victor mengangkat bahu dengan santai, seolah pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya bertanya. Bukankah itu hal yang menarik? Kau dulu cukup menjanjikan sebagai model. Lalu, tiba-tiba agensimu memutus kontrak. Iklan-iklan yang seharusnya menampilkan wajah cantikmu tiba-tiba memilih model lain. Bahkan beberapa perusahaan yang dulu sangat ingin bekerja sama denganmu… berubah pikiran.”
Vella merasakan darahnya mengalir dingin. Dia ingat semua itu dengan jelas.
Setahun lalu, setelah memutuskan hubungan dengan Victor, semuanya mulai berubah tanpa ia sadari. Pada awalnya, ia berpikir itu hanya kebetulan—dunia industri hiburan memang kejam dan penuh persaingan. Tapi sekarang, mendengar cara Victor mengatakannya…
Apakah semua itu bukan kebetulan?
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Vella mencoba mengendalikan ekspresinya. “Dunia ini memang sulit. Tidak semua orang bisa bertahan.”
Victor tersenyum kecil, tetapi tatapan matanya berkata lain. “Ya, itu benar. Tapi beberapa orang hanya perlu sedikit… bantuan untuk jatuh.”
Jantung Vella berdetak semakin cepat.
Tidak, ini tidak mungkin. Dia tidak mungkin...
Victor melangkah lebih dekat, membuatnya semakin terhimpit oleh aura mengintimidasi pria itu. “Aku penasaran, Vella,” bisiknya pelan. “Saat semua itu terjadi… kau tidak pernah curiga sedikit pun?”
Vella menegakkan punggungnya, menolak untuk terlihat lemah. “Kalau kau mencoba mengatakan bahwa kau ada hubungannya dengan itu—”
Victor tertawa kecil, tetapi ada sesuatu yang menyeramkan dalam suaranya. “Aku hanya bertanya.” Ia menatap matanya dalam-dalam, seakan menikmati bagaimana pikirannya mulai kacau.
Vella ingin menjauh. Ia ingin berbalik dan melupakan semua ini. Tapi sebelum ia bisa melangkah, Victor melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, lebih mengancam.
“Tapi aku senang melihatmu di sini, Vella. Sepertinya takdir masih ingin kita bertemu.”
Vella mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar yang merayap di ujung jemarinya.
Takdir?
Atau ini memang sesuatu yang telah direncanakan Victor sejak awal?
Sebelum ia bisa mengatakan apa pun, seseorang memanggil Victor dari kejauhan. Seorang pria paruh baya dengan setelan mahal—ayah tiri Vella.
“Oh, Victor! Aku tidak tahu kau akan datang.”
Victor menoleh, kembali menampilkan senyum yang lebih ramah. “Aku tidak bisa melewatkan pernikahan penting seperti ini.”
Ayah tiri Vella menepuk bahu Victor dengan akrab, sebelum menoleh ke arah Vella. “Kau sudah bertemu Victor, kan? Dia adalah anakku… dan sekarang, dia secara teknis adalah saudara tirimu.”
Dunia Vella terasa semakin runtuh.
Saudara… tiri?
Victor menatapnya lagi, senyumnya semakin lebar—senyum yang membuat darahnya berdesir tidak nyaman.
“Senang bisa menjadi bagian dari keluargamu, Vella.”
Darahnya seakan berhenti mengalir saat ia menatap Victor, mencari tanda-tanda bahwa ini hanya lelucon buruk. Tapi pria itu hanya tersenyum kecil—senyum yang tidak pernah benar-benar hangat, senyum yang menyimpan sesuatu di baliknya.
Vella ingin mengatakan sesuatu, apa pun, tetapi tenggorokannya terasa kering.
“Oh, kalian sudah saling mengenal?” Ayah tirinya terkekeh, tampak tidak menyadari ketegangan di antara mereka. “Bagus, bagus. Aku memang berharap kalian bisa akrab.”
Victor menatap Vella tanpa mengalihkan pandangannya. “Tentu saja. Aku dan Vella… punya sejarah panjang.”
Vella mengepalkan jemarinya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Tatapan Victor membuatnya merasa seolah ia sedang terperangkap dalam permainan yang tidak bisa ia kendalikan.
“Aku tidak tahu kalau kau adalah anak dari rekan bisnis ayahku,” kata Vella akhirnya, suaranya berusaha terdengar stabil meski ada sedikit getaran.
Victor tersenyum. “Ada banyak hal yang tidak kau tahu, Vella.”
Sebelum Vella bisa membalas, seseorang mendekat—seorang wanita dengan gaun merah menyala dan riasan sempurna. Wajah yang sangat dikenalnya.
Chloe Laurent.
Model papan atas, wajah favorit merek-merek mewah, dan yang paling penting… wanita yang secara tidak langsung menghancurkan kariernya.
“Victor.” Chloe menyentuh lengan Victor dengan cara yang terlalu akrab. “Aku sudah mencarimu.”
Tatapan Vella mengeras. Ia ingat dengan jelas bagaimana Chloe merebut proyek-proyek yang seharusnya menjadi miliknya setahun lalu. Wanita itu selalu satu langkah di depan, seolah ada kekuatan yang tidak terlihat yang terus mendorongnya ke atas—dan kini, melihatnya di sini, berdiri di samping Victor…
Sebuah kemungkinan menakutkan muncul di benak Vella.
Apakah semua ini berkaitan?
Apakah Victor yang membantu Chloe naik, sementara ia jatuh?
“Ah, Chloe,” Victor menoleh padanya dengan santai, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang dingin. “Sepertinya kau sudah bertemu dengan Vella, bukan?”
Chloe tersenyum tipis, tatapannya menilai dari ujung kepala hingga kaki. “Tentu saja. Kami pernah bekerja bersama… dulu.”
Dulu. Sebelum semuanya berantakan.
Vella menguatkan dirinya. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di depan Victor. Tidak di depan Chloe.
Victor menatap Vella dengan penuh arti. “Dunia ini kecil, ya?”
Vella mengangkat dagunya sedikit, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh. “Ya. Dan penuh kejutan.”
Victor tersenyum. “Oh, ini baru permulaan, Vella.”
Victor mengucapkannya dengan nada santai, seolah kata-kata itu tidak membawa ancaman terselubung. Tapi Vella tahu lebih baik—ia tahu bahwa pria itu tidak pernah mengatakan sesuatu tanpa maksud tertentu.
Chloe masih berdiri di samping Victor, tangannya melingkar di lengan pria itu dengan kepemilikan yang jelas. Senyum di wajahnya terlihat manis, tetapi sorot matanya berbicara lain.
"Jadi," Chloe memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya penuh rasa ingin tahu yang dibuat-buat. "Setelah sekian lama, akhirnya kau kembali ke dunia ini, Vella?"
Vella merasakan rahangnya mengeras. Ia tahu Chloe sedang mengujinya, mencoba mencari celah untuk merendahkannya.
"Aku tidak pernah benar-benar pergi," jawab Vella, suaranya tetap tenang.
Chloe tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan anggun. "Tentu saja. Tapi… dunia ini berubah begitu cepat, kau tahu? Model-model baru bermunculan setiap saat, dan industri ini hanya menerima mereka yang bisa bertahan."
Vella tahu maksud terselubung di balik kata-kata itu. Chloe ingin mengatakan bahwa tempatnya sudah tergantikan. Bahwa ia sudah dilupakan.
Sebelum Vella bisa membalas, Victor berbicara, matanya masih terkunci padanya. "Tenang saja, Chloe. Aku yakin Vella masih memiliki tempat di dunia ini… jika dia tahu bagaimana cara bertahan."
Ada sesuatu dalam cara Victor mengatakannya yang membuat Vella merasakan perutnya mengencang.
"Dan kau tentu tahu caranya, bukan, Vella?" lanjut Victor. "Kau sudah pernah merasakannya sebelumnya—bagaimana rasanya kehilangan segalanya."
Vella menegang. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar keras, tetapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahannya. Ia menatap langsung ke mata Victor, berusaha mencari jawaban di sana.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Victor?" tanyanya akhirnya.
Victor tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanye yang dipegangnya. "Aku hanya ingin menikmati malam ini. Merayakan pernikahan keluarga kita."
Keluarga. Kata itu terasa begitu salah keluar dari mulutnya.
"Tapi tentu saja," lanjut Victor, "kita akan sering bertemu mulai sekarang. Sebagai saudara… tentu aku harus memastikan kau baik-baik saja."
Dingin menjalar di punggung Vella. Ia tahu ini bukan sekadar peringatan. Ini janji.
Victor tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
Dan kini, ia kembali ke dalam hidupnya.
Bukan sebagai mantan kekasih.
Tapi sebagai saudara tirinya.
***
Mobil akhirnya sampai di penthouse. Hujan masih rintik-rintik ketika mereka bergegas masuk ke lobi, menghindari udara dingin yang mulai menggigit. Victor mendorong pintu kaca dengan bahunya, kedua tangannya masih setia memegang kantong belanjaan yang berat.Mereka berjalan menuju lift dalam kesunyian yang nyaman, hanya diiringi suara sepatu mereka yang basah menyentuh lantai marmer. Saat pintu lift tertutup, memisahkan mereka dari dunia luar, Vella memandangi pantulan diri mereka di dinding kaca yang mengilap. Victor berdiri di sampingnya, terlihat begitu perkasa namun juga menyimpan kesendirian yang tak terucap."Aku membaca tentangmu," ucap Vella tiba-tiba, suaranya lirih di dalam ruang sempit itu. "Tentang Alves Entertainment. Aku tidak pernah menyangka."Victor menatap pantulannya di kaca, bertemu dengan mata Vella yang penuh tanya. "Menyangka apa?""Bahwa kau adalah Victor Alexander. CEO dari salah satu agensi terbesar. Selama ini, selama kita... pacaran, aku mengira kau hanya se
Supermarket mewah itu sepi di penghujung hari. Lampu neon putih menyinari lorong-lorong panjang yang berisi rak-rak penuh barang. Vella berjalan beberapa langkah di belakang Victor, wajahnya masih dibuat-buat cemberut, meski hatinya sedikit meleleh melihat pria tinggi tegap itu dengan serius mendorong keranjang belanja."Lihat yang ini," ucap Victor tiba-tiba, berhenti di depan rak daging olahan. Dia mengangkat sebungkus sosis bakar premium merek favorit. "Ini merek yang kau suka. Dulu kita selalu membelinya untuk barbeque di balkon. Kita beli satu paket, ya?"Vella memalingkan muka, berusaha keras tidak terlihat terlalu antusias. "Ambillah sesukamu. Toh ini uang dan kulkasmu."Victor tidak terpengaruh. Dengan senyum kecil yang memahami, dia melemaskan bungkusan sosis itu ke dalam keranjang. Keranjang yang perlahan-lahan mulai penuh dengan barang-barang pilihannya."Kau lihat?" gumam Victor sambil terus berjalan, matanya menyapu rak-rak seolah sedang merencanakan strategi. "Aku membel
Mobil hitam mewah itu berhenti tepat di depan gedung futuristik yang di puncaknya terpampang besar nama "Alves Entertainment". Begitu kaki Vella melangkah keluar, dunia yang serba cepat langsung menyambutnya. Lobi yang megah dipenuhi oleh para trainee dengan wajah masih polos namun penuh ambisi, diselingi sosok-sosok familiar—model papan atas yang sedang berbincang dengan agen, hingga aktor pemenang penghargaan yang lalu lalang dengan aura bintangnya."Selamat datang, Nona Vella. Saya Alex, asisten pribadi Mr. Victor." Seorang pria muda dengan kacamata frameless dan setelan jas sempurna menyambutnya dengan senyum profesional.Namun, matanya yang tajam mengamati setiap detail tentang Vella, seolah mencoba memecahkan teka-teki mengapa wanita ini begitu istimewa di mata bosnya."Mr. Victor sudah menyiapkan jadwal pemotretan untuk iklan parfum 'Eternité' hari ini juga. Mari saya antar ke ruang make-up."Vella mengikuti Alex, merasakan ratusan pasang mata menatapnya. Bisik-bisik berdesir se
Vella terbangun dari tidurnya oleh sebuah melodi yang merangkak masuk ke dalam mimpinya. Sebuah lagu yang terlalu dikenalnya, yang pernah menjadi pengantar tidur dan juga pembangkit jiwa. Their song. Dengan kaki yang masih limbung, ia terbawa keluar kamar, mengikuti denting piano yang seperti mantra.Dan di sana, di ruang tengah yang hanya diterangi oleh cahaya bulan Paris yang pucat, duduk Victor. Punggungnya tegap, bahunya membentuk siluet yang tegas namun sendu di tengah kegelapan. Jemarinya, yang dulu biasa menelusuri tubuhnya dengan penuh klaim, kini menari dengan lincah dan penuh perasaan di atas tuts-tuts piano, memainkan kenangan yang sama-sama mereka pahami."Victor," suara Vella serak, terpecah antara kantuk dan gejolak perasaan. "Ini sudah tengah malam. Kenapa kau belum tidur?"Lagu itu terhenti. Udara seketika menjadi pekat. Victor menoleh perlahan, matanya yang kelam menangkap bayangannya di balik cahaya remang."Aku tidak bisa tidur," jawabnya pendek, namun terasa sepert
5 Tahun Lalu.Langit sore Paris saat itu berwarna oranye keemasan, menyelimuti gedung kaca Alves Entertainment yang menjulang megah di distrik bisnis Champs-Élysées.Victor berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota yang gemerlap tapi terasa sunyi.Di belakangnya, suara langkah sepatu terdengar perlahan.“Jadi akhirnya kau kembali ke sini,” suara berat seorang pria paruh baya terdengar, disertai nada yang nyaris seperti helaan napas lega.Victor menoleh, melihat Daniel Alexander, ayahnya — pria yang masih tampak berwibawa di usia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut perak rapi dan mata kelam yang mirip dengannya.“Aku tidak pernah benar-benar pergi, Ayah,” jawab Victor datar.“Tapi aku hanya menunggu waktu.”Ayahnya tersenyum samar. “Dan waktu itu datang, rupanya.”Ia berjalan ke arah meja besar dari kayu mahoni, mengusap permukaannya yang mengilap. Di sana tertulis ukiran kecil: Alves Entertainment — Legacy of the Alexander Family.“Perusahaan ini… dulu mimpi kakakm
Malam itu, rumah besar itu seperti bernafas dengan lambat. Lampu-lampu koridor menyala redup, dan dari kamar di lantai atas, cahaya biru layar laptop menembus celah pintu.Vella duduk di meja kerja yang biasanya dipakai Victor untuk rapat daring. Jemarinya menari cepat di keyboard, mencari sesuatu yang tidak pernah berani ia tanyakan secara langsung:Victor Adrian Alexander — background, family, business, scandal.Setiap hasil pencarian menampilkan nama besar, perusahaan entertainment raksasa, proyek film, kontrak model. Tapi ada sesuatu yang aneh — bagian masa lalunya hampir kosong. Tak ada catatan universitas, tak ada catatan keluarga sebelum sepuluh tahun lalu.Semakin ia membaca, semakin dingin udara di sekitarnya terasa.Seolah seluruh hidup Victor dimulai dari titik tertentu — titik yang sengaja dibuat oleh seseorang.Vella menggigit bibirnya. Ia membuka tab baru, mencari arsip berita lama. Di salah satu forum gelap, ia menemukan foto pria muda dengan wajah mirip Victor — tapi n







