"Apa?" Keterkejutan melanda Victor dengan ekspresi tercengang. Wajahnya memucat seketika.
"Kita sudah berhubungan selama tiga tahun, dan kau ingin kita putus? Jangan bercanda! Ini bukan April mop!"
Victor tidak bisa menerima dengan lapang dada. Kemarahan menguasai wajahnya yang mengeras menahan emosi.
"Maaf, Victor. Aku pikir aku tidak bisa bersamamu lagi." Penegasan Vella membuktikan perkataannya yang serius.
"Tapi, kenapa?" Matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Victor bertanya dengan suara nyaris tercekat.
"Aku sudah bosan padamu. Kuharap kau baik-baik saja. Selamat tinggal, Victor." Vella berbalik pergi. Langkahnya yang menjauh, seakan membawa energi kehidupan Victor.
Victor ambruk dengan lemas di tanah.
Ironisnya, hari ini adalah hari yang Victor siapkan untuk berlutut di hadapan Rachel dengan penuh cinta sambil menyerahkan cincin.
Namun, kini kotak beludru itu hanya tersimpan di dalam sakunya, tanpa sempat dia tunjukkan pada gadis itu.
Marah, kecewa, dua emosi yang menyatu di dalam hatinya sekarang telah menciptakan kebencian di benak Victor. Tangannya yang gemetaran, mengepal kuat.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, Vella," gumamnya dengan sorot mata penuh tekad.
Kemudian dia menelepon seseorang dan memberi perintah. "Buat mereka menikah dengan segera!"
Dia langsung menutup teleponnya. "Vella, tunggulah, aku tidak akan membiarkanmu pergi dariku selamanya."
***
Satu tahun kemudian.
Vella berdiri di sudut ballroom yang megah, jemarinya menggenggam gelas sampanye yang isinya bahkan belum ia cicipi. Cahaya kristal chandelier di langit-langit memantulkan kemewahan ke seluruh ruangan, mengilap di atas gaun-gaun mahal dan jas-jas berkelas yang dikenakan para tamu. Aroma anggur merah dan parfum mahal bercampur di udara, memberi kesan eksklusif yang seharusnya membuatnya terkesan—tapi justru menyesakkan.
Pernikahan ibunya bukanlah acara yang ia harapkan. Ini bukan pesta keluarga yang hangat, melainkan sebuah ajang pameran untuk para sosialita dan elite industri hiburan. Para tamu yang hadir bukan sekadar kerabat, tetapi para investor, eksekutif perusahaan besar, serta wajah-wajah yang sering muncul di majalah fashion dan layar kaca.
Di meja sebelah, seorang aktris terkenal tertawa anggun, menggoyangkan gelas anggurnya sambil berbincang dengan seorang produser. Di sisi lain, seorang model internasional tengah berpose untuk fotografer dari media ternama. Setiap sudut ruangan dipenuhi percakapan bisnis yang terselubung dalam basa-basi, senyum yang terlalu sempurna, dan tatapan menilai yang membuat Vella merasa seperti orang luar.
Ia melirik ke arah pengantin—ibunya, dengan gaun pengantin yang elegan, dan pria yang kini menjadi ayah tirinya. Ayah tirinya yang baru adalah seorang pengusaha sukses, sosok yang selama ini hanya ia dengar namanya di berita. Vella tidak benar-benar mengenalnya, sama seperti bagaimana ia merasa semakin jauh dari ibunya.
Saat pelayan melintas menawarkan nampan berisi minuman, Vella tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas dan meneguk sampanye pelan, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang menggelayuti dadanya. Tapi sebelum ia bisa benar-benar merasa nyaman, ia menangkap suara bisikan samar di antara para tamu.
“Dia datang….”
“CEO Alves Entertainment ada di sini?”
Vella tidak terlalu memperhatikan, mengira itu hanya sekadar tamu penting lainnya. Tapi kemudian, atmosfer ruangan berubah. Percakapan mereda, beberapa orang menoleh ke arah pintu masuk, seolah sedang menyaksikan kedatangan seseorang yang tidak bisa diabaikan.
Dan saat itulah Vella melihatnya.
Seorang pria tinggi dengan setelan hitam sempurna melangkah masuk dengan percaya diri. Tatapannya tajam, auranya mendominasi ruangan. Beberapa orang menyapanya dengan penuh hormat, beberapa wanita tersenyum menggoda, tapi pria itu tampak tidak peduli.
Lalu matanya bertemu dengan Vella.
Senyum samar muncul di bibirnya—senyum yang begitu familier, begitu berbahaya.
Darah Vella membeku. Itu Victor.
Dunia seakan berhenti berputar saat Vella menatap pria itu. Waktu terasa melambat, suara riuh rendah pesta menghilang, dan hanya ada tatapan itu—tatapan Victor yang dingin dan tajam, seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya kembali.
Victor Alexander.
CEO Alexander Entertainment.
Sebuah nama besar di industri hiburan, seseorang yang selama ini hanya ia dengar dari berita atau gosip di kalangan model dan artis. Tapi tidak mungkin—tidak mungkin itu Victor yang sama. Tidak mungkin mantan kekasihnya yang dulu hanya mengaku sebagai seorang manajer biasa di sebuah perusahaan kecil, kini berdiri di sini sebagai pria paling berkuasa di ruangan ini.
Tapi kenyataan begitu kejam.
Victor melangkah maju dengan tenang, posturnya tetap tegap dan anggun. Orang-orang memberi jalan untuknya, seolah kehadirannya sudah cukup untuk membuat semua orang menunduk. Detak jantung Vella berdentum kencang di dadanya, napasnya tercekat.
Dia ingin berpaling. Dia ingin pergi. Tapi tubuhnya membeku di tempat.
Lalu, Victor berhenti tepat di hadapannya.
Senyum itu masih ada di wajahnya—sama seperti dulu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Sudah lama, Vella,” katanya pelan, suaranya dalam dan halus, namun membawa ketegangan yang menusuk.
Suara yang pernah ia kenal begitu baik. Suara yang pernah membisikkan janji-janji manis di telinganya, sebelum akhirnya berubah menjadi sesuatu yang mengikat dan menyesakkan.
Vella menelan ludah. “Victor…?”
Pria itu mengangkat alisnya, seolah menikmati keterkejutannya. “Aku penasaran,” lanjutnya, “kenapa kau terlihat begitu terkejut? Seolah kau baru saja melihat hantu.”
Vella menggeleng pelan, mencoba mengatur napasnya. “Aku hanya tidak… menyangka.”
“Tidak menyangka aku ada di sini?” Victor menyeringai, mengambil satu langkah lebih dekat. “Atau tidak menyangka aku adalah seseorang yang lebih dari sekadar ‘manajer biasa’?”
Jantung Vella berdegup semakin kencang. Selama tiga tahun mereka pacaran, Victor tidak pernah sekali pun memberitahunya tentang latar belakangnya. Vella percaya bahwa dia hanya pria sederhana yang bekerja di kantor biasa, seseorang yang selalu ada untuknya, mencintainya dengan cara yang hampir obsesif—tapi tetap saja, hanya pria biasa.
Tapi semua itu bohong.
Victor Alexander bukan pria biasa. Dia pria yang bisa memiliki segalanya. Pria yang punya kuasa untuk membangun… atau menghancurkan.
Senyum di wajah Victor tidak luntur saat ia melanjutkan dengan nada santai, seolah ini hanya obrolan ringan di pesta.
“Kau terlihat lebih baik dari terakhir kali kita bertemu.”
Ucapan itu membawa Vella kembali ke satu tahun lalu—hari di mana ia memutuskan Victor secara sepihak. Hari di mana ia memilih pergi tanpa melihat ke belakang. Hari di mana ia berpikir ia telah terbebas.
Ternyata, dia salah besar.
Vella meneguk ludahnya, berusaha menguatkan diri. “Kupikir kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Victor menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. “Oh, sayang…” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah, hampir seperti bisikan. “Kau benar-benar berpikir aku akan membiarkan itu terjadi?”
Vella membeku.
Sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Victor menyelipkan tangannya ke dalam saku jasnya dan meliriknya dengan ekspresi penuh arti. “Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”
***
Ucapan Victor menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan yang langsung menjerat Vella.“Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”Dunia Vella seakan berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa.Victor masih menatapnya, menikmati keterkejutannya seperti seseorang yang dengan sengaja menjebak mangsanya.“Apa maksudmu?” Vella akhirnya berhasil membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.Victor mengangkat bahu dengan santai, seolah pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya bertanya. Bukankah itu hal yang menarik? Kau dulu cukup menjanjikan sebagai model. Lalu, tiba-tiba agensimu memutus kontrak. Iklan-iklan yang seharusnya menampilkan wajah cantikmu tiba-tiba memilih model lain. Bahkan beberapa perusahaan yang dulu sangat ingin bekerja sama denganmu… berubah pikiran.”Vella merasakan darahnya mengalir dingin. Dia ingat semua itu dengan jelas.Setahun
Vella berjalan keluar dari ballroom dengan langkah cepat, membiarkan suara pesta yang masih bergema di belakangnya perlahan menghilang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya kacau.Victor.Pria itu bukan hanya kembali, tetapi kini memiliki tempat yang tidak bisa dihindari dalam hidupnya. Saudara tiri? Seperti lelucon buruk yang diciptakan semesta untuk mengurungnya kembali dalam jeratan masa lalu.Ia butuh udara.Mendorong pintu balkon yang terbuka, Vella menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit memberikan ketenangan.Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik."Apa kau melarikan diri dariku, Vella?"Suara itu membuat tubuhnya menegang.Vella menutup matanya sejenak sebelum berbalik. Victor berdiri di ambang pintu balkon, memandangnya dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan."Aku hanya butuh udara," jawabnya, berusaha terdengar netral.Victor melangkah keluar,
Vella mencoba mengabaikan sensasi mencekam yang menjalar di tubuhnya saat Victor berdiri begitu dekat, senyumannya samar tetapi matanya penuh makna tersembunyi.“Kau tampak tegang,” ucapnya lembut, jemarinya nyaris menyentuh pipi Vella sebelum gadis itu mundur selangkah.“Aku hanya terkejut,” kata Vella, suaranya berusaha terdengar datar.Victor mengangkat alisnya, seolah mengejek. “Terkejut karena aku kembali? Atau karena kau akhirnya menyadari bahwa kau tidak bisa lepas dariku?”Jantung Vella berdebar lebih kencang. Ia tidak boleh terjebak dalam permainan ini.“Aku sudah melupakanmu, Victor.”Victor tertawa pelan, ekspresinya tampak menghibur diri. “Kau benar-benar ingin aku percaya itu?”Vella tidak menjawab. Ia memilih untuk pergi, melangkah melewati Victor. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Victor menangkap pergelangan tangannya. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menghentikannya.“Sebaiknya kau bersiap, Vella,” bisiknya dekat di telinganya. “Aku akan memastikan kau tidak perna
"Kau terlihat takut,” ujar Victor akhirnya, suaranya dalam dan tenang.“Tentu saja aku takut! Kau tidak bisa seenaknya masuk ke rumahku seperti ini!”Victor menyeringai samar. “Aku tidak pernah membutuhkan izin, Vella.”Tangannya perlahan merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah kunci duplikat.Darah Vella membeku. “Dari mana kau mendapatkan itu?” suaranya bergetar.Victor memutar kunci di jarinya dengan santai. “Kau seharusnya tahu aku selalu punya kunci.”Jantung Vella berdegup kencang, ia segera meraih ponselnya di saku gaun, berniat menelepon seseorang—tapi ponselnya dengan cepat direbut Victor lalu melemparnya ke sofa.Vella terkejut. Ia mendongak. Seketika tenggorokannya tercekat.Victor menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kelembutan, tapi juga kegelapan yang mengintai di balik matanya. Ia melangkah lebih dekat, membuat Vella semakin terdesak ke tembok. “Kenapa kau selalu mencoba menjauh dariku?” bisiknya, jemarinya terangkat dan menyentuh rambut Vella dengan lemb
"Kau terlihat takut,” ujar Victor akhirnya, suaranya dalam dan tenang.“Tentu saja aku takut! Kau tidak bisa seenaknya masuk ke rumahku seperti ini!”Victor menyeringai samar. “Aku tidak pernah membutuhkan izin, Vella.”Tangannya perlahan merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah kunci duplikat.Darah Vella membeku. “Dari mana kau mendapatkan itu?” suaranya bergetar.Victor memutar kunci di jarinya dengan santai. “Kau seharusnya tahu aku selalu punya kunci.”Jantung Vella berdegup kencang, ia segera meraih ponselnya di saku gaun, berniat menelepon seseorang—tapi ponselnya dengan cepat direbut Victor lalu melemparnya ke sofa.Vella terkejut. Ia mendongak. Seketika tenggorokannya tercekat.Victor menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kelembutan, tapi juga kegelapan yang mengintai di balik matanya. Ia melangkah lebih dekat, membuat Vella semakin terdesak ke tembok. “Kenapa kau selalu mencoba menjauh dariku?” bisiknya, jemarinya terangkat dan menyentuh rambut Vella dengan lemb
Vella mencoba mengabaikan sensasi mencekam yang menjalar di tubuhnya saat Victor berdiri begitu dekat, senyumannya samar tetapi matanya penuh makna tersembunyi.“Kau tampak tegang,” ucapnya lembut, jemarinya nyaris menyentuh pipi Vella sebelum gadis itu mundur selangkah.“Aku hanya terkejut,” kata Vella, suaranya berusaha terdengar datar.Victor mengangkat alisnya, seolah mengejek. “Terkejut karena aku kembali? Atau karena kau akhirnya menyadari bahwa kau tidak bisa lepas dariku?”Jantung Vella berdebar lebih kencang. Ia tidak boleh terjebak dalam permainan ini.“Aku sudah melupakanmu, Victor.”Victor tertawa pelan, ekspresinya tampak menghibur diri. “Kau benar-benar ingin aku percaya itu?”Vella tidak menjawab. Ia memilih untuk pergi, melangkah melewati Victor. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Victor menangkap pergelangan tangannya. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menghentikannya.“Sebaiknya kau bersiap, Vella,” bisiknya dekat di telinganya. “Aku akan memastikan kau tidak perna
Vella berjalan keluar dari ballroom dengan langkah cepat, membiarkan suara pesta yang masih bergema di belakangnya perlahan menghilang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya kacau.Victor.Pria itu bukan hanya kembali, tetapi kini memiliki tempat yang tidak bisa dihindari dalam hidupnya. Saudara tiri? Seperti lelucon buruk yang diciptakan semesta untuk mengurungnya kembali dalam jeratan masa lalu.Ia butuh udara.Mendorong pintu balkon yang terbuka, Vella menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit memberikan ketenangan.Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik."Apa kau melarikan diri dariku, Vella?"Suara itu membuat tubuhnya menegang.Vella menutup matanya sejenak sebelum berbalik. Victor berdiri di ambang pintu balkon, memandangnya dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan."Aku hanya butuh udara," jawabnya, berusaha terdengar netral.Victor melangkah keluar,
Ucapan Victor menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan yang langsung menjerat Vella.“Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”Dunia Vella seakan berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa.Victor masih menatapnya, menikmati keterkejutannya seperti seseorang yang dengan sengaja menjebak mangsanya.“Apa maksudmu?” Vella akhirnya berhasil membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.Victor mengangkat bahu dengan santai, seolah pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya bertanya. Bukankah itu hal yang menarik? Kau dulu cukup menjanjikan sebagai model. Lalu, tiba-tiba agensimu memutus kontrak. Iklan-iklan yang seharusnya menampilkan wajah cantikmu tiba-tiba memilih model lain. Bahkan beberapa perusahaan yang dulu sangat ingin bekerja sama denganmu… berubah pikiran.”Vella merasakan darahnya mengalir dingin. Dia ingat semua itu dengan jelas.Setahun
"Victor, aku mau kita putus." Pernyataan Vella bagai bom yang meledakkan seisi hati pria itu menjadi kepingan hancur."Apa?" Keterkejutan melanda Victor dengan ekspresi tercengang. Wajahnya memucat seketika."Kita sudah berhubungan selama tiga tahun, dan kau ingin kita putus? Jangan bercanda! Ini bukan April mop!" Victor tidak bisa menerima dengan lapang dada. Kemarahan menguasai wajahnya yang mengeras menahan emosi."Maaf, Victor. Aku pikir aku tidak bisa bersamamu lagi." Penegasan Vella membuktikan perkataannya yang serius."Tapi, kenapa?" Matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Victor bertanya dengan suara nyaris tercekat."Aku sudah bosan padamu. Kuharap kau baik-baik saja. Selamat tinggal, Victor." Vella berbalik pergi. Langkahnya yang menjauh, seakan membawa energi kehidupan Victor.Victor ambruk dengan lemas di tanah.Ironisnya, hari ini adalah hari yang Victor siapkan untuk berlutut di hadapan Rachel dengan penuh cinta sambil menyerahkan cincin. Namun, kini kotak belud