Share

Bab 3 - Terjebak

last update Last Updated: 2025-03-30 10:58:22

Vella berjalan keluar dari ballroom dengan langkah cepat, membiarkan suara pesta yang masih bergema di belakangnya perlahan menghilang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya kacau.

Victor.

Pria itu bukan hanya kembali, tetapi kini memiliki tempat yang tidak bisa dihindari dalam hidupnya. Saudara tiri? Seperti lelucon buruk yang diciptakan semesta untuk mengurungnya kembali dalam jeratan masa lalu.

Ia butuh udara.

Mendorong pintu balkon yang terbuka, Vella menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit memberikan ketenangan.

Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik.

"Apa kau melarikan diri dariku, Vella?"

Suara itu membuat tubuhnya menegang.

Vella menutup matanya sejenak sebelum berbalik. Victor berdiri di ambang pintu balkon, memandangnya dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Aku hanya butuh udara," jawabnya, berusaha terdengar netral.

Victor melangkah keluar, mendekat dengan gerakan yang terlalu halus, terlalu terkendali. "Udara?" Ia menghela napas dramatis. "Atau kau butuh menjauh dariku?"

Vella menatapnya tajam. "Apa kau menginginkanku menjauh?"

Victor tersenyum kecil. "Tidak. Justru sebaliknya."

Jantung Vella berdetak semakin kencang.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih pelan.

Victor mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang. "Melakukan apa?"

"Masuk kembali ke dalam hidupku. Muncul sebagai... saudara tiriku." Kata itu hampir tersangkut di tenggorokannya.

Victor menatapnya lama sebelum menjawab, suaranya rendah dan halus. "Aku tidak memilih ini, Vella. Sama sepertimu."

"Tapi kau menikmatinya," Vella menuduh.

Victor tertawa kecil, tetapi ada sesuatu yang berbahaya di baliknya. "Tentu saja. Ini seperti permainan yang menarik, bukan?"

Vella merasakan darahnya mendidih. "Kau tidak bisa mempermainkanku, Victor."

Pria itu melangkah lebih dekat, membuatnya mundur hingga punggungnya menyentuh pagar balkon. Ia bisa merasakan kehadirannya begitu dekat, aroma maskulin dan parfum mahalnya menguar di udara.

"Aku tidak perlu mempermainkanmu," bisiknya, menatapnya seolah menembus jiwanya. "Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya tidak pernah meninggalkanku."

Vella menahan napas, tubuhnya membeku.

"Aku bukan milikmu," katanya dengan suara setegas mungkin.

Victor mengangkat tangannya, jari-jarinya menyelusuri helai rambutnya dengan gerakan lembut yang justru terasa mengancam. "Oh, sayang... itu yang akan kita lihat."

Vella menelan ludah, mencoba menekan ketakutan yang merayap di dalam dirinya.

Satu hal yang ia sadari malam ini:

Victor tidak akan membiarkannya pergi.

Flashback.

New York, satu tahun lalu.

Vella baru saja menapaki kariernya sebagai model iklan. Ia tinggal di apartemen kecil di Manhattan, tempat yang cukup nyaman untuk seorang pendatang baru di industri hiburan. Hidupnya sibuk, penuh dengan audisi, pemotretan, dan pesta yang harus dihadiri demi memperluas koneksi.

Di tengah kesibukan itu, ada satu orang yang selalu ada dalam hidupnya: Victor.

Saat itu, Victor bukan CEO yang dikenal semua orang. Ia hanyalah pria yang mengaku bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan biasa. Ia penuh perhatian, selalu ada di sisinya, dan selalu memastikan kebutuhannya terpenuhi.

Terlalu perhatian.

Vella ingat bagaimana awalnya ia menganggap perhatian Victor sebagai sesuatu yang manis.

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," katanya setiap kali ia datang ke apartemen Vella tanpa pemberitahuan, membawa makanan dan menyiapkan segala sesuatu untuknya.

"Aku tidak butuh dijaga seperti ini, Victor. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Tentu saja kau bisa. Tapi aku ingin melakukannya untukmu," jawabnya dengan senyum lembut yang selalu membuatnya sulit marah.

Pada awalnya, Vella membiarkan Victor masuk ke dalam dunianya. Ia merasa dicintai dengan cara yang begitu intens, sesuatu yang tidak pernah ia alami sebelumnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian itu berubah menjadi sesuatu yang lebih... mengikat.

Victor mulai muncul di lokasi pemotretannya, menunggunya hingga selesai.

Ia akan mengirim pesan setiap saat, menanyakan di mana Vella berada, dengan siapa, dan apa yang sedang ia lakukan.

Ia akan meneleponnya di tengah malam hanya untuk memastikan bahwa ia sudah pulang dan tidak keluar dengan siapa pun.

"Victor, kau tidak perlu selalu tahu aku ada di mana."

"Tentu saja aku perlu tahu. Ini bukan tentang kepercayaan, Vella. Ini tentang memastikan kau aman."

"Aku baik-baik saja," tegasnya.

Victor tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Aku hanya ingin kau tetap di sisiku. Tidak sulit, bukan?"

Saat itulah Vella mulai merasa terkekang. Cinta Victor bukanlah cinta yang membebaskan—itu adalah kepemilikan.

Puncaknya adalah malam di mana Vella memutuskan bahwa ia tidak bisa terus seperti ini.

Malam itu, ia menerima tawaran untuk menghadiri pesta industri besar, kesempatan emas untuk membangun koneksi. Victor menentangnya.

"Kau tidak perlu pergi ke pesta seperti itu," katanya dingin. "Aku bisa mengenalkanmu pada orang-orang yang lebih berpengaruh."

"Victor, ini karierku. Aku harus membangunnya sendiri."

Victor menatapnya dalam diam, rahangnya mengencang. "Jadi kau memilih mereka daripada aku?"

"Bukan itu masalahnya. Aku hanya butuh ruang."

Victor menghela napas, lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau itu yang kau inginkan."

"Besok, temui aku di alun-alun kota,", kata Victor.

Lalu ia pergi begitu saja, meninggalkan Vella berdiri di ambang pintu apartemennya dengan perasaan campur aduk.

Ia seharusnya merasa lega. Tapi mengapa dadanya terasa sesak?

Saat malam semakin larut, pikirannya terus berputar.

Victor mencintainya—ia tahu itu. Tapi cinta Victor terlalu besar, terlalu menyesakkan, terlalu mengikatnya hingga ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

Dan sekarang, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Besok, ia akan mengakhiri semuanya.

Keesokan Harinya – Alun-Alun Kota

Salju tipis turun di pagi musim dingin itu, menyelimuti trotoar dengan warna putih lembut. Alun-alun kota New York tampak tenang, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang, menikmati udara dingin sambil menyeruput kopi hangat.

Vella berdiri di tengah alun-alun, jari-jarinya bersembunyi di dalam saku mantel panjangnya. Ia merasa gugup, tetapi ia harus melakukannya.

Lalu, ia melihatnya.

Victor berjalan ke arahnya dengan langkah mantap, mengenakan mantel hitam panjang yang membuatnya terlihat semakin mencolok di antara keramaian. Tangannya menggenggam sesuatu di dalam saku jasnya, dan ada kilatan lembut di matanya saat ia melihat Vella.

Untuk sesaat, Vella merasa bimbang.

Tapi tidak. Ia tidak boleh ragu.

“Terima kasih sudah datang,” kata Victor, suaranya lebih lembut dari biasanya.

Vella menelan ludah. “Aku ingin membicarakan sesuatu.”

Victor tersenyum kecil. “Aku juga.”

Hatinya berdebar keras saat pria itu menarik napas, seolah sedang mengumpulkan keberanian.

Tapi sebelum Victor bisa melanjutkan, Vella mendahuluinya.

“Aku ingin kita putus.”

Seketika, waktu terasa berhenti.

Victor tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Vella, seolah kata-katanya tidak masuk akal.

“Apa?” suaranya rendah, nyaris berbisik.

Vella menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah yang mulai merayap di dadanya. “Aku rasa… hubungan kita sudah terlalu jauh. Aku butuh ruang, Victor. Aku ingin kembali menjalani hidupku sendiri.”

Victor tetap diam.

Lalu, dengan gerakan yang lambat, tangannya yang tadi tersembunyi di dalam saku jasnya menggenggam sesuatu dengan erat.

Cincin.

Cincin berlian kecil di dalam kotak beludru hitam.

Tetapi, sebelum Vella bisa melihatnya, Victor dengan tenang memasukkannya kembali ke dalam saku, menyembunyikan niatnya seolah tidak pernah ada.

Hatinya mencelos.

Namun Victor tidak menunjukkan keterkejutannya lebih lama. Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil—senyum yang anehnya terasa lebih dingin daripada biasanya.

“Kalau itu yang kau inginkan.”

Vella mengira ia akan marah. Akan memohon. Akan bertanya mengapa.

Tapi tidak.

Victor hanya berdiri di sana, menerima keputusannya tanpa perlawanan.

Dan entah mengapa, itu terasa jauh lebih menakutkan.

Flashback end.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 14

    Mobil akhirnya sampai di penthouse. Hujan masih rintik-rintik ketika mereka bergegas masuk ke lobi, menghindari udara dingin yang mulai menggigit. Victor mendorong pintu kaca dengan bahunya, kedua tangannya masih setia memegang kantong belanjaan yang berat.Mereka berjalan menuju lift dalam kesunyian yang nyaman, hanya diiringi suara sepatu mereka yang basah menyentuh lantai marmer. Saat pintu lift tertutup, memisahkan mereka dari dunia luar, Vella memandangi pantulan diri mereka di dinding kaca yang mengilap. Victor berdiri di sampingnya, terlihat begitu perkasa namun juga menyimpan kesendirian yang tak terucap."Aku membaca tentangmu," ucap Vella tiba-tiba, suaranya lirih di dalam ruang sempit itu. "Tentang Alves Entertainment. Aku tidak pernah menyangka."Victor menatap pantulannya di kaca, bertemu dengan mata Vella yang penuh tanya. "Menyangka apa?""Bahwa kau adalah Victor Alexander. CEO dari salah satu agensi terbesar. Selama ini, selama kita... pacaran, aku mengira kau hanya se

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 13

    Supermarket mewah itu sepi di penghujung hari. Lampu neon putih menyinari lorong-lorong panjang yang berisi rak-rak penuh barang. Vella berjalan beberapa langkah di belakang Victor, wajahnya masih dibuat-buat cemberut, meski hatinya sedikit meleleh melihat pria tinggi tegap itu dengan serius mendorong keranjang belanja."Lihat yang ini," ucap Victor tiba-tiba, berhenti di depan rak daging olahan. Dia mengangkat sebungkus sosis bakar premium merek favorit. "Ini merek yang kau suka. Dulu kita selalu membelinya untuk barbeque di balkon. Kita beli satu paket, ya?"Vella memalingkan muka, berusaha keras tidak terlihat terlalu antusias. "Ambillah sesukamu. Toh ini uang dan kulkasmu."Victor tidak terpengaruh. Dengan senyum kecil yang memahami, dia melemaskan bungkusan sosis itu ke dalam keranjang. Keranjang yang perlahan-lahan mulai penuh dengan barang-barang pilihannya."Kau lihat?" gumam Victor sambil terus berjalan, matanya menyapu rak-rak seolah sedang merencanakan strategi. "Aku membel

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 12

    Mobil hitam mewah itu berhenti tepat di depan gedung futuristik yang di puncaknya terpampang besar nama "Alves Entertainment". Begitu kaki Vella melangkah keluar, dunia yang serba cepat langsung menyambutnya. Lobi yang megah dipenuhi oleh para trainee dengan wajah masih polos namun penuh ambisi, diselingi sosok-sosok familiar—model papan atas yang sedang berbincang dengan agen, hingga aktor pemenang penghargaan yang lalu lalang dengan aura bintangnya."Selamat datang, Nona Vella. Saya Alex, asisten pribadi Mr. Victor." Seorang pria muda dengan kacamata frameless dan setelan jas sempurna menyambutnya dengan senyum profesional.Namun, matanya yang tajam mengamati setiap detail tentang Vella, seolah mencoba memecahkan teka-teki mengapa wanita ini begitu istimewa di mata bosnya."Mr. Victor sudah menyiapkan jadwal pemotretan untuk iklan parfum 'Eternité' hari ini juga. Mari saya antar ke ruang make-up."Vella mengikuti Alex, merasakan ratusan pasang mata menatapnya. Bisik-bisik berdesir se

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 11

    Vella terbangun dari tidurnya oleh sebuah melodi yang merangkak masuk ke dalam mimpinya. Sebuah lagu yang terlalu dikenalnya, yang pernah menjadi pengantar tidur dan juga pembangkit jiwa. Their song. Dengan kaki yang masih limbung, ia terbawa keluar kamar, mengikuti denting piano yang seperti mantra.Dan di sana, di ruang tengah yang hanya diterangi oleh cahaya bulan Paris yang pucat, duduk Victor. Punggungnya tegap, bahunya membentuk siluet yang tegas namun sendu di tengah kegelapan. Jemarinya, yang dulu biasa menelusuri tubuhnya dengan penuh klaim, kini menari dengan lincah dan penuh perasaan di atas tuts-tuts piano, memainkan kenangan yang sama-sama mereka pahami."Victor," suara Vella serak, terpecah antara kantuk dan gejolak perasaan. "Ini sudah tengah malam. Kenapa kau belum tidur?"Lagu itu terhenti. Udara seketika menjadi pekat. Victor menoleh perlahan, matanya yang kelam menangkap bayangannya di balik cahaya remang."Aku tidak bisa tidur," jawabnya pendek, namun terasa sepert

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 10 - Kurungan Emas

    5 Tahun Lalu.Langit sore Paris saat itu berwarna oranye keemasan, menyelimuti gedung kaca Alves Entertainment yang menjulang megah di distrik bisnis Champs-Élysées.Victor berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota yang gemerlap tapi terasa sunyi.Di belakangnya, suara langkah sepatu terdengar perlahan.“Jadi akhirnya kau kembali ke sini,” suara berat seorang pria paruh baya terdengar, disertai nada yang nyaris seperti helaan napas lega.Victor menoleh, melihat Daniel Alexander, ayahnya — pria yang masih tampak berwibawa di usia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut perak rapi dan mata kelam yang mirip dengannya.“Aku tidak pernah benar-benar pergi, Ayah,” jawab Victor datar.“Tapi aku hanya menunggu waktu.”Ayahnya tersenyum samar. “Dan waktu itu datang, rupanya.”Ia berjalan ke arah meja besar dari kayu mahoni, mengusap permukaannya yang mengilap. Di sana tertulis ukiran kecil: Alves Entertainment — Legacy of the Alexander Family.“Perusahaan ini… dulu mimpi kakakm

  • Ketika Mantan Jadi Kakak Posesif   Bab 9 - Rencana Ke Paris

    Malam itu, rumah besar itu seperti bernafas dengan lambat. Lampu-lampu koridor menyala redup, dan dari kamar di lantai atas, cahaya biru layar laptop menembus celah pintu.Vella duduk di meja kerja yang biasanya dipakai Victor untuk rapat daring. Jemarinya menari cepat di keyboard, mencari sesuatu yang tidak pernah berani ia tanyakan secara langsung:Victor Adrian Alexander — background, family, business, scandal.Setiap hasil pencarian menampilkan nama besar, perusahaan entertainment raksasa, proyek film, kontrak model. Tapi ada sesuatu yang aneh — bagian masa lalunya hampir kosong. Tak ada catatan universitas, tak ada catatan keluarga sebelum sepuluh tahun lalu.Semakin ia membaca, semakin dingin udara di sekitarnya terasa.Seolah seluruh hidup Victor dimulai dari titik tertentu — titik yang sengaja dibuat oleh seseorang.Vella menggigit bibirnya. Ia membuka tab baru, mencari arsip berita lama. Di salah satu forum gelap, ia menemukan foto pria muda dengan wajah mirip Victor — tapi n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status