Vella mencoba mengabaikan sensasi mencekam yang menjalar di tubuhnya saat Victor berdiri begitu dekat, senyumannya samar tetapi matanya penuh makna tersembunyi.
“Kau tampak tegang,” ucapnya lembut, jemarinya nyaris menyentuh pipi Vella sebelum gadis itu mundur selangkah.
“Aku hanya terkejut,” kata Vella, suaranya berusaha terdengar datar.
Victor mengangkat alisnya, seolah mengejek. “Terkejut karena aku kembali? Atau karena kau akhirnya menyadari bahwa kau tidak bisa lepas dariku?”
Jantung Vella berdebar lebih kencang. Ia tidak boleh terjebak dalam permainan ini.
“Aku sudah melupakanmu, Victor.”
Victor tertawa pelan, ekspresinya tampak menghibur diri. “Kau benar-benar ingin aku percaya itu?”
Vella tidak menjawab. Ia memilih untuk pergi, melangkah melewati Victor. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Victor menangkap pergelangan tangannya. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menghentikannya.
“Sebaiknya kau bersiap, Vella,” bisiknya dekat di telinganya. “Aku akan memastikan kau tidak pernah bisa mengabaikanku lagi.”
Vella menahan napas, berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Victor. “Lepaskan aku.”
Victor tersenyum kecil sebelum akhirnya membiarkannya pergi.
Namun sebelum Vella benar-benar menjauh, ia sempat berbisik, “Selamat datang kembali dalam hidupku, sayang.”
***
Vella tidak tahan berlama-lama di pesta itu. Setelah berbasa-basi dengan beberapa tamu yang bahkan tidak benar-benar dikenalnya, ia akhirnya meminta izin pada ibunya untuk pulang lebih dulu.
“Aku akan menginap di hotel malam ini,” kata sang ibu sambil tersenyum bahagia. “Nikmati rumah sendiri untuk malam ini, sayang.”
Vella hanya mengangguk. Jujur saja, ia lega. Ia butuh ruang untuk bernapas.
Hujan tipis turun saat Vella melangkah masuk ke rumah. Suasana sepi. Sunyi.
Ia menyalakan lampu ruang tamu, meletakkan tas di sofa, lalu berjalan langsung ke kamar. Setelah mengganti gaun pesta yang membuatnya sesak, ia masuk ke kamar mandi, mencoba menghapus semua beban di pikirannya di bawah guyuran air hangat.
Tapi bayangan Victor terus muncul di kepalanya. Tatapan matanya, kata-katanya tadi malam…
"Aku akan memastikan kau tidak pernah bisa mengabaikanku lagi."
Vella menghela napas berat, mengeringkan rambutnya cepat-cepat, lalu masuk ke kamar. Ia baru saja akan naik ke ranjang ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di atas nakas.
Nomor tidak dikenal.
Alisnya berkerut. Pukul dua belas malam lewat. Siapa yang menelepon jam segini?
Ragu-ragu, ia menggeser tombol hijau.
“Halo?”Beberapa detik tidak ada suara. Hanya napas pelan di seberang sana.
Vella hendak memutuskan panggilan, ketika suara itu terdengar.
“Kau pulang terlalu cepat, sayang.”
Vella membeku.
Itu suara Victor. Lembut. Tenang. Tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Victor?” suaranya meninggi, refleks. “Dari mana kau tahu nomorku?”
Victor tertawa pelan. Suara itu membuat punggung Vella merinding.
“Aku selalu tahu apa yang kau punya, Vella.”
Lalu sambungannya terputus.Vella menatap layar ponselnya yang gelap, dadanya berdegup kencang.
Bagaimana dia tahu? Apakah Victor mengikutinya sejak tadi? Atau… apakah ia sudah masuk ke dalam hidupnya lebih jauh daripada yang ia bayangkan?
Pikirannya dipenuhi rasa takut yang mulai berubah menjadi kepanikan.
Ia menggenggam ponselnya erat, menatap gelapnya malam di luar jendela kamar.
Menggigit bibirnya, ia mencoba berpikir jernih. Ini pasti hanya permainan psikologis. Victor hanya ingin menakutinya. Tapi kenapa rasanya terlalu nyata?
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya.
DING-DONG.
Vella tersentak.
Bel pintu rumahnya berbunyi.
Suara itu bergema di seluruh rumah yang luas, menggema di lorong-lorong yang sepi.
Siapa yang datang tengah malam begini?
Ia melirik jam di ponselnya—pukul 12:24 AM.
Tangannya mencengkeram erat ponsel saat suara bel berbunyi lagi. Kali ini lebih lama.
DING-DONG. DING-DONG.
Vella menahan napas.
Ia menajamkan telinga, mencoba mendengar suara di luar. Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara mobil yang berhenti di depan rumahnya.
DING-DONG.
Jantungnya berdebar lebih kencang.
Ia berjalan pelan menuju pintu depan, melewati lorong gelap. Bayangan lampu luar memantulkan sosok samar ke lantai marmer.
Sesampainya di depan pintu, ia berdiri diam. Tidak berani bergerak.
Ia menatap lubang intip di pintu. Ragu.
Namun sebelum ia bisa melihat siapa yang ada di luar, ponselnya bergetar lagi.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:
“Kenapa tidak membukanya, Vella?”
Napasnya tercekat.
Tangan Vella gemetar saat ia perlahan-lahan mundur. Ia tidak berani melihat ke lubang intip lagi.
Bel pintu tidak berbunyi lagi.
Namun, di tengah keheningan malam, ia bisa merasakan sesuatu.
Seseorang ada di luar sana. Menunggunya.
Dan ia tahu betul siapa itu.
Victor.
Vella menggigit bibirnya, hatinya berdebar kencang saat menatap pintu di depannya.
Ia tahu ini ide buruk. Sangat buruk.
Tapi rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu, membuatnya perlahan mengulurkan tangan dan memutar kenop pintu.
Saat pintu terbuka, Victor berdiri di sana.
Ia mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresinya jauh berbeda dari pria yang ia temui di pesta tadi. Dingin. Gelap. Berbahaya.
Hujan gerimis membasahi bahunya, dan tatapannya langsung menembus mata Vella, tajam dan menuntut.
Vella merasa lidahnya kelu.
“Victor… apa yang kau lakukan di sini?”
Victor tidak langsung menjawab. Tiba-tiba, pria itu melangkah masuk tanpa menunggu izin.
“Victor! Apa yang kau—”
Klik.
Ia menutup pintu di belakangnya dan langsung mengunci dengan cepat.
Vella mundur selangkah, dadanya naik-turun. “Victor, keluarlah.”
Victor tidak bergerak. Ia hanya menatap ke dalam rumah, seolah menilai setiap sudut, sebelum akhirnya tatapannya kembali tertuju pada Vella.
“Rumah yang besar,” gumamnya pelan. “Terlalu besar untuk ditinggali sendiri.”
"Kau terlihat takut,” ujar Victor akhirnya, suaranya dalam dan tenang.“Tentu saja aku takut! Kau tidak bisa seenaknya masuk ke rumahku seperti ini!”Victor menyeringai samar. “Aku tidak pernah membutuhkan izin, Vella.”Tangannya perlahan merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah kunci duplikat.Darah Vella membeku. “Dari mana kau mendapatkan itu?” suaranya bergetar.Victor memutar kunci di jarinya dengan santai. “Kau seharusnya tahu aku selalu punya kunci.”Jantung Vella berdegup kencang, ia segera meraih ponselnya di saku gaun, berniat menelepon seseorang—tapi ponselnya dengan cepat direbut Victor lalu melemparnya ke sofa.Vella terkejut. Ia mendongak. Seketika tenggorokannya tercekat.Victor menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kelembutan, tapi juga kegelapan yang mengintai di balik matanya. Ia melangkah lebih dekat, membuat Vella semakin terdesak ke tembok. “Kenapa kau selalu mencoba menjauh dariku?” bisiknya, jemarinya terangkat dan menyentuh rambut Vella dengan lemb
"Victor, aku mau kita putus." Pernyataan Vella bagai bom yang meledakkan seisi hati pria itu menjadi kepingan hancur."Apa?" Keterkejutan melanda Victor dengan ekspresi tercengang. Wajahnya memucat seketika."Kita sudah berhubungan selama tiga tahun, dan kau ingin kita putus? Jangan bercanda! Ini bukan April mop!" Victor tidak bisa menerima dengan lapang dada. Kemarahan menguasai wajahnya yang mengeras menahan emosi."Maaf, Victor. Aku pikir aku tidak bisa bersamamu lagi." Penegasan Vella membuktikan perkataannya yang serius."Tapi, kenapa?" Matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Victor bertanya dengan suara nyaris tercekat."Aku sudah bosan padamu. Kuharap kau baik-baik saja. Selamat tinggal, Victor." Vella berbalik pergi. Langkahnya yang menjauh, seakan membawa energi kehidupan Victor.Victor ambruk dengan lemas di tanah.Ironisnya, hari ini adalah hari yang Victor siapkan untuk berlutut di hadapan Rachel dengan penuh cinta sambil menyerahkan cincin. Namun, kini kotak belud
Ucapan Victor menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan yang langsung menjerat Vella.“Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”Dunia Vella seakan berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa.Victor masih menatapnya, menikmati keterkejutannya seperti seseorang yang dengan sengaja menjebak mangsanya.“Apa maksudmu?” Vella akhirnya berhasil membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.Victor mengangkat bahu dengan santai, seolah pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya bertanya. Bukankah itu hal yang menarik? Kau dulu cukup menjanjikan sebagai model. Lalu, tiba-tiba agensimu memutus kontrak. Iklan-iklan yang seharusnya menampilkan wajah cantikmu tiba-tiba memilih model lain. Bahkan beberapa perusahaan yang dulu sangat ingin bekerja sama denganmu… berubah pikiran.”Vella merasakan darahnya mengalir dingin. Dia ingat semua itu dengan jelas.Setahun
Vella berjalan keluar dari ballroom dengan langkah cepat, membiarkan suara pesta yang masih bergema di belakangnya perlahan menghilang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya kacau.Victor.Pria itu bukan hanya kembali, tetapi kini memiliki tempat yang tidak bisa dihindari dalam hidupnya. Saudara tiri? Seperti lelucon buruk yang diciptakan semesta untuk mengurungnya kembali dalam jeratan masa lalu.Ia butuh udara.Mendorong pintu balkon yang terbuka, Vella menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit memberikan ketenangan.Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik."Apa kau melarikan diri dariku, Vella?"Suara itu membuat tubuhnya menegang.Vella menutup matanya sejenak sebelum berbalik. Victor berdiri di ambang pintu balkon, memandangnya dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan."Aku hanya butuh udara," jawabnya, berusaha terdengar netral.Victor melangkah keluar,
"Kau terlihat takut,” ujar Victor akhirnya, suaranya dalam dan tenang.“Tentu saja aku takut! Kau tidak bisa seenaknya masuk ke rumahku seperti ini!”Victor menyeringai samar. “Aku tidak pernah membutuhkan izin, Vella.”Tangannya perlahan merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah kunci duplikat.Darah Vella membeku. “Dari mana kau mendapatkan itu?” suaranya bergetar.Victor memutar kunci di jarinya dengan santai. “Kau seharusnya tahu aku selalu punya kunci.”Jantung Vella berdegup kencang, ia segera meraih ponselnya di saku gaun, berniat menelepon seseorang—tapi ponselnya dengan cepat direbut Victor lalu melemparnya ke sofa.Vella terkejut. Ia mendongak. Seketika tenggorokannya tercekat.Victor menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kelembutan, tapi juga kegelapan yang mengintai di balik matanya. Ia melangkah lebih dekat, membuat Vella semakin terdesak ke tembok. “Kenapa kau selalu mencoba menjauh dariku?” bisiknya, jemarinya terangkat dan menyentuh rambut Vella dengan lemb
Vella mencoba mengabaikan sensasi mencekam yang menjalar di tubuhnya saat Victor berdiri begitu dekat, senyumannya samar tetapi matanya penuh makna tersembunyi.“Kau tampak tegang,” ucapnya lembut, jemarinya nyaris menyentuh pipi Vella sebelum gadis itu mundur selangkah.“Aku hanya terkejut,” kata Vella, suaranya berusaha terdengar datar.Victor mengangkat alisnya, seolah mengejek. “Terkejut karena aku kembali? Atau karena kau akhirnya menyadari bahwa kau tidak bisa lepas dariku?”Jantung Vella berdebar lebih kencang. Ia tidak boleh terjebak dalam permainan ini.“Aku sudah melupakanmu, Victor.”Victor tertawa pelan, ekspresinya tampak menghibur diri. “Kau benar-benar ingin aku percaya itu?”Vella tidak menjawab. Ia memilih untuk pergi, melangkah melewati Victor. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Victor menangkap pergelangan tangannya. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menghentikannya.“Sebaiknya kau bersiap, Vella,” bisiknya dekat di telinganya. “Aku akan memastikan kau tidak perna
Vella berjalan keluar dari ballroom dengan langkah cepat, membiarkan suara pesta yang masih bergema di belakangnya perlahan menghilang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya kacau.Victor.Pria itu bukan hanya kembali, tetapi kini memiliki tempat yang tidak bisa dihindari dalam hidupnya. Saudara tiri? Seperti lelucon buruk yang diciptakan semesta untuk mengurungnya kembali dalam jeratan masa lalu.Ia butuh udara.Mendorong pintu balkon yang terbuka, Vella menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit memberikan ketenangan.Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik."Apa kau melarikan diri dariku, Vella?"Suara itu membuat tubuhnya menegang.Vella menutup matanya sejenak sebelum berbalik. Victor berdiri di ambang pintu balkon, memandangnya dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan."Aku hanya butuh udara," jawabnya, berusaha terdengar netral.Victor melangkah keluar,
Ucapan Victor menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan yang langsung menjerat Vella.“Kau tidak penasaran kenapa kariermu tiba-tiba merosot setelah kita putus?”Dunia Vella seakan berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dan untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa.Victor masih menatapnya, menikmati keterkejutannya seperti seseorang yang dengan sengaja menjebak mangsanya.“Apa maksudmu?” Vella akhirnya berhasil membuka suara, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.Victor mengangkat bahu dengan santai, seolah pertanyaannya barusan bukanlah sesuatu yang besar. “Aku hanya bertanya. Bukankah itu hal yang menarik? Kau dulu cukup menjanjikan sebagai model. Lalu, tiba-tiba agensimu memutus kontrak. Iklan-iklan yang seharusnya menampilkan wajah cantikmu tiba-tiba memilih model lain. Bahkan beberapa perusahaan yang dulu sangat ingin bekerja sama denganmu… berubah pikiran.”Vella merasakan darahnya mengalir dingin. Dia ingat semua itu dengan jelas.Setahun
"Victor, aku mau kita putus." Pernyataan Vella bagai bom yang meledakkan seisi hati pria itu menjadi kepingan hancur."Apa?" Keterkejutan melanda Victor dengan ekspresi tercengang. Wajahnya memucat seketika."Kita sudah berhubungan selama tiga tahun, dan kau ingin kita putus? Jangan bercanda! Ini bukan April mop!" Victor tidak bisa menerima dengan lapang dada. Kemarahan menguasai wajahnya yang mengeras menahan emosi."Maaf, Victor. Aku pikir aku tidak bisa bersamamu lagi." Penegasan Vella membuktikan perkataannya yang serius."Tapi, kenapa?" Matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Victor bertanya dengan suara nyaris tercekat."Aku sudah bosan padamu. Kuharap kau baik-baik saja. Selamat tinggal, Victor." Vella berbalik pergi. Langkahnya yang menjauh, seakan membawa energi kehidupan Victor.Victor ambruk dengan lemas di tanah.Ironisnya, hari ini adalah hari yang Victor siapkan untuk berlutut di hadapan Rachel dengan penuh cinta sambil menyerahkan cincin. Namun, kini kotak belud