LOGINPonsel Vella bergetar. Sebuah pesan muncul dari nomor tak dikenal:
“Kau dalam bahaya. Jauhi dia. Sebelum kau benar-benar kehilangan segalanya.”
“Dia bukan seperti yang kau kira. Dia... menghancurkan hidup orang lain sebelum kamu.”
Matanya membesar. Tangannya gemetar.
Dan di belakangnya, Victor menariknya ke dalam pelukan.
“Siapa itu?” bisik Victor, suaranya tajam tapi lembut. “Ada yang mengganggumu, sayang?”
Pesan misterius itu terus terngiang di kepala Vella. Tapi sebelum sempat ia baca ulang, Victor mengambil ponselnya. Gerakannya tenang—terlalu tenang hingga membuat jantung Vella makin berdegup kencang.
“Aku cuma khawatir padamu,” katanya sambil memutar ponsel dengan dua jarinya, matanya tak lepas dari wajah Vella. “Siapa yang berani mengirimi pesan seperti ini, ya?”
“Berikan padaku, Victor.” Vella mencoba merebut ponselnya, tapi pria itu menariknya ke dalam pelukan sebelum sempat menjangkau.
Tangan Victor mendarat di punggungnya, menelusuri garis tulang belakangnya dengan lembut tapi pasti. Napasnya membelai leher Vella, hangat dan berat.
“Aku tahu kau masih takut padaku,” bisiknya. “Tapi... bukankah bagian dari dirimu juga masih menginginkanku?”
“Victor—”
“Shh...” Tangannya menyentuh dagu Vella, mengangkat wajahnya. “Kau bisa menyangkal dengan mulutmu, tapi tubuhmu selalu jujur padaku.”
Tatapan Victor menghujam seperti pisau. Dalam dan pekat. Lalu bibirnya menyentuh pipi Vella—bukan lembut, tapi menuntut. Meninggalkan jejak panas di kulitnya.
“Kau ingat, kan?” bisiknya. “Dulu, malam sebelum kau memutuskan pergi, aku ingin melamarmu di alun-alun kota. Tapi kau... memilih kabur. Kau lebih takut pada cinta ini, daripada merasakannya.”
“Karena cintamu menakutkan,” gumam Vella. “Kau ingin mengendalikan semuanya, termasuk diriku.”
Victor menghela napas panjang, lalu menindih tubuh Vella perlahan di atas tempat tidur. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aura di sekitarnya berubah. Matanya lebih gelap, lebih dingin.
“Aku tidak mengendalikanmu, Vella. Aku... memilikinya. Itu berbeda.” Bibirnya kini di dekat bibir Vella. “Karena kau milikku. Sejak awal. Bahkan saat kau memutuskan pergi... aku masih bisa mencium wangi parfummu di bantal.”
Jari-jarinya menyusup ke sela rambut Vella, lalu turun ke tengkuk, memaksa matanya bertemu dengan tatapan Victor.
“Jangan lari lagi, Vella,” katanya lirih. “Karena kali ini, aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Lalu dia menciumnya. Dalam. Melingkupi. Seolah menumpahkan segala emosi yang tertahan selama tiga tahun.
Dan meskipun akalnya menolak, tubuh Vella bergetar menerima setiap gesekan itu. Ada rasa takut, namun juga kerinduan. Ada sisi dirinya yang merindukan pelukan ini—bau kulit Victor, nafasnya, tatapan yang dulu membuatnya merasa spesial… sebelum semuanya berubah jadi penjara.
Tapi sebelum ciuman itu semakin dalam, suara notifikasi ponsel berbunyi lagi.
Victor menarik diri, matanya masih merah karena gairah dan sesuatu yang lain… sesuatu yang gelap. Ia mengambil ponsel, membacanya dalam diam. Tapi sorot matanya langsung berubah jadi ancaman.
“Kau harus berhenti menerima pesan dari orang yang tidak kau kenal, sayang. Bisa-bisa, dia membuatmu tidak bisa tidur tenang...”
Vella menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Apa maksudmu?”
Victor mengusap rambutnya dengan lembut, lalu menciumnya di kening.
“Tenang saja. Aku akan cari tahu siapa pengganggu ini. Dan kalau aku sudah tahu... aku pastikan dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Bahkan lewat kata-kata.”
***
Pagi menembus tirai kamar dengan lembut, meninggalkan warna keemasan di dinding. Vella membuka mata perlahan. Udara masih mengandung jejak wangi cologne Victor—aroma yang menenangkan sekaligus menyesakkan.
Tempat di sampingnya kosong. Bantalnya masih hangat.
“Victor?” suaranya serak, ragu. Tidak ada jawaban.
Ia duduk, selimut melorot ke pangkuan. Bayangan malam tadi menyeruak: pelukan Victor yang begitu erat, tatapan yang mengancam tapi juga terasa seperti perlindungan yang nyata. Vella menggigit bibir, menahan sesuatu yang aneh di dadanya—campuran rindu dan takut.
Langkah kakinya menuju ruang tengah. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya ada secangkir kopi yang masih mengepul di meja. Di bawah cangkir itu, terlipat sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan Victor yang rapi:
“Aku pergi sebentar. Jangan keluar rumah. —V.”
Vella mengernyit. Sesuatu terasa tidak beres. Ia tak tahu ke mana Victor pergi, atau mengapa ia harus tetap di rumah.
Ketika ia berbalik, ponselnya bergetar di meja makan. Satu pesan baru masuk dari nomor tanpa nama.
“Kau tahu siapa dia sebenarnya?”
Jantungnya berdegup keras. Ia menatap layar ponsel beberapa detik sebelum mengetik balasan.
Siapa maksudmu?
Balasan datang cepat:
“Victor tidak seperti yang kau kira. Cari di bawah piano ruang tamu. Kau akan tahu.”
Vella menelan ludah. Tangannya gemetar ketika melangkah ke ruang tamu. Piano putih di sudut ruangan tampak bersih, tidak mencurigakan. Tapi saat ia menunduk, ada sesuatu di bawah sana—sebuah kotak hitam kecil.
Kotak itu dingin di tangannya. Ia membukanya perlahan.
Di dalamnya terdapat flashdisk perak dengan inisial “V.H.”
Seketika jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, ini milik Victor. Tapi kenapa disembunyikan di rumahnya?
Ia menatap layar laptop yang menyala di meja, bimbang. Lalu menarik napas panjang dan mencolokkan flashdisk itu.
Folder tunggal muncul di layar, berjudul: Velentine.
Jari-jarinya gemetar saat mengkliknya. Di dalam folder itu ada puluhan foto dirinya—foto candid, diambil diam-diam dari berbagai tempat: studio pemotretan, apartemen lamanya, bahkan salah satu di bandara saat ia baru kembali ke kota ini.
Napas Vella tercekat. “Apa ini…?”
Layar tiba-tiba berubah. Satu file video terbuka otomatis. Rekaman dari kamera CCTV menunjukkan Victor sedang berbicara dengan seorang pria tua di ruang kantor bergaya mewah.
“Dia tidak boleh tahu apa pun,” suara Victor terdengar jelas. “Jika dia tahu, semuanya akan berakhir.”
Vella menatap layar itu dengan tubuh gemetar. “Tidak boleh tahu… apa?” bisiknya.
Pintu depan berderit.
Vella menutup laptop dengan cepat. Langkah kaki berat mendekat. Nafasnya memburu. Ia tahu langkah itu.
Victor muncul di ambang pintu dengan jas gelap, rambut sedikit berantakan. Matanya langsung tertuju pada Vella yang berdiri di ruang tamu dengan wajah pucat.
“Vella.” Suaranya datar, nyaris tidak mengenali emosi.
“Kau sudah bangun rupanya.”
Vella mencoba tersenyum, tapi suaranya bergetar. “Kau... dari mana?”
Victor berjalan pelan, menatap sekeliling ruangan seolah mengamati sesuatu yang salah tempat. “Ada urusan kecil di kantor.” Ia berhenti tepat di depan Vella. “Kau baik-baik saja?”
“Aku…” Tapi suaranya lenyap ketika mata Victor tertumbuk pada laptop yang belum sempat ia cabut flashdisk-nya.
Hening mendadak menebal di antara mereka.
Victor melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga Vella bisa mendengar desah napasnya. “Kau… membuka sesuatu yang bukan milikmu?” tanyanya pelan.
Nada suaranya tenang, tapi dinginnya menggigit.
Vella mundur setapak. “Aku—aku cuma menemukan—”
Victor menyentuh pipinya dengan lembut, tapi tatapannya tajam seperti pisau. “Kadang rasa ingin tahu itu berbahaya, sayang.”
“Victor, apa maksud semua ini?”
Senyum tipis muncul di bibir pria itu. “Maksudnya?” Ia menunduk sedikit, suaranya berbisik di telinganya. “Mungkin kau belum siap untuk tahu… siapa sebenarnya orang yang selama ini memelukmu.”
Seketika lampu di ruang tamu berkelip, laptopnya mati dengan suara letupan halus.
Vella tersentak. Victor menatap layar yang padam itu, lalu pada Vella, pandangannya tak terbaca.
“Kau seharusnya tidak membuka kotak itu,” ucapnya pelan.
“Sekarang… semuanya sudah berubah.”
Dan sebelum Vella sempat bertanya lagi, suara ponselnya berdering di meja. Nomor tanpa nama itu kembali muncul, tapi kali ini nama kontaknya berubah: “Aku tahu siapa dia.”
Vella menatap layar ponsel itu dengan tubuh bergetar, sementara Victor hanya tersenyum samar, seolah sudah menunggu pesan itu datang.
***
Mobil akhirnya sampai di penthouse. Hujan masih rintik-rintik ketika mereka bergegas masuk ke lobi, menghindari udara dingin yang mulai menggigit. Victor mendorong pintu kaca dengan bahunya, kedua tangannya masih setia memegang kantong belanjaan yang berat.Mereka berjalan menuju lift dalam kesunyian yang nyaman, hanya diiringi suara sepatu mereka yang basah menyentuh lantai marmer. Saat pintu lift tertutup, memisahkan mereka dari dunia luar, Vella memandangi pantulan diri mereka di dinding kaca yang mengilap. Victor berdiri di sampingnya, terlihat begitu perkasa namun juga menyimpan kesendirian yang tak terucap."Aku membaca tentangmu," ucap Vella tiba-tiba, suaranya lirih di dalam ruang sempit itu. "Tentang Alves Entertainment. Aku tidak pernah menyangka."Victor menatap pantulannya di kaca, bertemu dengan mata Vella yang penuh tanya. "Menyangka apa?""Bahwa kau adalah Victor Alexander. CEO dari salah satu agensi terbesar. Selama ini, selama kita... pacaran, aku mengira kau hanya se
Supermarket mewah itu sepi di penghujung hari. Lampu neon putih menyinari lorong-lorong panjang yang berisi rak-rak penuh barang. Vella berjalan beberapa langkah di belakang Victor, wajahnya masih dibuat-buat cemberut, meski hatinya sedikit meleleh melihat pria tinggi tegap itu dengan serius mendorong keranjang belanja."Lihat yang ini," ucap Victor tiba-tiba, berhenti di depan rak daging olahan. Dia mengangkat sebungkus sosis bakar premium merek favorit. "Ini merek yang kau suka. Dulu kita selalu membelinya untuk barbeque di balkon. Kita beli satu paket, ya?"Vella memalingkan muka, berusaha keras tidak terlihat terlalu antusias. "Ambillah sesukamu. Toh ini uang dan kulkasmu."Victor tidak terpengaruh. Dengan senyum kecil yang memahami, dia melemaskan bungkusan sosis itu ke dalam keranjang. Keranjang yang perlahan-lahan mulai penuh dengan barang-barang pilihannya."Kau lihat?" gumam Victor sambil terus berjalan, matanya menyapu rak-rak seolah sedang merencanakan strategi. "Aku membel
Mobil hitam mewah itu berhenti tepat di depan gedung futuristik yang di puncaknya terpampang besar nama "Alves Entertainment". Begitu kaki Vella melangkah keluar, dunia yang serba cepat langsung menyambutnya. Lobi yang megah dipenuhi oleh para trainee dengan wajah masih polos namun penuh ambisi, diselingi sosok-sosok familiar—model papan atas yang sedang berbincang dengan agen, hingga aktor pemenang penghargaan yang lalu lalang dengan aura bintangnya."Selamat datang, Nona Vella. Saya Alex, asisten pribadi Mr. Victor." Seorang pria muda dengan kacamata frameless dan setelan jas sempurna menyambutnya dengan senyum profesional.Namun, matanya yang tajam mengamati setiap detail tentang Vella, seolah mencoba memecahkan teka-teki mengapa wanita ini begitu istimewa di mata bosnya."Mr. Victor sudah menyiapkan jadwal pemotretan untuk iklan parfum 'Eternité' hari ini juga. Mari saya antar ke ruang make-up."Vella mengikuti Alex, merasakan ratusan pasang mata menatapnya. Bisik-bisik berdesir se
Vella terbangun dari tidurnya oleh sebuah melodi yang merangkak masuk ke dalam mimpinya. Sebuah lagu yang terlalu dikenalnya, yang pernah menjadi pengantar tidur dan juga pembangkit jiwa. Their song. Dengan kaki yang masih limbung, ia terbawa keluar kamar, mengikuti denting piano yang seperti mantra.Dan di sana, di ruang tengah yang hanya diterangi oleh cahaya bulan Paris yang pucat, duduk Victor. Punggungnya tegap, bahunya membentuk siluet yang tegas namun sendu di tengah kegelapan. Jemarinya, yang dulu biasa menelusuri tubuhnya dengan penuh klaim, kini menari dengan lincah dan penuh perasaan di atas tuts-tuts piano, memainkan kenangan yang sama-sama mereka pahami."Victor," suara Vella serak, terpecah antara kantuk dan gejolak perasaan. "Ini sudah tengah malam. Kenapa kau belum tidur?"Lagu itu terhenti. Udara seketika menjadi pekat. Victor menoleh perlahan, matanya yang kelam menangkap bayangannya di balik cahaya remang."Aku tidak bisa tidur," jawabnya pendek, namun terasa sepert
5 Tahun Lalu.Langit sore Paris saat itu berwarna oranye keemasan, menyelimuti gedung kaca Alves Entertainment yang menjulang megah di distrik bisnis Champs-Élysées.Victor berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota yang gemerlap tapi terasa sunyi.Di belakangnya, suara langkah sepatu terdengar perlahan.“Jadi akhirnya kau kembali ke sini,” suara berat seorang pria paruh baya terdengar, disertai nada yang nyaris seperti helaan napas lega.Victor menoleh, melihat Daniel Alexander, ayahnya — pria yang masih tampak berwibawa di usia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut perak rapi dan mata kelam yang mirip dengannya.“Aku tidak pernah benar-benar pergi, Ayah,” jawab Victor datar.“Tapi aku hanya menunggu waktu.”Ayahnya tersenyum samar. “Dan waktu itu datang, rupanya.”Ia berjalan ke arah meja besar dari kayu mahoni, mengusap permukaannya yang mengilap. Di sana tertulis ukiran kecil: Alves Entertainment — Legacy of the Alexander Family.“Perusahaan ini… dulu mimpi kakakm
Malam itu, rumah besar itu seperti bernafas dengan lambat. Lampu-lampu koridor menyala redup, dan dari kamar di lantai atas, cahaya biru layar laptop menembus celah pintu.Vella duduk di meja kerja yang biasanya dipakai Victor untuk rapat daring. Jemarinya menari cepat di keyboard, mencari sesuatu yang tidak pernah berani ia tanyakan secara langsung:Victor Adrian Alexander — background, family, business, scandal.Setiap hasil pencarian menampilkan nama besar, perusahaan entertainment raksasa, proyek film, kontrak model. Tapi ada sesuatu yang aneh — bagian masa lalunya hampir kosong. Tak ada catatan universitas, tak ada catatan keluarga sebelum sepuluh tahun lalu.Semakin ia membaca, semakin dingin udara di sekitarnya terasa.Seolah seluruh hidup Victor dimulai dari titik tertentu — titik yang sengaja dibuat oleh seseorang.Vella menggigit bibirnya. Ia membuka tab baru, mencari arsip berita lama. Di salah satu forum gelap, ia menemukan foto pria muda dengan wajah mirip Victor — tapi n







