Di kamar Albern… Livy menangis, menahan suara. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada Kay di pesta itu. Mata Livy menatap Albern yang sedang terlelap. Hatinya dengan anak susunya itu terasa sangat dekat. Albern adalah hal yang membuat Livy kuat setelah kehilangan Fabian. ‘Apapun yang terjadi ke depannya nanti, aku bangga bisa menyusuimu, Al… Mungkin kita tidak akan mungkin pernah bertemu lagi begitu kita berpisah. Aku tidak ingin membuat masalah dalam hidup Papa kamu, seperti yang dia katakan. Entah kenapa, aku sangat sayang kamu, Albern. Setiap tetes ASI yang kuberi untukmu itu selalu disertai doa dan harapanku, semoga kelak kamu menjadi anak yang hebat, sukses dan penuh cinta. Dengan harapan, siapa tahu Papa kamu bisa mengingat setidaknya sedikit saja kebaikan yang kuberikan untuk anaknya, di samping luka dan masalah yang ada di hidupnya karenaku…’ Setelah semalaman bercucuran air mata, akhirnya Livy pun tertidur. Keesokan harinya Livy beraktivitas seperti bisanya.
Di ruang keluarga, Richard duduk bersama dengan Kay dan Jenna yang sedang menggendong Albern. “Papa tidak menyangka Albern bisa akrab dengan Tantenya,” ucap Richard. Sejak tadi, Kay juga sedang memperhatikan Albern yang betah dengan Jenna. Entah apa yang ada di pikirannya sampai membuatnya melamun. “Kay?” sapa Richard, menepuk bahu Kay, menariknya dari lamunan. “Ah iya, Pa. Mungkin Albern tahu kalau Tante Jennanya dekat dengan Mamanya,” jawab Kay. Richard tersenyum. “Jadi, Jenna akan tinggal di sini. Dia ingin belajar bisnis dan perusahaan. Boleh kan?” tanyanya. “Oh ya ya boleh Pa, kenapa tidak?” jawab Kay. “Benar boleh Kak Kay? Wah! Terima kasih banyak! Aku akan sangat betah di sini karena ada Albern!” Jenna terlihat masih gemas dengan Albern. “Bagus kalau begitu!” ucap Richard. “Nanti Bibi akan menyiapkan kamar untukmu,” ucap Kay pada Jenna. “Terima kasih Om, Kak Kay!” Harusnya Livy tidak perlu menguping pembahasan mereka. Tetapi, entah kenapa hatinya tidak tenang setelah
Livy langsung mengusap pipinya. “Tidak… Bukan apa-apa, Tuan.”Merry pun ikut bingung. Dia tidak berani menjawab hal yang menyangkut masalah pribadi Livy.“Saya mendengar kalian menyebut-nyebut karma, ada apa sebenarnya? Siapa yang sedang mendapat karma?” Richard masih bersikeras ingin tahu perbincangan mereka.“Tuan… Tuan butuh apa sampai harus datang sendiri ke dapur? Biar saya bantu,” ucap Livy, mengalihkan pertanyaan Richard padanya.“Ibu Livy… Kamu itu Ibu Susu Cucu saya. Saya sangat menghargai jasa Ibu Livy. Kalau Ibu Livy memang ada masalah, kenapa tidak beritahu saya ataupun Kay, kami pasti akan bantu. Bantuan kami pun tidak akan setimpal dengan jasa yang Ibu berikan untuk Cucu saya,” jelas Richard, yang begitu baik dan tulus.“Tuan… maaf, tapi bagaimana saya harus menceritakannya. Ini hanya soal masa lalu saya.” Livy mencoba tersenyum agar Richard tidak mendesaknya untuk menceritakan yang sebenarnya. Dia pun segan pada orang tua tersebut, yang pertanyaannya harus terus dia ali
“Ke- kenapa Nyonya bertanya seperti itu?” tanya Livy, menunjukkan wajah polos, untuk meyakinkan bahwa dia dan Kay tidak memiliki hubungan apa-apa.“Kau jangan berbohong! Aku tahu Kak Kay baru saja dari kamarmu! Apa selain menjadi Ibu Susu, menjadi pembantu, kau juga berusaha menjadi pengganti istrinya?” tuduh Jenna.“Astaga! Kenapa Nyonya bisa berpikiran seperti itu? Tu- Tuan Kay tidak mungkin melirik wanita rendah seperti saya, Nyonya.”“Tapi dia baru saja dari kamarmu kan?!” “Ya, Tu- Tuan Kay menegur saya karena saya membuat kesalahan,” jelas Livy.Jenna melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya pada Livy penuh kecurigaan.“Untuk sekelas pembantu, kamu masih lumayan cantik. Kalau sampai kau ada niat untuk genit pada Kak Kay, kau akan berhadapan denganku!” gumam Jenna.Livy mengangkat wajahnya. Ia memberanikan diri menantang wajah wanita yang baru datang tersebut. “Nyonya… Saya tidak tahu kenapa Nyonya Jenna berpikiran seperti itu. Pertama, Tuan Kay tidak mungkin akan menyuk
“Ti- tidak. Hubungan apa, Pa?” tanya Kay, mencoba membuat dirinya bingung dengan pertanyaan Richard. “Kau terlihat seemosi itu, Kay. Seperti ada hal lain yang membuatmu sangat membenci Ibu Susu Albern. Ingat… kalau dia tidak ada, aku tidak tahu bagaimana nasib cucuku,” jelas Richard. “A- aku hanya terbawa emosi, Pa. Aku berpikir dia tidak sepenuh hati lagi karena ada Jenna yang ingin menjaga Albern,” jelas Kay, memberikan alasan. “Tapi benar, Om. Ibu Susu Albern bohong. Aku tidak merebut Albern sama sekali. Sewaktu aku datang ke kamar, Albern memang tidak sedang menyusu. Dia menawarkan Albern untuk ku gendong, jelas aku terima. Aku sangat sayang pada Albern,” jelas Jenna. “Tapi tetap, kau harus kontrol emosimu pada Ibu Susu Albern, Kay. Kalau dia sampai stres, nanti dia sulit menyusui Albern. Dan… biasakan untuk tidak membentak di hadapan Albern,” pesan Richard. Kay mengatur emosinya. Dia menunduk. “Maaf Pa, ya aku akan lebih mengontrol emosiku lagi,” ucap Kay. Jenna menyentuh b
Livy bisa saja melupakan perasaannya pada Kay yang selama ini harus dikorbankannya. Dia bisa menyimpan semua kebenaran yang tak perlu lagi untuk Kay ketahui. Tapi bagaimana dengan Albern? Bisakah Livy melupakannya kelak? Bayi mungil itu sudah mengobati rasa kehilangannya pada Fabian. Lalu bagaimana jika Albern mendapatkan ibu pengganti yang tidak benar-benar tulus? Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu… Sebentar lagi Albern akan genap berusia satu tahun. Albern tumbuh menjadi anak yang aktif, cerdas dan cepat berkembang. Dia bahkan sudah bisa menyebutkan ‘Papa’ dan ‘Mama’ dengan jelas. Artinya tidak terasa pula, sudah sepuluh bulan Livy menjadi ibu susu Albern. Ia menjadi saksi perkembangan anak susunya tersebut. Dia yang paling tahu. Mulai dari awal MPASI, awal berbicara, tumbuh gigi, mampu berdiri, hingga hal terhebat yaitu mulai bisa melangkah. Semua proses itu Livy nikmati walau sering membuatnya teringat pada Fabian. ‘Andai anakku masih ada, dia pasti sudah bisa berlari kecil
“Bagus kalau begitu! Papa akan atur semuanya.” Richard bahagia melihat menantunya akan bersama dengan keponakannya. Jenna akan menjadi Ibu Pengganti yang baik untuk cucunya. Dia percaya itu. Livy berlalu, membawa semua mainan Albern untuk disimpan ke kamarnya. “Ibu Livy?” panggil Richard. Langkah Livy terhenti. “Ya, Tuan?” sahutnya. Kay menatap Livy dengan tatapan yang dingin. Sebagaimana dia biasa menatap wanita itu penuh kebencian. “Di acara ulang tahun Albern yang akan diadakan di kantor nanti, sekaligus pertunangan Kay dan Jenna, kamu harus ikut ya?” pinta Richard. Kay tidak menyangka kalau ayah mertuanya akan meminta wanita yang dibencinya itu untuk hadir. “Pah? Kenapa harus?” tanya Kay. Jenna pun menolak di dalam hati. Livy hanya menunduk dan diam. “Itu pertama kalinya Albern bertemu banyak orang. Siapa tahu dia tidak nyaman. Siapa tahu dia takut. Jadi, kalau ada Ibu Susunya, setidaknya Albern bisa tenang,” jelas Richard. Kay menatap Livy. Dia seakan lupa kalau wanita
“Tu- Tuan…” Livy berdiri dan menunduk di hadapan Kay. “Apa yang baru saja kau katakan ha?!” tanya Kay geram, menahan suaranya. Ia melihat Albern yang sedang tidur. “Ma- maaf, Tuan!” Kali ini Livy tidak bisa membela dirinya sendiri. Dia tidak bisa berkilah. Jika dia menjelaskan perasaannya tentang Jenna, sudah pasti dia akan semakin salah. “Sus Merry, tetap di sini jaga Albern!” titah Kay. Merry yang sudah ketakutan, hanya bisa mengangguk dalam tunduknya. “Baik Tuan,” sahutnya. Lalu Kay menatap Livy tajam dengan mata elangnya. Dia menunjuk wajah Livy dengan tegas. “Dan kau! Ikut denganku sekarang!” ucapnya geram. Livy mengikuti Kay yang berjalan cepat menuju kamarnya, di belakang dapur. Pria tinggi tegap nan arogan itu memastikan tidak ada yang melihatnya bersama Livy. Sesampainya di kamar Livy, Kay membuka pintu itu dengan kasar. Dia menangkap leher Livy. “Apa yang kau katakan tadi ha?!” bentaknya, meluapkan amarah yang dia pendam saat di kamar anaknya. “A- aku tidak bermaksud
“Ahm, ti- tidak usah,” ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. ‘Apa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?’ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. “Kenpa aku ini?! Aku berpikir apa!” celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.“Hati-hati ya… cucu Kakek!” seru Richard, mengusap kepala Albern.“Kalian juga… selamat bersenang-senang!” ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.“Kami pergi dulu, Pa.”**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. “Papa punya ide,” ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita liburan bersama?” Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. “Liburan, Pa?” sahut Kay. Richard mengangguk semangat. “Iya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa