Di ruang keluarga, Richard duduk bersama dengan Kay dan Jenna yang sedang menggendong Albern. โPapa tidak menyangka Albern bisa akrab dengan Tantenya,โ ucap Richard. Sejak tadi, Kay juga sedang memperhatikan Albern yang betah dengan Jenna. Entah apa yang ada di pikirannya sampai membuatnya melamun. โKay?โ sapa Richard, menepuk bahu Kay, menariknya dari lamunan. โAh iya, Pa. Mungkin Albern tahu kalau Tante Jennanya dekat dengan Mamanya,โ jawab Kay. Richard tersenyum. โJadi, Jenna akan tinggal di sini. Dia ingin belajar bisnis dan perusahaan. Boleh kan?โ tanyanya. โOh ya ya boleh Pa, kenapa tidak?โ jawab Kay. โBenar boleh Kak Kay? Wah! Terima kasih banyak! Aku akan sangat betah di sini karena ada Albern!โ Jenna terlihat masih gemas dengan Albern. โBagus kalau begitu!โ ucap Richard. โNanti Bibi akan menyiapkan kamar untukmu,โ ucap Kay pada Jenna. โTerima kasih Om, Kak Kay!โ Harusnya Livy tidak perlu menguping pembahasan mereka. Tetapi, entah kenapa hatinya tidak tenang setelah
Livy langsung mengusap pipinya. โTidakโฆ Bukan apa-apa, Tuan.โMerry pun ikut bingung. Dia tidak berani menjawab hal yang menyangkut masalah pribadi Livy.โSaya mendengar kalian menyebut-nyebut karma, ada apa sebenarnya? Siapa yang sedang mendapat karma?โ Richard masih bersikeras ingin tahu perbincangan mereka.โTuanโฆ Tuan butuh apa sampai harus datang sendiri ke dapur? Biar saya bantu,โ ucap Livy, mengalihkan pertanyaan Richard padanya.โIbu Livyโฆ Kamu itu Ibu Susu Cucu saya. Saya sangat menghargai jasa Ibu Livy. Kalau Ibu Livy memang ada masalah, kenapa tidak beritahu saya ataupun Kay, kami pasti akan bantu. Bantuan kami pun tidak akan setimpal dengan jasa yang Ibu berikan untuk Cucu saya,โ jelas Richard, yang begitu baik dan tulus.โTuanโฆ maaf, tapi bagaimana saya harus menceritakannya. Ini hanya soal masa lalu saya.โ Livy mencoba tersenyum agar Richard tidak mendesaknya untuk menceritakan yang sebenarnya. Dia pun segan pada orang tua tersebut, yang pertanyaannya harus terus dia ali
โKe- kenapa Nyonya bertanya seperti itu?โ tanya Livy, menunjukkan wajah polos, untuk meyakinkan bahwa dia dan Kay tidak memiliki hubungan apa-apa.โKau jangan berbohong! Aku tahu Kak Kay baru saja dari kamarmu! Apa selain menjadi Ibu Susu, menjadi pembantu, kau juga berusaha menjadi pengganti istrinya?โ tuduh Jenna.โAstaga! Kenapa Nyonya bisa berpikiran seperti itu? Tu- Tuan Kay tidak mungkin melirik wanita rendah seperti saya, Nyonya.โโTapi dia baru saja dari kamarmu kan?!โ โYa, Tu- Tuan Kay menegur saya karena saya membuat kesalahan,โ jelas Livy.Jenna melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya pada Livy penuh kecurigaan.โUntuk sekelas pembantu, kamu masih lumayan cantik. Kalau sampai kau ada niat untuk genit pada Kak Kay, kau akan berhadapan denganku!โ gumam Jenna.Livy mengangkat wajahnya. Ia memberanikan diri menantang wajah wanita yang baru datang tersebut. โNyonyaโฆ Saya tidak tahu kenapa Nyonya Jenna berpikiran seperti itu. Pertama, Tuan Kay tidak mungkin akan menyuk
โTi- tidak. Hubungan apa, Pa?โ tanya Kay, mencoba membuat dirinya bingung dengan pertanyaan Richard. โKau terlihat seemosi itu, Kay. Seperti ada hal lain yang membuatmu sangat membenci Ibu Susu Albern. Ingatโฆ kalau dia tidak ada, aku tidak tahu bagaimana nasib cucuku,โ jelas Richard. โA- aku hanya terbawa emosi, Pa. Aku berpikir dia tidak sepenuh hati lagi karena ada Jenna yang ingin menjaga Albern,โ jelas Kay, memberikan alasan. โTapi benar, Om. Ibu Susu Albern bohong. Aku tidak merebut Albern sama sekali. Sewaktu aku datang ke kamar, Albern memang tidak sedang menyusu. Dia menawarkan Albern untuk ku gendong, jelas aku terima. Aku sangat sayang pada Albern,โ jelas Jenna. โTapi tetap, kau harus kontrol emosimu pada Ibu Susu Albern, Kay. Kalau dia sampai stres, nanti dia sulit menyusui Albern. Danโฆ biasakan untuk tidak membentak di hadapan Albern,โ pesan Richard. Kay mengatur emosinya. Dia menunduk. โMaaf Pa, ya aku akan lebih mengontrol emosiku lagi,โ ucap Kay. Jenna menyentuh b
Livy bisa saja melupakan perasaannya pada Kay yang selama ini harus dikorbankannya. Dia bisa menyimpan semua kebenaran yang tak perlu lagi untuk Kay ketahui. Tapi bagaimana dengan Albern? Bisakah Livy melupakannya kelak? Bayi mungil itu sudah mengobati rasa kehilangannya pada Fabian. Lalu bagaimana jika Albern mendapatkan ibu pengganti yang tidak benar-benar tulus? Tidak terasa waktu begitu cepat berlaluโฆ Sebentar lagi Albern akan genap berusia satu tahun. Albern tumbuh menjadi anak yang aktif, cerdas dan cepat berkembang. Dia bahkan sudah bisa menyebutkan โPapaโ dan โMamaโ dengan jelas. Artinya tidak terasa pula, sudah sepuluh bulan Livy menjadi ibu susu Albern. Ia menjadi saksi perkembangan anak susunya tersebut. Dia yang paling tahu. Mulai dari awal MPASI, awal berbicara, tumbuh gigi, mampu berdiri, hingga hal terhebat yaitu mulai bisa melangkah. Semua proses itu Livy nikmati walau sering membuatnya teringat pada Fabian. โAndai anakku masih ada, dia pasti sudah bisa berlari kecil
โBagus kalau begitu! Papa akan atur semuanya.โ Richard bahagia melihat menantunya akan bersama dengan keponakannya. Jenna akan menjadi Ibu Pengganti yang baik untuk cucunya. Dia percaya itu. Livy berlalu, membawa semua mainan Albern untuk disimpan ke kamarnya. โIbu Livy?โ panggil Richard. Langkah Livy terhenti. โYa, Tuan?โ sahutnya. Kay menatap Livy dengan tatapan yang dingin. Sebagaimana dia biasa menatap wanita itu penuh kebencian. โDi acara ulang tahun Albern yang akan diadakan di kantor nanti, sekaligus pertunangan Kay dan Jenna, kamu harus ikut ya?โ pinta Richard. Kay tidak menyangka kalau ayah mertuanya akan meminta wanita yang dibencinya itu untuk hadir. โPah? Kenapa harus?โ tanya Kay. Jenna pun menolak di dalam hati. Livy hanya menunduk dan diam. โItu pertama kalinya Albern bertemu banyak orang. Siapa tahu dia tidak nyaman. Siapa tahu dia takut. Jadi, kalau ada Ibu Susunya, setidaknya Albern bisa tenang,โ jelas Richard. Kay menatap Livy. Dia seakan lupa kalau wanita
โTu- Tuanโฆโ Livy berdiri dan menunduk di hadapan Kay. โApa yang baru saja kau katakan ha?!โ tanya Kay geram, menahan suaranya. Ia melihat Albern yang sedang tidur. โMa- maaf, Tuan!โ Kali ini Livy tidak bisa membela dirinya sendiri. Dia tidak bisa berkilah. Jika dia menjelaskan perasaannya tentang Jenna, sudah pasti dia akan semakin salah. โSus Merry, tetap di sini jaga Albern!โ titah Kay. Merry yang sudah ketakutan, hanya bisa mengangguk dalam tunduknya. โBaik Tuan,โ sahutnya. Lalu Kay menatap Livy tajam dengan mata elangnya. Dia menunjuk wajah Livy dengan tegas. โDan kau! Ikut denganku sekarang!โ ucapnya geram. Livy mengikuti Kay yang berjalan cepat menuju kamarnya, di belakang dapur. Pria tinggi tegap nan arogan itu memastikan tidak ada yang melihatnya bersama Livy. Sesampainya di kamar Livy, Kay membuka pintu itu dengan kasar. Dia menangkap leher Livy. โApa yang kau katakan tadi ha?!โ bentaknya, meluapkan amarah yang dia pendam saat di kamar anaknya. โA- aku tidak bermaksud
โIbu Livyโฆโ Merry menyapa Livy yang baru saja terjaga dari pingsannya. Livy memegang kepalanya yang terasa berat. โSus? Albern mana?โ tanyanya. Wajah Merry begitu khawatir dan prihatin pada Livy. โAlbern di kamarnya, Bu. Dia baikโฆโ lirih Livy. โIbu istirahat dulu, ya?โ bujuknya. Livy terdiam. Tatapannya sayu cenderung kosong. โBuโฆ Apa yang sudah Tuan Kay lakukan pada Ibu sampai Ibu pingsan?โ tanya Merry, memelankan suaranya. Dia begitu hati-hati. Livy mengingat apa yang baru saja terjadi. Dia menggeleng. โTidak Sus,โ jawabnya lemah. โDia tidak melakukan apa-apa,โ jawabnya. โTapi, kenapa Ibu sampai pingsan? Tuhanโฆ aku kasihan sekali pada Ibu,โ ringis Merry. โAku baik, Sus.โ Livy meyakinkan. Merry menghela napas panjang. Dia mengusap bahu Livy. Richard dan Kay datang ke kamar Livy setelah berbicara dengan dokter yang memeriksa Livy di ruang tengah. โIbu Livy? Bagaimana keadaannya?โ tanya Richard. โBaik Tuanโฆโ jawab Livy, yang masih berbaring di kasurnya. Dia pun mencoba bangk
Livy melihat Kay yang ingin mendekat, namun akhirnya pergi. Ia menarik tangannya pelan. โRei? Sebenarnya ada apa?โ tanyanya hati-hati.Reino pun sempat menoleh ke belakang. Ia juga melihat Kay yang pergi. Bukannya tersinggung, dia justru tersenyum. โKamu sangat menjaga perasaannya, ya? Lalu, kalau begituโฆ apa yang kalian tunggu?โ tanyanya. โKalau masih sama-sama ada rasa, masih saling menjaga hati, kenapa tidak bersatu kembali?โPertanyaan itu menggantung begitu saja. Tak dapat Livy jawab. Semua tidak semudah itu.Ternyata dari balik tembok penyekat ruang tamu itu, Kay mendengar ucapan Reino. Dia cukup terkejut karena awalnya pikirannya sudah jauh mengarah pada marah sebab cemburu. Nyatanya Rei memberi pukulan yang berbeda.Livy terdiam.โโAku ke sini bukan untuk mengusikmu, Livy. Bukan juga ingin membujukmu atau menawarkan waktu tunggu. Tidak. Aku mau minta maaf.โLivy menatapnya, bingung. โKamu tidak salah apa-apa, Rei. Kenapa harus meminta maaf?โโEntahlah, aku merasa aku membawa s
Livy tak tahu harus menjawab apa dengan pernyataan Kay yang mengaku cemburu. Hingga pada akhirnya Kay yang kembali berbicara, โAh, sudahlah lupakan. Kamu tidak apa-apa kan?โ tanyanya.โYa, aku tidak apa-apa,โ jawab Livy pelan. Ia pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa.โOh ya, setelah ini, kita jadi ke salon?โ tanya Kay.โApa aku terlihat menyedihkan?โ Cepat Livy merespon, membuat Kay menatapnya terdiam dan sedikit bingung.โKe- kenapa kamu bertanya seperti itu?โ tanya Kay.โKamu menyarankan aku ke salon, apa aku terlihat sudah sejelek itu ya?โ tanya Livy pula, bingung.Kay tiba-tiba tertawa. Cemburu yang tadi mengganggu hatinya kini berubah menjadi lucu. Ia sampai mengusap wajahnya untuk menahan tawa lalu menatap Livy tersenyum.Livy yang mendapat respon seperti itu tiba-tiba jengkel. โKenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?โ tanyanya dengan nada sedikit tidak suka.โMaaf maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Bukan. Bukan begitu. Aku hanya bingung kenapa kamu bisa berpikiran seper
โAhm, ti- tidak usah,โ ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. โApa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?โ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. โKenpa aku ini?! Aku berpikir apa!โ celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.โHati-hati yaโฆ cucu Kakek!โ seru Richard, mengusap kepala Albern.โKalian jugaโฆ selamat bersenang-senang!โ ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.โKami pergi dulu, Pa.โ**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. โPapa punya ide,โ ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. โBagaimana kalau kita liburan bersama?โ Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. โLiburan, Pa?โ sahut Kay. Richard mengangguk semangat. โIya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. โAh, ma- maaf. Maaf,โ ucap Kay. โYa?โ sahut Livy dengan nada bertanya. โKalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.โ Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. โYa, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,โ ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. โYaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,โ lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. โKamu juga,โ balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.โKay?โ Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. โAkuโฆ juga haus,โ katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. โMakasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamuโฆโ ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. โKay,โ sapanya.โPapa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?โ tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.โPapa? Kenapa pergi?โ tanya Livy.โKan tadi sudah? Sekarangโฆ giliran kalian bertiga!โ ucapnya tersenyum semangat. โRapat-rapat!โ ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. โSekarang, giliran kita berdua, Pa.โAda rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlaluโฆ sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
โMau?โ tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.โAda-ada saja!โ celoteh Livy pelan.โAku cuma bercandaโฆโ ucap Kay.โPapa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?โ cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.โSanggup! Mau coba?โ balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. โKamu cantik kalau lagi marah,โ ucapnya.โYa! Aku tahu!โ balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac