Jam dinding menunjukkan pukul 2 lewat lima belas menit. Cahaya redup dari lampu tidur memantul lembut di dinding kamar yang hangat. Bayi kecil dalam box bayi yang langsung menyambung ke tempat tidur, menggeliat pelan, mengeluarkan suara rengekan lirih yang membuat Livy segera terbangun. Ia mengerjapkan mata, mengatur napas, lalu dengan sabar duduk meraih anaknya dan menyusui buah hatinya yang baru lahir.Suasana hening. Hanya terdengar suara napas bayi yang perlahan tenang saat menemukan kehangatan ibunya.Selesai menyusui, Livy membenamkan hidungnya di rambut bayinya, menciuminya dengan lembut. Lalu, setelah memastikan si kecil tidur lagi, ia membaringkannya kembali ke boks bayi tepat di sisi tempat tidur. Tapi matanya belum ingin terpejam.Dia menoleh ke sisi lain tempat tidur. Di sana, Albern masih terlelap, tidur miring menghadap dirinya. Kedua tangannya seperti ingin merangkul, walau tubuh mungil itu masih terlalu kecil untuk dipeluk. Livy tersenyum haru, lalu membungkuk memeluk
Beberapa hari kemudian, Livy akhirnya pulang dari rumah sakit.Langit siang itu cerah. Matahari tidak terik, tapi cukup hangat untuk menyambut kedatangan ibu dan bayi dari sebuah perjalanan berharga. Kay yang menggendong bayi mereka, membuka pintu mobil pelan-pelan, sementara Livy turun perlahan dibantu Bibi Eden. Tak ada yang lebih melegakan selain menginjak pelataran rumah dengan status baru, sebagai ibu dari dua anak.Tapi mereka tidak menyangka, di depan rumah ternyata sudah dipenuhi dengan rangkaian bunga dan ucapan selamat. Dari kolega-kolega Kay, rekan bisnis, hingga beberapa nama yang tidak mereka duga, termasuk dokter yang menangani kehamilan dan persalinan Livy, hingga dari pihak rumah sakit.Livy menatap kagum. Dia menatap Kay yang kini berdiri di sampingnya, sambil menggendong bayi kecil mereka. Kay membalas tatapannya dengan senyuman hangat, lalu merangkulnya pelan.“Kay… ini banyak sekali...” bisik Livy lirih.Kay hanya mengangguk. “Mereka semua ikut senang. Kita sudah m
Pagi mulai menyingsing di balik tirai rumah sakit. Sinar lembut matahari menyusup perlahan ke ruang rawat yang masih dipenuhi kehangatan dan sisa-sisa tangis haru. Livy membuka mata dengan senyum yang masih samar, tubuhnya lelah tapi wajahnya damai. Dia menoleh ke samping dan menemukan Kay masih duduk di sana, menggenggam tangannya erat, seolah tak ingin melepas walau sedetik.Mata mereka sama-sama menatap ke arah bayi mereka yang berada di tempat ranjangnya. Bibir mereka tersenyum.“Kamu masih lelah Sayang, tidak apa lanjut istirahat. Biar aku yang menjaga anak kita dan kamu,” ucap Kay.“Albern… bagaimana?” tanya Livy pelan, suaranya masih serak karena efek obat bius dan kelelahan luar biasa.Kay menatapnya, tersenyum, lalu mengangguk. “Bentar ya, aku hubungi Bibi Eden.”Dia meraih ponsel, melakukan panggilan. Tak butuh waktu lama sebelum suara lembut Bibi Eden menyahut di ujung sana.“Bibi, anak kita sudah lahir. Dia dan Livy sehat,” kata Kay dengan nada haru.“Wah! Terima kasih Tuh
Beberapa hari dari hari tersebut, di suatu malam, dini hari, Livy merasa perutnya mules. Dia terbangun dan memegangi perutnya. Rasanya begitu sakit.“Kay! Ka- Kay!” panggilnya pelan, menahan sakit.Untungnya Kay yang selalu siaga sejak awal, membuat alam bawah sadarnya cepat membangunkannya.“Sayang? Kamu kontraksi?” tanyanya.Matanya melirik jam di atas nakas. Menunjukkan pukul 3 pagi.Livy mengangguk, bibirnya bergetar. “Sakit sekali… lebih dari waktu aku melahirkan Fabian…”Kay melompat dari tempat tidur.“Tenang… aku di sini, Sayang… Aku akan siapkan semuanya. Kamu tahan, ya?”Namun Livy menggeleng pelan. Wajahnya mulai dipenuhi air mata. Ia mencengkeram lengan Kay sekuat tenaga saat kontraksi berikutnya datang menyerang. Tubuhnya ingin melengkung menahan nyeri. Rintihannya lebih terdengar seperti tangis.“Aku takut… Kay, aku takut…,” bisiknya.Kay menahan napas. Suara Livy terdengar seperti perempuan yang sedang kehilangan harapan. Ia kembali duduk di sisi ranjang, merangkul Livy
Beberapa Minggu kemudian…Pagi itu setelah selesai sarapan, suasana rumah masih tenang. Albern baru saja dibawa Bibi Eden ke ruang bermain, sedang Livy menuju kamarnya. Ia ingin kembali istirahat karena tidak banyak lagi aktivitas yang bisa dia lakukan. Tapi Livy justru sibuk merapikan beberapa barang di dekat lemari, perutnya yang besar membuat gerakannya lambat, tapi penuh semangat.Kay muncul dari kamar mandi dengan handuk masih tergantung di bahunya. Ia mengerutkan dahi melihat Livy membungkuk-bungkuk, lalu dengan cepat menghampiri.“Sayang… bukannya kamu tadi mau istirahat?” Kay memegang lengan Livy pelan, membantunya berdiri tegak.Livy terkekeh. “Aku kepikiran koper untuk lahiran. Kita belum selesaikan persiapannya. Kamu sudah selesai mandi? Hari ini ke kantor kan?” tanya Livy.Kay menatap wajah istrinya yang lelah tapi bersinar itu. Ia mengangguk, lalu mengecup kening Livy. “Oke, kita siapkan sekarang. Tapi kamu duduk saja, aku yang ambil barang-barangnya. Hari ini aku tidak k
Setelah kesibukan dan keharuan ulang tahun Albern, suasana rumah kembali tenang dan nyaman. Dipenuhi kehangatan yang sederhana namun selalu ada momen yang membekas, memancing tawa.Sore ini Livy duduk bersandar di sofa ruang keluarga, mengenakan daster tipis berwarna pastel. Perutnya yang sudah semakin besar tampak begitu mencolok, bergerak-gerak pelan saat si kecil di dalam sana menendang ringan dari balik rahim.Kay duduk bersila di lantai, dengan laptop terbuka di hadapannya, menampilkan daftar panjang nama-nama bayi laki-laki yang sudah mereka susun bersama selama seminggu terakhir.Di samping Livy, duduklah Albern. Bocah kecil itu tampak antusias. Tangannya sesekali mengelus perut ibunya, sesekali pula menyender manja pada lengan Livy. Ia juga sudah mengenal dan merasakan gerakan calon adiknya. Dia sangat semangat!“Oke, kita mulai ya,” ucap Kay dengan nada formal yang sengaja dibuat lucu. “Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Pemilihan nama untuk adik Albern!”“Yeay!” Albern berser