Share

33. Memantau CCTV

Penulis: desafrida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 15:31:50

“Ke- kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Kay, bingung. Ia heran kenapa Jenna bisa kepikiran seperti itu. ‘Apa aku terlihat seperti itu?’ batinnya pula.

“Sudahlah. Ayo masuk.” Kay merangkul Jenna yang sedang menggendong Albern.

Livy menoleh pada mereka dan Merry memperhatikan Livy.

“Bu Livy… Entah kenapa aku merasa, aku masih melihat cinta di mata Ibu untuk Tuan Kay. Aku berharap keajaiban terjadi di antara kalian. Albern butuh Ibu, bukan Nyonya Jenna.” Merry menyentuh bahu Livy dan mengusapnya.

Livy tersenyum simpul mencoba kuat. Ia terharu dengan ucapan Merry yang akhirnya membuat air matanya kembali menetes.

Akhirnya Merry pun pergi.

Livy kembali masuk ke dalam rumah. Rasanya seperti ada yang kurang. Dia akan merawat Albern sendirian. Albern benar-benar menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya.

‘Walau tidak ada suster Merry, Ibu janji akan tetap menjaga Albern sepenuhnya,’ batin Livy.

“Livy? Merry sudah pergi?” tanya Richard, yang melihat Livy masuk ke dalam rumah.

Livy men
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   152. Hickey Jadi Masalah

    “Ya, aku tidak menyangka kamu sanggup puasa sampai berminggu,” bisik Livy.Kay memejamkan matanya. Ia menekan pelipisnya. “Tak ada hasrat untuk menghadapi sakitnya kehilangan,” ucapnya.“Sekarang?” tanya Livy, menghibur suaminya itu.Kay menatapnya. “Kalau boleh…”“Asal tidak berhenti di tengah jalan,” pancing Livy. Dia memang sengaja menggodanya. Sejenak untuk menghibur suaminya dan mengalihkan kesunyian yang sudah seminggu mengurung mereka.“Kau menantangku?” tanya Kay geram namun gemas.Livy terkikik saat Kay memeluk perutnya kuat agar tidak ada celah di antara mereka.“Justru kamu yang harus menjaga suaramu, Sayang! Jangan sampai menjerit kalau belum mencapai puncak!” gumamnya.“Kay…!” teriak Livy saat suaminya itu langsung mengentak tubuhnya dan mengangkatnya sehingga dia berada di atas tubuh Kay.“Aku

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   151. Di Kamar, Saling Menguatkan

    Sudah seminggu sejak kepergian Richard. Rumah itu tak lagi sama. Tentu saja tidak akan pernah lagi sama.Hening dan sunyi menyelimuti tiap sudut, seakan ikut berduka bersama mereka. Meja makan yang biasanya riuh oleh candaan dan suara batuk ringan Richard, kini lebih banyak diisi oleh diam dan tatapan kosong.Albern sering kali bertanya, “Kakek mana?”Pertanyaan itu terdengar setiap pagi dengan mata polos dan penuh harap. Anak kecil itu seakan lupa kalau kakeknya sudah tidak ada. Setiap kali itu pula, hati Livy terasa terkoyak. Terlebih Kay. Mereka hanya bisa memeluk Albern erat dan menjawab pelan, “Kakek sudah istirahat panjang di tempat yang sangat damai.”Hari-hari mereka tetap berjalan, meski terasa lebih lambat dan berat. Namun, di balik kesedihan yang menyelimuti, hubungan Kay dan Livy justru semakin erat. Ada keheningan yang dipenuhi perhatian kecil. Tatapan yang lebih dalam, pelukan yang lebih lama dan percakapan yang tak terlalu banyak, tapi penuh makna.Malam itu, setelah Al

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   150. Meragukan Albern?

    Rumah yang selama ini terasa hangat kini terasa begitu hening. Langit mulai mendung, seolah ikut merundung kesedihan yang menggantung di setiap sudut ruangan. Tak ada lagi suara batuk pelan Richard dari kamarnya.Albern pun tak terdengar tertawa lagi di sore menjelang malam itu. Yang biasanya akan disambut dan dibalas oleh tawa Richard yang merasa lucu melihat tingkah lucu cucunya.Setelah rumah benar-benar sepi, Kay menutup pintu perlahan. Mereka mandi, membersihkan diri namun masih memeluk kehilangan.Makan malam kali itu tak terasa nikmat. Kursi paling ujung, bagian kepala meja makan, sudah kosong. Tak ada lagi Richard di sana. Kay menunduk, mencoba kuat di hadapan istri dan anaknya.“Kakek!” tunjuk Albern menatap kursi yang biasa Richard duduki.Tangis Kaay pecah. Dia memeluk anaknya.“Kakek sudah tidak ada, Al. Tapi ya, Kakek akan tetap ada di hati Albern. Di sini.” Kay menunjuk dada anaknya. “Di hati Papa dan Mama. Kakek akan ada di ingatan kita, selamanya,” isaknya.Livy pun ta

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   149. Momen di Pemakamaan

    Tubuh Kay bergetar hebat saat dia menunduk menutup wajahnya. Dia menekan kepalanya sambil menatap wajah Richard yang telah pucat. Isak tangis perlahan lepas dari mulutnya.Livy menggenggam tangan Richard erat-erat, tubuhnya berguncang.“Papa... ya Tuhan...,” lirihnya, suaranya pecah. Meski sudah lama dalam kondisi takut menghadapi hari itu, tetap saja mereka tidak akan pernah siap.Livy berjalan, dia berdiri di belakang Kay yang menahan sesak di dadanya.Kay juga sudah tahu hari ini akan datang, namun rasanya tetap menyesakkan. Wajah Richard tampak damai, seakan tak ada penderitaan. Tapi justru itu yang membuat dada Kay semakin berat. Karena ketenangan itu adalah kepergian.Tangis Livy semakin keras. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Kay. Keduanya berharap semoga semua hanya mimpi. Berharap keajaiban datang, dan Richard kembali membuka mata.“Papa... jangan tinggalin kami... aku... kami butuh Papa... Albern butuh Papa…” pinta Kay.Dan seolah semesta ikut menangis. Albern terbangun.

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   148. Napas Terakhir, Sudah Pergi

    Pagi itu, cahaya matahari sudah terang. Menyusup lembut melalui tirai kamar yang belum tidak tertutup sepenuhnya. Suasana jelas sudah cukup sibuk dari dapur.Di ranjang, Kay terbangun lebih dulu. Ia menoleh, melihat Livy masih terlelap di sampingnya, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum. Mengingat sepintas kehangatan malam yang begitu dirindukan. Sebelum akhirnya meninggalkan tempat tidur, Kay mengecup pipinya pelan. Ia tak membangunkan istrinya.Kay turun dari ranjang dengan pelan, mengenakan pakaian seadanya, lalu ke kamar mandi. Setelahnya dia keluar kamar. Di lantai bawah, suara langkahnya memantul pelan pada ruang yang mengarah ke kamar Richard.“Pagi Tuan…” sapa Bibi Eden, yang terlihat baru dari kamar Richard.“Pagi Bi… Albern sudah bangun?” tanya Kay.“Belum Tuan…” sahut si Bibi.“Kalau sudah, tolong bawa ke aku ya, Bi. Mamanya masih tidur,” jelas Kay.

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   147. Malam Penuh Kerinduan

    Sudah seminggu Richard dirawat inap di rumah sakit. Dan setiap hari, wajahnya terlihat semakin jenuh. Kondisinya stagnan.Ia terlihat jenuh karena suasana rumah sakit yang begitu asing dan kaku. Livy sering menangkap pandangan kosong dari mata Richard ke arah jendela, seakan menghitung waktu yang terbuang.“Paa?” Livy menyapanya.“Livy… Papa ingin pulang…” ucap Richard.Livy terdiam. Pulang yang Richard ucapkan seakan bermakna lain.Kay dan Livy yang baru datang membawakan makanan rumah seperti biasa, membuat Richard menatap mereka bergantian. Menghela napas dalam-dalam. “Aku ingin pulang,” katanya pelan, tapi nadanya tak terbantahkan.Kay langsung menoleh. “Tapi Papa, di sini ada alat dan perawat…”“Aku tidak ingin menghabiskan waktuku di sini, Livy, Kay…” potong Richard lembut. “Aku ingin tidur di kamarku sendiri. Mendengar suara Albern berlarian di lorong rumah. Dan merasakan kalian ada di dekatku... bukan sekadar duduk di samping ranjang rumah sakit.”Kay hanya terdiam. Ia tahu it

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status