Rumah yang selama ini terasa hangat kini terasa begitu hening. Langit mulai mendung, seolah ikut merundung kesedihan yang menggantung di setiap sudut ruangan. Tak ada lagi suara batuk pelan Richard dari kamarnya.Albern pun tak terdengar tertawa lagi di sore menjelang malam itu. Yang biasanya akan disambut dan dibalas oleh tawa Richard yang merasa lucu melihat tingkah lucu cucunya.Setelah rumah benar-benar sepi, Kay menutup pintu perlahan. Mereka mandi, membersihkan diri namun masih memeluk kehilangan.Makan malam kali itu tak terasa nikmat. Kursi paling ujung, bagian kepala meja makan, sudah kosong. Tak ada lagi Richard di sana. Kay menunduk, mencoba kuat di hadapan istri dan anaknya.“Kakek!” tunjuk Albern menatap kursi yang biasa Richard duduki.Tangis Kaay pecah. Dia memeluk anaknya.“Kakek sudah tidak ada, Al. Tapi ya, Kakek akan tetap ada di hati Albern. Di sini.” Kay menunjuk dada anaknya. “Di hati Papa dan Mama. Kakek akan ada di ingatan kita, selamanya,” isaknya.Livy pun ta
Tubuh Kay bergetar hebat saat dia menunduk menutup wajahnya. Dia menekan kepalanya sambil menatap wajah Richard yang telah pucat. Isak tangis perlahan lepas dari mulutnya.Livy menggenggam tangan Richard erat-erat, tubuhnya berguncang.“Papa... ya Tuhan...,” lirihnya, suaranya pecah. Meski sudah lama dalam kondisi takut menghadapi hari itu, tetap saja mereka tidak akan pernah siap.Livy berjalan, dia berdiri di belakang Kay yang menahan sesak di dadanya.Kay juga sudah tahu hari ini akan datang, namun rasanya tetap menyesakkan. Wajah Richard tampak damai, seakan tak ada penderitaan. Tapi justru itu yang membuat dada Kay semakin berat. Karena ketenangan itu adalah kepergian.Tangis Livy semakin keras. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Kay. Keduanya berharap semoga semua hanya mimpi. Berharap keajaiban datang, dan Richard kembali membuka mata.“Papa... jangan tinggalin kami... aku... kami butuh Papa... Albern butuh Papa…” pinta Kay.Dan seolah semesta ikut menangis. Albern terbangun.
Pagi itu, cahaya matahari sudah terang. Menyusup lembut melalui tirai kamar yang belum tidak tertutup sepenuhnya. Suasana jelas sudah cukup sibuk dari dapur.Di ranjang, Kay terbangun lebih dulu. Ia menoleh, melihat Livy masih terlelap di sampingnya, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum. Mengingat sepintas kehangatan malam yang begitu dirindukan. Sebelum akhirnya meninggalkan tempat tidur, Kay mengecup pipinya pelan. Ia tak membangunkan istrinya.Kay turun dari ranjang dengan pelan, mengenakan pakaian seadanya, lalu ke kamar mandi. Setelahnya dia keluar kamar. Di lantai bawah, suara langkahnya memantul pelan pada ruang yang mengarah ke kamar Richard.“Pagi Tuan…” sapa Bibi Eden, yang terlihat baru dari kamar Richard.“Pagi Bi… Albern sudah bangun?” tanya Kay.“Belum Tuan…” sahut si Bibi.“Kalau sudah, tolong bawa ke aku ya, Bi. Mamanya masih tidur,” jelas Kay.
Sudah seminggu Richard dirawat inap di rumah sakit. Dan setiap hari, wajahnya terlihat semakin jenuh. Kondisinya stagnan.Ia terlihat jenuh karena suasana rumah sakit yang begitu asing dan kaku. Livy sering menangkap pandangan kosong dari mata Richard ke arah jendela, seakan menghitung waktu yang terbuang.“Paa?” Livy menyapanya.“Livy… Papa ingin pulang…” ucap Richard.Livy terdiam. Pulang yang Richard ucapkan seakan bermakna lain.Kay dan Livy yang baru datang membawakan makanan rumah seperti biasa, membuat Richard menatap mereka bergantian. Menghela napas dalam-dalam. “Aku ingin pulang,” katanya pelan, tapi nadanya tak terbantahkan.Kay langsung menoleh. “Tapi Papa, di sini ada alat dan perawat…”“Aku tidak ingin menghabiskan waktuku di sini, Livy, Kay…” potong Richard lembut. “Aku ingin tidur di kamarku sendiri. Mendengar suara Albern berlarian di lorong rumah. Dan merasakan kalian ada di dekatku... bukan sekadar duduk di samping ranjang rumah sakit.”Kay hanya terdiam. Ia tahu it
Beberapa hari setelah pembagian warisan itu, Richard kembali masuk rumah sakit. Sudah tiga hari dia menjalani perawatan intensif. Sejak gejala sesak napas dan batuk berdarahnya memburuk, dokter menyarankan rawat inap penuh dengan pengawasan khusus. Usianya yang sudah lanjut, ditambah riwayat penyakit jantung dan paru-paru membuat kondisinya semakin rentan.Kay hampir tak pernah meninggalkan kamar rawat itu. Dia menunggui ayah mertuanya dengan sabar, menggantikan handuk di dahinya, memijat jemari tuanya, hingga sekadar mengusap pelipisnya saat Richard tertidur.Livy pun tak tinggal diam. Meski harus tetap mengurus Albern dan memperhatikan Kay, ia tetap mengunjungi rumah sakit bersama Albern, tak pernah absen. Menurutnya salah satu kekuatan Richard adalah kebersamaan mereka, terkhusus cucunya, Albern.Albern yang masih terlalu kecil belum sepenuhnya mengerti mengapa kakeknya tidak bisa pulang ke rumah. Namun ia tetap mengajaknya bermain, berbicara banyak hal sebanyak kat yaang sudah bis
Seperti yang Livy inginkan, Kay sudah tidak membahas soal kehamilan lagi. Suaminya itu kini sudah fokus pada kesembuhan Richard. Mereka berdua sama-sama khawatir pada keadaan Richard.Kay bahkan setia menemani Richard keluar masuk rumah sakit untuk check up. Livy menyimpan rasa bangga pada Kay, meskipun rasa khawatir pad Richard jauh lebih besar.Beberapa hari berlalu, kondisi Richard terlihat stagnan, walau dia selalu mengatakan kalau dia merasa sudah jauh lebih baik. Setiap hari dia berkata seperti itu. Dia juga tidak menunjukkan sakitnya di depan cucunya. Momen bersama Albern adalah kebahagiaan yang membuatnya masih bisa terkekeh lepas.Hingga di suatu sore, suasana rumah tenang seperti biasanya. Livy sedang menyuapi Albern dengan potongan buah, sementara Kay duduk santai di sebelah mereka, membaca laporan ringan dari ponselnya. Namun, tiba-tiba Richard yang juga duduk di sana, membuka suara.“Ada yang ingin Papa bicarakan,” katanya pelan, tapi serius.Kay dan Livy saling menatap,