“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.”
Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya. “Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu. “Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!” Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak. Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang terjalin selama 2 tahun itu kandas karena ayah Livy tidak memberikan restu. “Maaf, Kay, aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita.” Saat itu, tubuh Livy menahan gemetar. Dia bahkan tidak berani menatap mata Kay yang tajam dan terluka. “Aku… tidak mencintaimu. Dan lagi, benar kata Papa, kamu hanyalah pria biasa yang tidak punya apa-apa. Aku tidak bisa hidup susah, Kay. Untuk itu, aku akan menikah dengan pilihan Papa.” Livy mengingat dengan jelas bagaimana hubungannya berakhir dengan Kay detik itu juga. Sama seperti dirinya tadi, pria itu juga berlutut, memohon dan menangis kala itu, tetapi dia tetap berlalu pergi. Mengingat hal menyesakkan itu membuat air mata Livy menetes lagi. Dia sadar, mungkin inilah karma dari perbuatannya di masa lalu. Namun, kebingungan kembali menderanya. “Ke mana aku harus mencari pekerjaan lain?” Sementara itu, usai Livy pergi, keadaan rumah Kay terpantau riuh. Albern menangis keras tepat satu jam setelah bayi itu tertidur nyenyak usai disusui. Dokter dan perawat bergantian memastikaan Albern tidak punya masalah pada popok, juga bajunya. Namun, bayi itu terus menangis dan bergerak-gerak gelisah, membuat perawat dan dokter jadi tidak tega. “Sepertinya Baby Al sudah lapar lagi, Tuan,” jelas suster pada Kay yang kini juga terlihat frustrasi. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. “Hubungi calon ibu susu yang lain untuk segera datang dan mencoba!” jelasnya. Sayangnya, sudah beberapa wanita yang datang dan mencobanya, namun hasilnya tidak ada yang bisa Albern terima. Akibatnya, bayi itu masih terus menangis hingga suaranya serak. Albern memiliki alergi pada susu sapi. Tubuh bayi itu akan merah dan gatal-gatal jika diberikan susu formula. Sedangkan susu soya pun dia tidak terlalu menyukainya. Karena itu, bayi itu terus mencari ibu susu untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya. Melihat kondisi sang anak yang semakin tidak terkontrol, juga dokter dan perawat yang sudah kebingungan, Kay pun tak punya pilihan. Dia yang tidak tega melihat anaknya mengamuk karena haus akhirnya menurunkan sedikit egonya. "Hubungi wanita itu sekarang. Tanyakan alamatnya dan jemput dia segera!” *** "Benarkah Kay sudah menyetujuinya??" Livy yang saat itu tengah berada di rumah sakit karena menemani Fabian, tentu saja terkejut. Akan tetapi, dia juga tampak senang. Segera, usai memastikan anaknya kenyang, Livy kembali ke rumah Kay dengan sopir yang diminta menjemputnya. Benar saja, begitu Livy tiba, suara tangis Albern masih terdengar. Semakin pilu, sebab anak itu terlihat sudah begitu marah dan haus. Wajah bayi tampan itu bahkan memerah dan nyaris membiru. Cepat-cepat, Livy menggendong Albern dan menyusuinya. Tidak henti-hentinya juga Livy membisikkan kata-kata lembut yang penuh pengertian, seolah meminta Albern untuk tenang. “Sayang, Baby Al, tenanglah… Ibu Susumu sudah di sini. Al bisa minum sepuasnya.” Melihat sendiri bagaimana sang anak nyaman disusui Livy, di situlah Kay terdiam. Pria itu meninggalkan, memutus tatapannya dari Livy yang tengah menyusui Albern. Dia menghampiri dokter dan perawat bayinya lalu berkata, “Berikan kontrak kerja untuknya. Dia diterima sebagai Ibu Susu untuk Albern.” Bersambung…Setelah penantian panjang. Hari itu datang juga. Matahari bersinar lembut ketika Livy terbangun dengan rasa yang tak asing namun tetap menggetarkan, kontraksi. Namun, ia dan Kay tetap tenang. Tak ingin membuat anak-anak kepikiran dan ikut panik.Sampai mereka berangkat ke sekolah, barulah Kay memanggil Bibi Eden, dan dalam waktu singkat mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.Prosesnya tak seberat yang dulu, tapi Livy tetap memeras tenaga dan air mata untuk menghadirkan buah hati mereka ke dunia. Kay menggenggam tangannya erat, mencium keningnya berulang kali dan membisikkan dukungan. Penuh cinta. “Kita akan segera bertemu dengan putri kecil kita…”Dan akhirnya, suara tangis nyaring pecah di ruang operasi bersalin. Seorang bayi mungil dengan pipi kemerahan dan rambut hitam lebat lahir dengan sehat. Dokter mengangkatnya, menunjukkan pada Livy dan Kay yang sudah berlinang air mata. “Selamat, anak perempuannya sehat,” ucap sang dokter.Kay tersenyum lega, menatap Livy yang juga men
Kay berdiri di ambang pintu kamar matanya bertemu dengan Livy yang sedang bersandar di sandaran tempat tidur. Wajah istrinya itu tampak lelah, namun tetap bersinar. Senyuman lembut tersungging di bibirnya begitu melihat Kay muncul.“Kamu ya?” ucap Kay menggoda. “Sudah sakit, masih saja menggoda. Masih saja tersenyum.”Kay terkekeh. Dia menghampiri, duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya. “Sudah sarapan?” Tangannya mengusap pipi Livy dengan lembut. “Aku sudah pulang, ayo kita ke rumah sakit.”Livy mengangguk pelan. “Aku sudah makan, kok. Tapi… sebelum kita pergi, ada sesuatu yang ingin aku berikan ke kamu dulu.”Kay mengernyit. “Apa Sayang?” tanyanya dengan mata menyipit penuh tanya.Livy tersenyum penuh misteri. “Ambil deh sesuatu di laci nakas. Di dalam kotak obat.”Kay pun bangkit, membuka laci kecil di samping tempat tidur. Ia melihat sebuah kotak obat mungil dan mengangkatnya. Saat dia hendak bertanya lagi, Livy hanya menunjuk, menyuruhnya membuka sendiri.Deng
Waktu berjalan, hari berganti.Di suatu pagi, berbeda dari biasanya. Rumah yang biasanya dipenuhi keceriaan Livy dan langkah sibuknya menyiapkan sarapan, kini terasa sedikit hening. Livy masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya terasa lemas sejak dini hari. Ia sempat bangun untuk memastikan anak-anaknya siap, tapi Kay memintanya untuk tetap beristirahat.“Aku akan urus semuanya,” ucap Kay seraya menyelimutinya lebih rapat. “Kalau masih belum enak badan, nanti aku bawa ke dokter.”Livy hanya mengangguk pelan. Wajahnya sedikit pucat, dan napasnya terdengar berat, meski ia terus memaksakan senyum agar tidak membuat Kay khawatir. Tapi Kay tahu—istrinya itu sedang tidak baik-baik saja.Kay pun turun ke bawah, memastikan semuanya siap. Bibi Eden sudah mengambil alih dapur dan menyajikan sarapan untuk mereka.“Bi… tolong bantu anak-anak, ya?” ucap Kay.“Bagaimana kabar Nyonya Livy, Tuan?”“Mudah-mudahan baik-baik saja. Mungkin butuh istirahat lebih,” jawab Kay.Albern yang kini duduk di kel
Kay masih tergelak, namun ia kembali mengalihkan pandangannya pada Albern. "Tapi Alice memang cantik, ya?" godanya lagi, mencoba memancing reaksi putranya. Albern hanya diam, sibuk mengunyah makanannya. Elian yang melihat kakaknya bungkam, langsung meledek. "Cieee, Kakak Albern malu-malu mau ngaku!" Livy tersenyum melihat interaksi mereka. Ia memutuskan untuk menengahi. "Berteman baik sama orang yang baik itu sangat boleh, kok. Mau laki-laki ataupun perempuan, yang penting kalian harus tetap fokus belajar, ya? Kalian masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan." Livy memberikan nasihat dengan lembut. “Iya Ma. Nih si Dino banyak bicara!” gumam Albern menatap adiknya kesal. Elian pun hanya tertawa. Kay yang tampaknya terinspirasi dari percakapan itu, tiba-tiba melontarkan pertanyaan. "Oh ya, kalau semisal kalian punya adik perempuan, bagaimana?" Albern langsung menatap ayahnya datar, ekspresinya sulit dibaca. Sementara Elian menjawab cepat dan penuh semangat, "Mauuuu!" Albern kemudi
Langit di luar jendela mulai bersemburat jingga, perlahan berubah menjadi gelap. Lampu-lampu di dalam rumah sudah dinyalakan, memancarkan kehangatan. Di ruang tamu, tawa renyah Alice dan teman-teman Albern mulai terdengar, menandakan bahwa tugas kelompok mereka akhirnya selesai.Albern muncul di dapur, di mana Livy dan Bibi Eden sedang sibuk menyiapkan makan malam. Aroma masakan yang sedap memenuhi ruangan. Livy sedang mengaduk sayur di wajan, sementara Bibi Eden sibuk memotong-motong bahan."Ma," panggil Albern, suaranya sedikit lega. "Tugasnya sudah selesai. Teman-temanku sudah mau pulang," ucapnya.Livy menoleh, tersenyum melihat putranya. "Oh, sudah selesai? Baguslah," katanya. "Sebentar ya, Mama panggil Papa dulu,” ucapnya.“Tidak usah, Ma. Mama saja,” ucap Albern.“Kenapa?” tanya Livy.“Papa rese!” jawab Albern pelan.Livy pun terkekeh. Dia langsung merangkul bahu Albern, untuk melangkah menemui teman-temannya. "Baiklah, baiklah. Kalau gitu, ayo kita temui teman-temanmu."Saat L
Livy tersenyum tipis, matanya lekat mengamati Albern, putra sulungnya, yang sedang serius dengan kerja kelompok. Suasana di antara Albern dan teman-temannya agak canggung, terutama saat Alice, teman perempuannya yang tampak paling dominan, mulai menjelaskan tugas mereka. Albern terlihat tenang, sesekali mengangguk, namun Livy bisa melihat ada sedikit kegugupan yang coba disembunyikan putranya.Ketika Alice tiba-tiba menyebut nama Albern dan mengajukan pertanyaan, Livy melihat bahu putranya sedikit menegang. Albern menjawab dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya, sesekali melirik Alice lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Rasanya lucu melihat putra remajanya yang biasanya tegas dan berani mendadak jadi salah tingkah.Tiba-tiba, sebuah suara kecil mengagetkan Livy. Elian, sudah berdiri tepat di belakangnya, entah sejak kapan. "Mama sedang apa?" bisik Elian, membuat Livy sedikit terlonjak.Livy menoleh sambil tersenyum. "Eh, kamu. Mama lagi lihat Kak Albern kerja kelompok,"