Share

Ketika Mas Gagah Tiba
Ketika Mas Gagah Tiba
Penulis: Nendia

Mas Gagah 1

LAMARAN MAS GAGAH YANG TIBA-TIBA MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRIKU.

KETIKA MAS GAGAH TIBA 1

"Kamu itu Andin, hidup gak ada yang bisa dibanggakan, lihat tuh adikmu. Sekolah berprestasi. Dapat kerjaan bagus. Upah gede. Sekarang mau dilamar orang kaya. Lah, kamu kok blangsak banget. Sekolah gak bener. Kerja cuma jadi pelayan, cowok malah gak punya sama sekali."

Wanita yang menjadi ibu tiriku itu terus mengoceh sambil melipat tangan di dada. Berdiri di tengah dapur sambil mengawasi para tetangga yang membantu masak-masak. Dari tadi dia terus membandingkan aku dengan anaknya.

Dia tak salah bicara. Hidupku memang sebelangsak ini. Wajar, dari sejak kecil aku cuma dapat perhatian sisa.

Ibuku meninggal sejak aku kelas 4 SD. Setahun kemudian, bapak menikah lagi dengan Bu Sumarni, wanita yang masih satu kampung dengan kami. Bu Sumarni punya anak perempuan yang usianya beda setahun di bawahku.

Dulu, aku juga berprestasi di sekolah. Tapi sejak punya ibu tiri, nilai-nilaiku anjlok. Bagaimana tidak, aku seperti tidak diberi kesempatan belajar. Pagi-pagi harus beres-beres rumah dulu baru sekolah. Pulang sekolah juga masih ditunggu pekerjaan rumah.

Aku disekolahkan di sekolah biasa. Sementara anak Bu Sumarni disekolahkan di sekolah unggulan. Aku tidak diperbolehkan lanjut kuliah. Sementara adik tiriku dikuliahkan di kota. Pake uang bapakku tentunya.

Lelaki kalau sudah punya istri baru, suka lupa sama anak, begitu kata orang. Seperti itu tampaknya yang terjadi pada bapakku. Dia seperti lupa kalau aku anak kandungnya sendiri. Yang diprioritaskan malah anak tirinya bukan aku.

"Belum mungkin, Bu Sum. Siapa tahu nanti Andin diambil orang kaya." Mbok Diah–tetanggaku yang baik hati menimpali.

"Mana ada lelaki kaya yang mau, Mbok. Lihat saja penampilannya begitu. Gak bisa ngurus diri. Paling laku sama Si Burhan tukang ojek. Enggak ada baik-baiknya. Minimal jadi anak itu bisa balas budi. Ini cuma nyusahin saja dari kecil."

Sakit sebenarnya aku mendengar ini. Terus saja dibandingkan depan tetangga. Ngungkit-ngungkit juga seolah aku dirawat dan diakui sebagai anak. Padahal hanya dijadikan pembantu.

Aku tidak bisa melawan. Untuk mengabaikan ocehan ibu tiri, aku mencoba budeg. Melampiaskan rasa sakit dengan mengangkat sekarung kentang dari gudang. Kugendong benda ini dengan susah payah.

Terlalu besar menyimpan dongkol dalam hati, langkahku jadi tergesa tidak jelas. Beban yang berat membuatku oleng dan terjatuh. Tersungkur dekat kaki ibu tiri. Karung kentang sobek dan membuat benda bulat itu bergelindingan ke mana-mana.

"Andini...! Ya ampun, kerja begitu saja tidak becus!"

Aku segera mengumpulkan kentang-kentang yang berserakan.

"Sudah, Din, sudah tidak apa-apa." Beberapa tetangga membantu mengumpulkan kentang.

"Emang kamu gak bisa apa-apa."

Aku menunduk menahan air mata sambil terus mengumpulkan kentang. Lalu mengambil pisau untuk mulai mengupasnya.

"Hih, baru juga diomong. Bereskan semuanya!" Bu Sum balik kanan. Pergi meninggalkan dapur.

Aku terus menunduk sambil mengupas kentang. Air mata mulai menggumpal di pelupuk. Kuusap dengan tangan yang bergetar.

"Tidak apa-apa, Nduk. Tidak apa-apa." Mak Diah mengusap punggungku.

***

"Mbak Andin, sini!" teriak Wulandari dari kamar. Aku segera membersihkan tangan, lantas menghampiri adik tiriku.

Wanita berkulit putih itu sedang duduk di kursi depan meja rias seraya memainkan kuku.

"Ada apa, Wulan?"

"Mbak, tolong bersihin kuku kakiku dong. Sekalian pake kutek."

"Tapi Mbak masih masak, Wulan. Nanti ibu marah kalau Mbak tidak ada di dapur."

"Alah, bentar doang, kok. Cepet!"

Aku berpikir sejenak. Lalu melangkah mendekati Wulandari. Berlutut di hadapannya.

Wulandari menjulurkan kakinya ke pahaku. Menyodorkan gunting kuku dan alat-alat lain untuk membersihkan kuku. "Yang bersih, ya. Terus ini kuteknya yang rapi. Jangan sampe luber ke pinggir-pinggir."

Aku menghela napas. Lalu mulai meraih kaki Wulandari. Memotong kuku-kukunya yang panjang lalu mengikisnya.

Urusan dengan Wulandari tidak pernah simple. Dia sama seperti ibunya. Ribet dan bawel.

"Ya, ampun, Mbak. Udah kubilang jangan sampe luber masa gitu aja gak becus."

"Ini sedikit Wulan, nanti juga Mbak bersihkan."

"Tetap saja jelek. Masa gitu aja gak bisa. Atau sengaja biar aku kelihatan jelek di mata calon suami. Ngiri, ya, kamu Mbak!"

"Ya Ampun ini hanya kaki, Wulan. Tidak akan merusak penampilan."

"Cuma kaki kamu bilang?!"

"Andini...! Ke mana itu anak kerjaan kok ditinggal begitu saja," teriakan kembali terdengar dari dapur.

"Ingigih, Bu. Aku di sini."

"Kamu itu bagaimana sih? Pekerja kok ditinggal." Bu Sumarni sudah nongol di pintu kamar Wulandari. Tanpa dijawab sekalipun, dia harusnya sudah tahu apa yang sedang kulakukan.

"Sedang pakein kutek dulu, Bu."

"Cuma ngerusak kuku aku doang juga. Udah ah, sana aja sama Mama." Wulandari menarik kakinya.

"Kamu itu memang lambat. Cepat ke dapur! Kalau rombongan calon besan datang urusan makanan belum beres kamu yang tanggung jawab, Andin!"

Aku menunduk permisi melewati ibu mertua. Kembali ke dapur dan segera mengurus urusan masak-masakkan.

Acara pertunangan Wulandari diadakan setelah Asar. Jam dua siang, semua masakan sudah beres. Aku lanjut membereskan rumah. Merapikan tempat yang akan diduduki tamu.

Adzan Asar baru selesai. Langsung mandi dan shalat.

Bersamaan dengan selesainya ibadahku, rombongan calon tunangan Wulandari datang. Aku mengintip dari pintu dapur. Pria gagah itu turun dari mobil dengan menggunakan pakaian batik. Rambutnya mengilat rapi.

Ingatanku melayang pada kejadian beberapa tahun silam. Saat itu aku sedang berjalan kaki pulang sekolah. Tiba-tiba sebuah motor melaju pelan di sampingku.

"Hei, Burik!" Panggil si pengendara.

Aku menengok. Lelaki itu memakai baju SMA yang penuh dengan coretan. Dia baru saja merayakan kelulusan. Namanya Adhinata. Teman sekolahku di SD dulu. SMP dan SMA-nya tidak sama karena dia anak orang berada.

"Ih." Aku melengos. Kesal dengan panggilannya. Dari kecil dulu selalu memanggilku burik.

"Abis ini mau lanjut kuliah di mana?" tanyanya masih dengan mengendarai motor yang melaju pelan.

"Rahasia!"

"Pake rahasia segala. Aku mau lanjutin di kota."

"Gak nanya."

"Sombong kamu, Burik."

Aku tak menghiraukan ejekannya. Terus jalan tidak peduli.

"Heh, Burik. Heh...!"

"Apaan sih?"

"Aku cuma mau bilang. Jangan nikah sama orang lain, ya. Entar kalau aku sudah berhasil kita nikah."

Aku menengok mendengar kalimatnya. Berasa baru ditembak. Tapi Nata langsung tancap gas.

Entah serius atau tidak dia mengatakan itu. Tapi jujur, aku masih berharap sampai sekarang. Sayangnya, ternyata Nata cuma mengerjai. Lihat saja, sekarang dia datang ke sini untuk melamar Wulandari.

.

Semua tamu masuk. Mereka berbincang-bincang dengan Bapak, Ibu, dan juga Wulandari. Aku menata piring-piring di dapur sambil mendengarkan.

"Ndak nyangka loh, kita akan besanan, Jeng."

"Iya, loh, Jeng. Saya juga kaget, Nata ternyata suka sama putri njenengan."

"Anak muda kalau naksir tetangga memang gitu, suka diam-diaman."

"Kita maklum lah, Jeng. Dulu juga kita begitu. Kalau sama tetangga suka malu kalau sampai tak jadi."

"Nah, itu, Jeng."

"Tapi endak masalah kok, Jeng. Kebetulan Wulandari juga belum punya calon."

"Eh, kok, Wulandari?" kali ini suara laki-laki yang terdengar.

"Kenapa, Mas Nata?" tanya Wulandari.

"Aku ke sini bukan mau melamarmu, Wulan. Aku mau melamar Mbakmu. Andini Larasati."

Bersambung....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
waahh seruuu
goodnovel comment avatar
carsun18106
mak jleb ya mas nata
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
ibu tiri dan anaknya kandungnya bertingkah seolah mereka yg punya rumah..kasihan anak tiri..bapak kandungnya masa bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status