Share

Mas Gagah 2

Penulis: Nendia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-09 11:22:54

~LAMARAN MAS GAGAH YANG TIBA-TIBA,MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRIKU (2)~

#KETIKA_MAS_GAGAH_TIBA 2

"Aku ke sini bukan mau melamarmu, Wulan. Aku mau melamar Mbakmu. Andini Larasati."

Kalimat itu berhasil menghentikan gerak tanganku di piring. Aku mengernyit dan memasang pendengaran lebih jelas. Apa aku tidak salah dengar?

“Andin, dengar yang tadi dikatakan Nata. Dia bukan mau melamar adikmu, dia mau melamarmu.” Mbak Yuli yang ikut bantu memasak berbisik.

“Iya, Mbak. Aku dengar.”

“Kamu tahu kalau dia datang ke sini untuk melamarmu?”

“Tidak. Kemarin ibu bilangnya mau melamar Wulandari.”

“Sepertinya ada yang salah paham. Ayo menguping lebih dekat!”

Aku dan Mbak Yuli mendekati pintu. Mengintip dan menguping.

Di ruang tamu, banyak orang berkumpul, mereka terlihat saling lirik keheranan.

"Maksudmu apa, Nata?" tanya ibunya Nata.

"Aku ke sini mau melamar Andini, Bu. Bukan Wulandari."

"Apa?"

"Maaf sepertinya ada kesalahpahaman." Bapaknya Nata mengendalikan kondisi yang jadi serba salah.

Jantungku berdebar lebih cepat. Aku pasang telinga lekat-lekat. Melihat gerak bibir pria gagah yang berpakaian batik itu.

"Ibu bilang Nak Nata ke sini mau melamar Wulandari, kok sekarang jadi Andini. Memang bagaimana ceritanya?" tanya bapakku.

"Kemarin dia tanya-tanya tentang anakmu, Pak Galuh. Aku pikir Wulandari, katanya sudah janji mau menikahi."

"Anaknya Pak Galuh itu Andini, kan. Bukan Wulandari?" Nata yang duduk tegak itu mengernyit.

"Dua-duanya juga anak saya, Nak Nata."

“Iya, tapi maksud saya darah dagingnya Pak Galuh. Kalau saya berniat menikahi Wulandari kan bukan Pak Galuh yang jadi walinya. Lagi pula yang jadi Kakak itu Andini. Ibu nih mikirnya kejauhan.”

Kondisi malah semakin tidak jelas. "Maksudnya bagaimana? Coba ceritakan lebih jelas, Nata!" pinta ayah Nata.

Pria gagah itu memperbaiki duduk. Lalu menceritakan semuanya dengan rinci. Sepulang dari kota, dia bilang ke ibunya kalau ingin melamar anak Pak Galuh, mungkin maksudnya aku. Bu Hamidah langsung menyambut antusias dan menyambungkan rencana itu pada ibu tiriku. Ibu tiriku pun sangat bahagia. Bu Sum dan Bu Hamidah yang merempungkan semuanya. Namun, Bu Hamidah salah paham, dikiranya Wulan padahal aku.

"Aduh, malah jadi salah paham. Lagi pula kok kamu mau sama Andini, wong cantikan Wulandari. Sama-sama kerja di kota. Sama-sama sarjana."

"Wong saya sukanya sama Andini, gimana toh ibu ini."

"Ibu lebih setuju sama Wulandari, Nata."

"Ibu saja yang nikah sama Wulandari."

"Sudah lah, Wulandari saja. Andini hanya kuli pasar."

"Mboten, Bu. Aku dulu pernah janji sama Andini mau menikahinya."

Ibu dan anak itu malah berdebat. Seolah tidak menyadari kehadiran calon besan yang menatap bingung pada perdebatan mereka. Bu Sum dan Wulandari sampai ternganga tanpa berkedip. Aku juga sama.

"Jadi maumu apa, Nata?" tanya bapaknya Nata.

"Ya aku ke sini mau melamar Andini. Andini Larasati."

Mereka semua terdiam. Saling lirik keheranan.

"Andini ada, Pak Galuh?"

"A-ada. Tapi...."

"Tapi dia sudah dilamar orang lain. Kamu salah sangka kalau menganggap dia masih sendiri." Bu Sum yang tadi bicara ramah kini terdengar sangat ketus.

Aku meremas pakaian bagian dada. Dahi mengernyit tegang. Kenapa jawabannya begitu? Dilamar? Dilamar siapa? Padahal tadi dia yang bilang aku tidak laku. Aku menatap bapak. Berharap dia membelaku kali ini.

“Sudah dilamar? Oleh siapa?”

“Ada saja. Memangnya kamu harus tahu.”

“Bu…” Bapak memegang lengan Bu Sumarni.

“Diam saja kamu, Pak. Jangan banyak bicara! Yang sendiri di sini tinggal Wulandari. Kalau memang tujuanmu ke sini bukan untuk melamar Wulan, Monggo pergi saja!" Bu Sum melempar pandang judes. Terlihat kecewa pada keluarga Nata.

“Maaf Bu Sum. Nata sebaiknya kita bicara dulu!” Bu Hamidah mengajak Nata menjauh dari kerumunan. Mereka ke depan terlihat berjalan ke samping rumah. Aku segera ke pintu belakang untuk mencari tahu apa yang dibicarakan Nata dan ibunya.

Belum sempat menguping, lenganku ditarik oleh Bu Sum.

“Kamu mau mempermalukan Wulan!” Cengkeraman tangan Bu Sum terasa menancap kulit. Aku sampai meringis.

“Mempermalukan apa, Bu?”

Takut didengar orang lain, kami bicara pelan.

“Kamu pacaran sama Nata, hah! Tau dia ke sini mau melamarmu?”

“Enggak, Bu. Aku gak tahu.”

“Bohong, kamu!”

“Kamu jahat, Mbak.” Wulandari datang dan mendorong pundakku.

“Apa, Wulan?”

“Kamu mempermalukanku. Kamu merebut calon suamiku.”

“Aku tahu saja enggak, Wulan.”

“Bohong, Kamu!” Wulan berurai air mata. Dia mengusap air matanya dan memeluk ibunya. “Aku malu, Ma. Aku gak ikhlas kalau Mbak Andin nikah sama Mas Nata.” Wulan tersedu di dada ibunya.

“Heh, Andini!” Bu Sum kembali mencengkeram lenganku. “Kamu diam di sini dan jangan keluar. Kalau terpaksa keluar bilang sudah menerima lamaran orang lain!”

“Kenapa aku harus nurut? Bukannya tadi ibu yang bilang kalau aku tidak bisa dibanggakan. Sekolah tidak berprestasi, tidak punya kerjaan bagus. Enggak laku sama cowok cuma laku sama tukang ojek. Sekarang kalau ada laki-laki kaya mau melamarku kenapa harus kutolak. Bukanya ini bisa jadi pembuktianku untuk ibu? Bukannya ini sesuai kemauan ibu?”

Lenganku dicengkeram semakin keras. Kuku-kukunya terasa menancap. “Diam kamu!” Bu Sumarni melotot. “Nata hanya layak untuk Wulan, tidak layak untukmu.”

“Layak enggaknya biarkan Nata yang tentukan.”

“Lihat, Bu. Mbak Andin melawan. Aku gak rela kalau Mas Nata nikah sama Mbak Andin. Aku terlanjur jatuh cinta sama dia, Bu. Aku sudah terlanjur berharap dia jadi suamiku.”

“Lihat! Tega kamu menyakiti adikmu?”

Aku menepis tangan Bu Sum. “Sekarang biarkan aku menentukan hidupku sendiri, Bu.”

“Kurang ajar kamu, ya. Diam di sini!” Bu Sum dan Wulandari pergi. Lalu kembali dengan membawa bapak.

Aku menatap bapak dengan sorot permohonan. Berharap dia mementingkan kebahagiaanku kali ini.

“Lihat dia, Pak. Tak mau mendengarkan perkataanku. Wulan terlanjur jatuh cinta sama Nata. Tapi dia tetap mau menerima lamaran Nata.” Lapor ibu tiri.

“Ngalah ya, Andin!”

“Apa, Pak? Bapak bahkan gak nanya apa yang membahagiakan untukku. Yang anak bapak itu Wulan atau aku?”

“Wulan itu adikmu, Andin. Dia saudaramu. Ngalah ya. Bapak bisa carikan kamu jodoh yang lain.”

“Bukan masalah ngalahnya, Pak. Aku udah ngalah dari dulu. Minimalnya bapak itu tanya dong perasaan aku dan kemauan aku. Bukan main perintah begitu saja. Penting gak sih sebenernya aku buat bapak? Kenapa bapak selalu mementingkan kemauan Wulan. Aku yang darah daging bapak. Aku gak punya siapa-siapa lagi selain bapak.”

“Ih, ini anak. Semakin tidak tahu diri kamu. Seharusnya bersyukur kamu sudah kuakui seperti anak sendiri. Lihat tuh, Pak. Begini anakmu. Dia tidak pernah menganggap Wulan saudara. Padahal Wulan sudah mengakuinya sebagai kakak. Aku juga mengakuimu sebagai anak. Kamu diminta berkorban begitu saja masa tidak mau.”

“Bersyukur, Andin. Ada ibu yang mengakuimu, sekarang kamu dengar perintah bapak kalau masih mau diakui sebagai anak. Mengalah pada Wulan. Tolak lamaran Nata.” Bapak memasang wajah lebih serius. Lantas dia pergi dan diikuti istri dan anak tirinya.

Aku mengusap air mata. Patah hati paling parah yang pernah kurasakan adalah kehilangannya seorang bapak.

Dulu, bapakku sangat perhatian dan penuh kasih sayang. Saat ibu masih ada, dia selalu memanjakanku. Bahkan saat beliau menduda, kami hidup berdua dengan amat rukun. Kami saling mengisi diantara kekosongan tanpa adanya seorang ibu.

Sekarang, cinta ayah sudah direnggut seutuhnya oleh wanita lain. Tidak ada lagi sedikit pun tersisa untukku. Aku duduk di lantai dengan air mata yang terus berurai.

Beberapa menit berlalu, aku dipanggil untuk bergabung ke ruang tamu. Aku membersihkan air mata dan masuk pada perkumpulan dengan menunduk. Selain karena masih mengendalikan perasaan, aku juga malu karena memakai pakaian jelek dan tanpa riasan.

“Andini, ini ada Nak Adhinata datang untuk melamarmu,” jelas Bapak.

“Aku dulu pernah berjanji akan menikahimu kalau sudah berhasil, kan, ingat...? Bu Sumarni bilang kamu sudah ada yang melamar, benar?”

Bersambung….

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
yaa allah kasihan
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
ayah kandung,ibu tiri dan saudara tiri sangat jahat..pacar anak tiri juga mau direbut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.b

    Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 47

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.b

    "Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 45

    Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status