Share

BAB 3. Katanya Menjenguk, Tapi?

      Ketika Melahirkan di Rumah Mertua

BAB : 3

Katanya Menjenguk, Tapi?

***

"Mbak Andira, sudah ada Ibu. Saya permisi pulang dulu ya," ujar Mbak Winda. 

"Makasih banyak ya, Mbak. Entahlah, kalau gak ada Mbak Win gak tahu nasibku gimana. Cuma Mbak Win yang baik padaku saat ini," ucapku yang sengaja menyindir Ibu mertua. Entahlah, Ibu merasa atau tidak, mendengar ucapanku Ibu mertua mendelik matanya.

"Sekali lagi, maaf lo Mbak Win. Memang Andira ini sukanya ngerepotin orang terus. Padahal sudah tak bilangin belajar mandiri, eh, malah manggil Mbak Win di rumah!" ujar Ibu enteng. 

Sungguh, aku bingung dengan pemikiran Ibu mertua saat ini, kalau aku dianggap beban kenapa memintaku untuk melahirkan di rumahnya?  Kenapa tak membiarkanku dikontrakan saja, toh aku juga lebih senang tinggal di kontrakan ketimbang sama Ibu yang banyak huru hara.

"Ah, gak repot, Bu, justru saya senang bisa membantu Mbak Andira. Kalau gitu, saya permisi dulu ya, Bu," ujar Mbak Winda.

Namun sebelum Mbak Winda beranjak keluar, ia sempatkan untuk menengok bayiku sebentar lantas berlalu menuju keluar.

Lihatlah, Mbak Winda saja merasa sayang sekali dengan bayiku, padahal orang lain. Tapi melihat Ibu mertua yang seperti ini, sepertinya peduli dengan bayiku saja tidak. Padahal cucu kandungnya.

"Bu ini benar nama bayinya?" tanya Suster yang masuk ke ruanganku, lalu menyodorkan kertas bernama bayiku. Kania Dilbara, adalah nama yang kusematkan untuk bayiku.

"Iya benar, Suster," ucapku. Lalu Suster itu berlalu membawa catatan nama bayiku.

"Andira, kamu sudah memberi nama untuk bayimu. Kenapa gak nunggu Rangga untuk memberinya nama?" ucap Ibu mertua melotot ke arahku.

"Mas Rangga mana sekarang, Bu? Mas Rangga saja tak peduli sama anaknya, kok," ucapku mengimbangi suara Ibu hingga terasa nyeri disini. Mungkin bekas sayatan operasi semalam. 

"Jangan manja kamu, Andira. Belajarlah mandiri, apalagi kamu sudah punya anak. Jadi, belajarlah mengurus diri sendiri dan bayimu!" ucap Ibu mertua tajam.

"Baiklah, jangan salahkan aku kalau aku memberi nama anakku sendiri tanpa melibatkan Mas Rangga. Dan satu lagi, Bu, kalau Ibu menyuruhku mengurus diriku sendiri, untuk apa Ibu menyuruhku tinggal di tempat Ibu?" ketusku geram pada Ibu.

Aku yang masih tak berdaya, baru selesai melahirkan semalam. Menengok anakku pun tidak, malah mengajak berdebat denganku. Menyesal sekali aku menuruti permintaannya.

"Aku hanya tak ingin, anakku Rangga kesusahan membayar kontrakan Andira. Aku tak ingin anakku susah gara-gara kamu!"

"Dan Ibu menggunakan alasan itu agar bisa mengambil hak-ku sebagai istri Mas Rangga. Dengan begitu semua gaji Mas Rangga bisa berada ditangan Ibu tanpa melibatkan aku, istrinya. Begitu kan maksud Ibu?"

"Lancang sekali kamu, bicara seperti itu sama Ibu!" Terdengar suara seseorang yang baru datang, membuatku tercengang melihatnya.

Ibu nampak sumringah mendapati anak laki-lakinya mendekat ke arahnya. Tatapan tajam mengarah padaku, seakan ingin menelanku hidup-hidup.

Namun aku tak gentar sama sekali. Selama ini aku sudah banyak mengalah dengan keluarganya, namun seperti ini balasannya. Selama tiga bulan aku tinggal di rumah mertua, tak sepeserpun Mas Rangga memberi nafkah untukku. Semua gajinya diberikan utuh untuk Ibu. Alasannya karena semua kebutuhan sudah dijamin sama Ibu, jadi aku tak perlu memegang uang lagi. Itu yang pernah diucapkan oleh Mas Rangga ketika aku memprotes sikapnya.

Aku berusaha sabar. Karena kupikir, semua itu akan berubah setelah adanya anakku nanti. Mereka pasti akan menyayangi anakku, karena bagi Mas Rangga ini anak pertama, dan cucu pertama buat Ibu. Karena Mbak Rosa belum dikaruniai keturunan sampai sekarang. Namun, pikiranku salah, ternyata Ibu mertua hanya menginginkan uang Mas Rangga saja.

"Kenapa kamu larinya kesini, ngelahirin sesar lagi! Emang kamu gak mikir, biayanya disini sangat besar. Ini rumah sakit besar, An, sesar lagi, duh kamu ini ya!" geram Mas Rangga dengan pelan.

Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Datang-datang bukannya menanyakan keadaanku, menengok bayinya pun tidak. Tapi malah menyemburku dengan kata-kata kasar. Entahlah, otaknya mungkin sudah digadaikan di tempat Ibunya. Eh lupa, Ibunya sendiri aja gak punya otak. 

Tok tok! Permisi.

Dokter dan beberapa perawat masuk ingin memeriksa keadaanku. Sehingga Ibu dan Mas Rangga langsung terdiam dan tak mendongeng lagi. Lantas memeriksa keadaanku dan mengontrol bekas jahitanku.

Salah satu suster menggendong bayiku dengan gemasnya. "Bu, bayinya cantik banget sih, gemes ih," ucap suster tersebut.

"Ya iyalah, Ibunya aja cantik, ya, Dek," ucap suster yang lain, hingga membuatku tersanjung. Sepertinya hanya keluarga suamiku yang tak menginginkan bayiku. 

"Jahitan Ibu Andira udah bagus, kondisinya juga sudah mulai stabil. Tetap dijaga jahitannya ya Bu. Dan jangan pegang yang berat-berat dulu," ucap Dokter ramah.

"Coba ulang Dok, kata-katanya agar suami dan mertua saya dengar," ucapku sengaja. Agar Ibu dan Mas Rangga tak menyepelekanku terus.

 Muka Dokter nampak bingung, lantas tersenyum dan menjelaskan. "Iya, Mas, Bu, kalau melahirkan sesar itu gak boleh megang berat-berat. Ntar takutnya ada pendarahan di bekas jahitannya, dijaga ya, Bu Andiranya," ucap Dokter ramah.

Aku tersenyum puas ke arah mereka. Namun muka keduanya nampak sekali menahan kesal. 'Kalian salah kalau menganggap Andira terlalu remeh, aku akan melawan kalian, dengan caraku sendiri,' Batinku pada mereka.

Tak lama setelah itu, dokter berlalu meninggalkan kami. Aku yang melihat muka mereka yang menahan kesal, pura-pura tak peduli dengan mereka. Lebih tepatnya, pura-pura bego dan merapatkan selimut untuk beristirahat. 

"Andira, jangan tidur dulu. Aku belum selesai ngomong!" sungut Mas Rangga pelan namun nadanya mengancam.

"Mas, kamu datang kesini, itu sebenarnya untuk apa sih? Anakmu saja belum kamu tengok sama sekali, udah ngajak ribut saja. Kalau mau ngajak ribut, kamu salah tempat. Mau aku laporin satpam buat ngusir kamu?" ucapku kesal. 

Sebenarnya rasa hati ingin bodo amat, tapi sikapnya benar-benar membuatku geram. Entahlah, kenapa dulu aku mencintai laki-laki seperti dia. Lihatlah, nafasnya masih memburu. Bukannya berpikir tapi hanya marah yang menjadi andalan.

Tok tok! Permisi.

Suara seorang perawat mengagetkan kami yang sedang berdebat. 

"Maaf, Pak, Bu, ini obat yang harus diminum oleh Bu Andira. Tadi ada pesan dari bagian administrasi untuk memanggil keluarga Bu Andira. Permisi." ucap perawat itu sambil berlalu meninggalkan kami.

Muka Mas Rangga menegang. Namun kali ini aku bodo amat. Biarlah dia pikirkan sendiri. 

"Kamu harus membayar tagihan sendiri, Andira. Karena kamu yang meminta masuk kesini," ucap Mas Rangga dengan geram luar biasa.

"Mas, kamu lupa, uang tabunganku yang pernah kamu pinjam, belum pernah kamu kembalikan. Pake uang itulah, karena waktu itu kamu janji jika aku melahirkan nanti akan kamu kembalikan." ucapku lalu melengos membuang muka. Kulirik Ibu, nampak sekali mukanya menahan kesal. Begitu juga dengan Mas Rangga. Biar saja, memang kenyataannya seperti itu.

Teringat waktu itu Mas Rangga meminjam tabunganku untuk merenovasi dapur Ibu. Uang 5 juta bukanlah jumlah sedikit untukku yang susah payah ku sisihkan untuk biaya persalinan. Namun aku memberikannya ketika Mas Rangga berjanji akan mengganti uangku. Sekarang, nikmatilah, Mas!

***********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status