Share

BAB 2. POV Rangga.

 Ketika Melahirkan Di Tempat Mertua

BAB  : 2

Semua Salah Andira

POV RANGGA

"Dasar Andira, kerjaannya cuma ganggu aja," gerutuku dalam hati. Sungguh, rasanya sangat kesal melihat Andira yang tak bisa Lmandiri sendiri. Sengaja aku menyuruh Andira melahirkan di rumah Ibu biar aku gak repot. Tapi tetap saja, sedikit-sedikit menelpon. Semakin membuatku kesal saja.

Awalnya setelah menikah, kita mengontrak di sebuah rumah yang tak jauh dari rumah Ibu. Jaraknya sekitar dua jam perjalanan jika ditempuh dengan menggunakan motor. Andira mengajak ngontrak karena ingin mandiri, katanya. Namun, ketika perut Andira mulai membesar, Ibu memintaku untuk pindah saja ke rumah. 

"Sayang uangnya, Ga, daripada untuk membayar kontrakan rumah, mending uangnya dikasihkan ke Ibu. Udah gitu Andira juga bisa terurus kalau sama Ibu disini," teringat ucapan Ibu waktu itu.

Ibu dengan begitu tulus menawarkan bantuan pada kami, aku dan Andira. Namun susah sekali bernegosiasi dengan Andira. Setelah mengucap beberapa janji dan kata manis, baru lah Andira menyetujuinya. Janji dulu, tak apa kan? Yang penting Andira mau mengikuti apa yang aku perintahkan.

Eh tapi, ini Andira mau melahirkan. Ibu dan Mbak Rosa kemana? lebih baik aku telpon Ibu dulu, nanti malah melahirkan di rumah lagi. Malah bikin repot semua orang.

Tit.

"Halo, Bu, Ibu dimana?" ucapku setelah telepon tersambung dengan Ibu.

"Ini, Ga, Ibu lagi belanja. Ada apa?" tanya Ibu di seberang sana.

"Bu, tadi Andira telpon. Katanya sakit perut, Andira mau melahirkan, Bu," ucapku pada Ibu.

"Duh, tapi Ibu lagi tanggung nih, Ga, emang kamu gak bisa nemenin?" tanya Ibu terlihat santai.

"Tak bisa, Bu, aku lembur hari ini," ucapku pada Ibu.

"Yaudah biarin lah, Andira udah gede juga kan. Biar latihan mandiri, ntar paling kedepan naik ojek. Eh tapi, bilangin Andira ke bidan aja Ga, jangan ke rumah sakit. Kan kalau ke rumah sakit itu mahal," ucap Ibu yang masih terlihat santai.

"Iya, Bu, coba nanti Rangga telpon lagi Andiranya," ucapku pada Ibu.

Tit.

Telepon dimatikan oleh Ibu.

Aku mencoba menelpon Andira, namun tidak diangkat olehnya. Ah Andira, aku hanya ingin menyampaikan pesan Ibu. Namun susah sekali menghubungimu. 

"Sudah lama menunggu, Mas?" ucap wanita cantik di depanku yang baru datang.

"Untuk wanita cantik sepertimu, tak apa aku menunggu lama," ucapku tersenyum semanis mungkin. 

Ya, inilah alasanku untuk tidak menemani istriku yang mau melahirkan sekarang. Karena aku ada janji dengan wanita cantik bernama Lisa. Sebenarnya Lisa ini gak terlalu cantik, masih kalah cantik dengan Andira yang cantik alami. Tapi lama-kelamaan, Andira itu membosankan. Wajahnya kucel, badannya tak terurus, apalagi sedang hamil besar seperti ini, malas sekali melihatnya.

Kalau sama Lisa, aku hanya bermain-main saja. Aku laki-laki normal, pengen lah lihat yang bening. Apalagi Lisa naksir sama aku, yaudah lah kenapa tidak? Hanya bermain-main saja tak apa kan? Ada makanan gratis kok ditolak.

"Lis, Mas mau pulang dulu. Udah malem," ujarku sambil beranjak.

"Yah, Mas, kan kita juga baru ketemu," ucap Lisa terlihat manyun. Aku menyunggingkan senyum melihat ekspresinya. Beginilah kalau orang ganteng bereaksi. Lisa saja tergila-gila, padahal dia tahu kalau aku sudah punya istri. Ah, Rangga Dinata, selain dirimu ganteng luar biasa ternyata memang menjadi favorit para perempuan.

"Hati-hati dijalan, Mas," ucap Lisa menatapku. Aku hanya tersenyum ke arahnya lalu meninggalkan Lisa yang masih mematung menatapku. 

Ku laju motor kesayangan untuk bergegas pulang. Jalanan lengang karena sudah larut malam. Sebenarnya aku bisa saja bermalam bersama Lisa, karena tak kupungkiri aku juga membutuhkan itu. Apalagi melihat Andira yang tak terurus seperti sekarang, malas sekali mendekatinya, apalagi menyentuhnya. Namun, aku masih ingin melihat seperti apa Lisa sebenarnya. Karena aku juga baru mengenalnya.

*********

Ketika sudah sampai di depan rumah, aku melihat seseorang tengah berjalan menuju rumah. Siapa yang ingin bertamu tengah malam seperti ini? Karena penasaran aku pun memasuki rumah dengan tergesa. Setelah motor terparkir, barulah aku mendekati tamu tersebut, yang tak lain adalah Mas Dani. Suaminya Mbak Winda, tetangga di depan rumah. Kedatangan Mas Dani langsung disambut oleh Ibu.

"Ada apa ya, Mas?" tanyaku penasaran. 

"Begini, Mas Rangga, Mbak Andira tadi minta diantar sama saya dan istri. Dan sekarang Mbak Andira sedang berjuang sendirian," Jelas Mas Dani.

"Sendirian apa bersama Mbak Winda, Mas Dani?" tanya Ibu.

"Bersama istri saya, Bu," ucap Mas Dani kikuk.

"Sekarang Mbak Andira berada di rumah sakit Harapan, Bu," 

Ucapan Mas Dani membuatku melotot. "Rumah sakit Harapan yang besar itu, Mas?" tanyaku pada Mas Dani yang nampak heran karena suaraku sudah mulai meninggi.

"Memangnya, kenapa, Mas?" tanya Mas Dani.

"Rumah sakit itu tidak bekerja sama dengan perusahaan tempat saya bekerja, Mas. Asuransi saya bukan disitu," ucapku tajam.

"Saya tak memikirkan sejauh itu, Mas. Tadi saya dan istri sangat panik melihat Mbak Andira yang sangat kesakitan. Lalu mencari rumah sakit terdekat agar cepat diselamatkan. Terbukti, setelah sampai sana Mbak Andira sudah kehabisan air ketuban, hingga langsung dioperasi," Jelas Mas Dani panjang lebar.

"Operasi sesar, maksud Mas Dani?" tanya Ibu membelalakkan matanya.

Melihat respon Ibu Mas Dani terlihat semakin kikuk, lalu tak lama langsung pamit untuk pulang.

"Ditolong, bukannya terima kasih malah di introgasi kayak maling. Kasihan banget Mbak Andira," gumamnya pelan sambil berlalu pelan.

"Kamu itu sepertinya sering memanjakan Andira ketika hamil, Ga. Coba kalau hamilnya banyak gerak, pasti ngelahirinnya juga lancar," ucap Ibu lemas dengan mata menerawang.

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Ibu. Aku sering lihat Andira kepayahan memegang sapu dan pel ketika hamil besar, apalagi semenjak tinggal disini. Ibu sering menasehati Andira untuk selalu banyak gerak. Tapi apa itu hanya pura-pura saja di depanku supaya terlihat rajin? Ah Andira, menjengkelkan sekali dirimu. 

"Andira kok hanya menyusahkan kamu saja toh, Ga. Jadi istri bukannya meringankan beban suami, ini malah memperberat. Melahirkan sesar di rumah sakit itu biayanya tak sedikit, Ga," Ibu terus nyerocos hingga rasanya hati sangatlah panas.

Benar kata Ibu, kalau seperti ini, bukannya meringankan, yang ada malah menambah beban. Seharusnya Andira berpikir sejauh itu sebelum bertindak melangkah ke rumah sakit tadi. Kenapa tadi gak nanya dulu sih. Dasar Andira sialan! Geram sekali rasanya.

"Coba Andira mau menahan sakit sedikit lagi, pasti bisa melahirkan normal. Sepertinya Andira itu gak bisa menahan, udah gitu males ngeden. Untung saja sekarang Andira disini, jadi ada Ibu yang mengontrol Andira nanti. Coba kalau masih tinggal di kontrakan, udahlah kamu repot, Bayimu gak keurus, udah gitu Andira seenaknya. Tak kebayang kan, nanti seperti apa?" ucap Ibu panjang lebar hingga membuatku tersenyum.

Benar apa yang dikatakan Ibu. Untung ada Ibu. Ah, beruntung sekali aku punya Ibu seperti Ibuku ini. Sangat peduli denganku.

"Ibu gak nemenin Andira sekarang?" tanyaku.

"Gak lah, Ibu ngantuk. Besok aja kesananya, ada Mbak Winda yang nemenin kan?"

Lebih baik aku juga istirahat sekarang. Ada Mbak Winda kan yang menjaga Andira, jadi amanlah. Lagian kalau aku kesana sekarang, takut khilaf memarahi Andira. Malah bikin malu lagi. Nanti di rumah saja, biar Andira mendapat pelajaran dariku.

************

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami gak tau diri mendingan cerai Andira
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status