Share

Part 12

“Ada apa sih, Mas?”

Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?

“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”

“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”

“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”

“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”

Perasaanku menjadi jengkel karena ulah mas Lutfan ini. 

“Lho Dek, kamu kok jadi sewot gitu sih? Harusnya senang lho, kamu aku panggil ke sini.”

“Kamu tuh nggak tau, Mas.”

“Maksud kamu apa, Dek?”

“Dahlah … aku nggak jadi marah. Kenapa kamu memanggilku ke sini, Mas?”

“Beneran kamu nggak jadi marah, Dek?”

“Ya ampun Mas … ada apa aku dipanggil ke sini?”

Orang satu ini, memang ya? Kadang sama saja seperti ibunya, membuatku darah tinggi saja. Tiba-tiba tangannya menarikku ke dalam pelukannya.

“Apa sih, Mas?”

“Aku pengin peluk kamu? Nggak boleh?”

“Ya boleh dong Mas … tapi ini ‘kan masih siang. Apa nggak panas, pelukan gini?”

“Buat cintaku sih, nggak ada penghalang. Mau panas atau dingin, nggak ada yang bisa melunturkan cintaku padamu, Dek.”

“Dih … gombal banget kamu sih, Mas.”

“Ini romantis tau, Yang!”

“Terus, kalau udah pelukan gini mau ngapain lagi? Bikin anak?”

“Dek … kamu kok jadi agresif gitu sih? Waw, aku jadi bergairah nih. Hahaha.”

“Ssttt! Ketawanya kenceng bener, Bang.”

“Abang? Tukang bakso kali ah … sini duduk.” Dia melepas pelukannya.

“Iya ini, aku duduk.”

“Dek, ibu sama Eliza sebenarnya ada hubungan apa ya? Kok ibu jadi aneh semenjak ada Eliza di sini ya? Ibu kayaknya menyuruh Eliza untuk mendekatiku, padahal ibu ‘kan tau aku udah punya istri. Kalau belum ada istri sih, oke, oke aja. Iya, nggak Dek?”

Ini maksudnya mas Lutfan apa? Mau sengaja membuatku cemburu atau justru dia merasa khawatir. Atau bahkan keduanya? Minta dijitak kali nih orang.

“Hmm! Maksud kamu apa Mas, ngomong begini! Mau aku cemburu, gitu, maksudnya?” Aku mengatakannya penuh penekanan.

Bukannya menjelaskan, mas Lutfan justru terkekeh. Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku. Hampir saja aku emosi lho, kok dia malah ketawa.

“Hm! Rasain nih ya?” ucapku, seraya mengeluarkan jurus andalanku. Cubitan maut di perutnya yang hampir buncit.

“Aduh Dek … sakit … jahat, kamu Dek!” Namun tetap, bibirnya tersenyum lebar. Nggak ada kapoknya kalau meledekku memang.

“Rasain!” ucapku ketus.

Kupalingkan wajahku dengan bibir yang cemberut.

“Tuh ‘kan, cemberut lagi? Iya, iya … sekarang serius deh. Nih ya … beneran serius. Begini Dek, kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih sama ibu?”

Benar, dia mulai berbicara dengan nada yang serius. Ternyata mas Lutfan merasakan hal yang sama denganku. Berarti memang ibu sikapnya menjadi aneh akhir-akhir ini.

“Iya Mas, aku juga gitu. Rasanya ibu jadi aneh deh. Aku kira kamu biasa aja, Mas.”

“Tadinya emang biasa aja sih, Dek. Mau dekat sama Eliza pun silakan. Tapi, kalau ibu seolah mendekatkanku dengan Eliza itu yang membuatku risih, Dek. Anehnya di situ sih menurutku.”

“Iya Mas, aku juga takut kalau kamu jadi suka sama Eliza. Jangan sampai deh, amit-amit.”

Wajahnya yang tadi serius, saat mendengar perkataanku kini berubah dengan senyumnya yang melebar.

“Iya Sayang. Makasih ya? Kamu sayang banget ‘kan sama aku?”

Oh ternyata, ucapanku tadi membuat hatinya tersanjung. Ya, bolehlah. Toh dia memang suamiku. Belahan jiwa dan teman seumur hidupku.

“Pasti dong, Mas. Kita jaga hati masing-masing ya? Aku nggak mau kehilangan kamu lho, Mas. Kadang nyebelin sih. Tapi aku cinta.”

“Gemes banget kamu sih, Dek.  Pengin cepat malam deh jadinya.”

Tangannya mencubit mesra ke dua pipiku.

“Ngapain?”

“Unyel-unyel kamu. Hehe.”

Tok, tok, tok ….

Pintu kamarku yang sedikit terbuka diketuk oleh seseorang.

“Iya … siapa?” Mendengarnya mas Lutfan langsung merespon.

“Permisi, Mbak, Mas … ibu menyuruh untuk makan.”

Eliza yang mengetuk pintu. Dari kapan dia berdiri di sana? Ya, mungkin baru saja. Tak baik berpikir buruk pada seseorang.

“Oh iya, Za. Makasih ya?”

“Iya Mas, permisi ….” Eliza sudah tak menampakkan dirinya lagi.

Aku dan mas Lutfan saling memandang.

“Dek, kira-kira, Eliza dengar percakapan kita nggak ya?”

Pemikiran mas Lutfan sama persis dengan pemikiranku. Tapi aku mencoba untuk berbaik sangka saja kepadanya.

“Nggak tau sih, Mas. Semoga sih dia nggak dengar apa-apa. Yuk, keburu ditungguin makannya.”

“Iya Dek, semoga saja ya?”

Kami bergegas pergi ke ruang makan untuk menyantap hidangan yang sudah tersedia.

“Fan, kamu harus makan yang banyak lho. Coba Wa, tambahin lagi nasinya,” titah ibu mertua.

Aku memang sedang mengambilkan nasi untuk mas Lutfan. Tumben banget ibu menyuruhku mengambil nasi yang lebih banyak untuk mas Lutfan. Benar, ibu memang aneh.

“Ngapain sih, Bu? Kayak biasa aja kenapa sih? Kalau nggak habis gimana?” protes mas Lutfan. “Udah Dek, ambilin kayak biasa aja.”

Aku pun menjadi bimbang karena ulah mereka.

“Fan! Nurut sama Ibu kenapa sih? Buat kebaikan kamu, kok susah bener!” Dan begitulah, tak ada yang mau mengalah.

“Kebaikan apa sih, Bu? Dari kemarin ngomong kebaikan mulu. Aku nggak paham sama ucapan Ibu. Udah Dek, kayak biasa aja.”

“Lutfan!”

Aku untuk sejenak diam, belum tahu harus menuruti yang mana.

“Ibu … kenapa sih Ibu begitu? Kalau mau makan nasinya banyak atau sedikit, ya udah terserah Lutfan. Dia yang tau enaknya gimana. Bukan Ibu. Ibu jangan aneh-aneh lah mintanya.”

Bapak mertua pun akhirnya menengahi. Tentu saja akan membela anaknya. Lha wong istrinya mintanya aneh.

“Iya Bu! Orang aku yang mau makan kenapa Ibu yang menyuruhku makan banyak atau sedikit. Udah besar aku, Bu. Aku tau kebutuhanku. Buat orang jadi marah aja sih. Udah Dek, sini. Jangan banyak-banyak. Jadi nggak napsu makan.”

Dan akhirnya aku menuruti permintaan suamiku. Kuambilkan sesuai porsi seperti biasanya.

“Ck! Itu semua untuk kebaikanmu, Fan. Susah amat dibilangin.”

Ibu mertua masih saja menggerutu. Namun mas Lutfan tak menghiraukan ucapan beliau. Dia tetap makan sesuai kemauannya. Dua orang ini memang sama-sama keras kepala. Ada saja drama yang terjadi.

“Ibu … udahlah … Lutfan udah dewasa, Bu. Tidak seharusnya kita sebagai orang tua, masih saja mengatur sesuka hati kita. Sudah bukan waktunya lagi kita begitu, Bu. Biarlah dia jadi dewasa. Kita cukup doakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu.”

“Ah Bapak! Tau apa sih.”

“Ck!”

Ya, bapak mertua hanya bisa menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah istrinya yang justru kekanakkan itu.

Tak mau berlama-lama, mas Lutfan segera memakan makanannya itu. Piringnya biasanya bersih tak tersisa nasi barang sebiji, kini dia hanya memakan setengah nasinya saja.

“Dah, nggak napsu,” ucapnya, seraya meninggalkan meja makan.

Raut wajahnya memang terlihat sangat marah.

“Lutfan! Kok malah nggak habis?” ucap ibu mertua.

Tanpa menengok sekali pun, mas Lutfan tetap pergi. Aku masih duduk menyelesaikan makananku. Biarkan dia sendiri dulu. Toh, kalau aku menyusulnya kesana. Mulut ibu pasti kembali mengomel karena makananku tak dihabiskan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status