“Ada apa sih, Mas?”
Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?
“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”
“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”
“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”
“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”
Perasaanku menjadi jengkel karena ulah mas Lutfan ini.
“Lho Dek, kamu kok jadi sewot gitu sih? Harusnya senang lho, kamu aku panggil ke sini.”
“Kamu tuh nggak tau, Mas.”
“Maksud kamu apa, Dek?”
“Dahlah … aku nggak jadi marah. Kenapa kamu memanggilku ke sini, Mas?”
“Beneran kamu nggak jadi marah, Dek?”
“Ya ampun Mas … ada apa aku dipanggil ke sini?”
Orang satu ini, memang ya? Kadang sama saja seperti ibunya, membuatku darah tinggi saja. Tiba-tiba tangannya menarikku ke dalam pelukannya.
“Apa sih, Mas?”
“Aku pengin peluk kamu? Nggak boleh?”
“Ya boleh dong Mas … tapi ini ‘kan masih siang. Apa nggak panas, pelukan gini?”
“Buat cintaku sih, nggak ada penghalang. Mau panas atau dingin, nggak ada yang bisa melunturkan cintaku padamu, Dek.”
“Dih … gombal banget kamu sih, Mas.”
“Ini romantis tau, Yang!”
“Terus, kalau udah pelukan gini mau ngapain lagi? Bikin anak?”
“Dek … kamu kok jadi agresif gitu sih? Waw, aku jadi bergairah nih. Hahaha.”
“Ssttt! Ketawanya kenceng bener, Bang.”
“Abang? Tukang bakso kali ah … sini duduk.” Dia melepas pelukannya.
“Iya ini, aku duduk.”
“Dek, ibu sama Eliza sebenarnya ada hubungan apa ya? Kok ibu jadi aneh semenjak ada Eliza di sini ya? Ibu kayaknya menyuruh Eliza untuk mendekatiku, padahal ibu ‘kan tau aku udah punya istri. Kalau belum ada istri sih, oke, oke aja. Iya, nggak Dek?”
Ini maksudnya mas Lutfan apa? Mau sengaja membuatku cemburu atau justru dia merasa khawatir. Atau bahkan keduanya? Minta dijitak kali nih orang.
“Hmm! Maksud kamu apa Mas, ngomong begini! Mau aku cemburu, gitu, maksudnya?” Aku mengatakannya penuh penekanan.
Bukannya menjelaskan, mas Lutfan justru terkekeh. Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku. Hampir saja aku emosi lho, kok dia malah ketawa.
“Hm! Rasain nih ya?” ucapku, seraya mengeluarkan jurus andalanku. Cubitan maut di perutnya yang hampir buncit.
“Aduh Dek … sakit … jahat, kamu Dek!” Namun tetap, bibirnya tersenyum lebar. Nggak ada kapoknya kalau meledekku memang.
“Rasain!” ucapku ketus.
Kupalingkan wajahku dengan bibir yang cemberut.
“Tuh ‘kan, cemberut lagi? Iya, iya … sekarang serius deh. Nih ya … beneran serius. Begini Dek, kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih sama ibu?”
Benar, dia mulai berbicara dengan nada yang serius. Ternyata mas Lutfan merasakan hal yang sama denganku. Berarti memang ibu sikapnya menjadi aneh akhir-akhir ini.
“Iya Mas, aku juga gitu. Rasanya ibu jadi aneh deh. Aku kira kamu biasa aja, Mas.”
“Tadinya emang biasa aja sih, Dek. Mau dekat sama Eliza pun silakan. Tapi, kalau ibu seolah mendekatkanku dengan Eliza itu yang membuatku risih, Dek. Anehnya di situ sih menurutku.”
“Iya Mas, aku juga takut kalau kamu jadi suka sama Eliza. Jangan sampai deh, amit-amit.”
Wajahnya yang tadi serius, saat mendengar perkataanku kini berubah dengan senyumnya yang melebar.
“Iya Sayang. Makasih ya? Kamu sayang banget ‘kan sama aku?”
Oh ternyata, ucapanku tadi membuat hatinya tersanjung. Ya, bolehlah. Toh dia memang suamiku. Belahan jiwa dan teman seumur hidupku.
“Pasti dong, Mas. Kita jaga hati masing-masing ya? Aku nggak mau kehilangan kamu lho, Mas. Kadang nyebelin sih. Tapi aku cinta.”
“Gemes banget kamu sih, Dek. Pengin cepat malam deh jadinya.”
Tangannya mencubit mesra ke dua pipiku.
“Ngapain?”
“Unyel-unyel kamu. Hehe.”
Tok, tok, tok ….
Pintu kamarku yang sedikit terbuka diketuk oleh seseorang.
“Iya … siapa?” Mendengarnya mas Lutfan langsung merespon.
“Permisi, Mbak, Mas … ibu menyuruh untuk makan.”
Eliza yang mengetuk pintu. Dari kapan dia berdiri di sana? Ya, mungkin baru saja. Tak baik berpikir buruk pada seseorang.
“Oh iya, Za. Makasih ya?”
“Iya Mas, permisi ….” Eliza sudah tak menampakkan dirinya lagi.
Aku dan mas Lutfan saling memandang.
“Dek, kira-kira, Eliza dengar percakapan kita nggak ya?”
Pemikiran mas Lutfan sama persis dengan pemikiranku. Tapi aku mencoba untuk berbaik sangka saja kepadanya.
“Nggak tau sih, Mas. Semoga sih dia nggak dengar apa-apa. Yuk, keburu ditungguin makannya.”
“Iya Dek, semoga saja ya?”
Kami bergegas pergi ke ruang makan untuk menyantap hidangan yang sudah tersedia.
“Fan, kamu harus makan yang banyak lho. Coba Wa, tambahin lagi nasinya,” titah ibu mertua.
Aku memang sedang mengambilkan nasi untuk mas Lutfan. Tumben banget ibu menyuruhku mengambil nasi yang lebih banyak untuk mas Lutfan. Benar, ibu memang aneh.
“Ngapain sih, Bu? Kayak biasa aja kenapa sih? Kalau nggak habis gimana?” protes mas Lutfan. “Udah Dek, ambilin kayak biasa aja.”
Aku pun menjadi bimbang karena ulah mereka.
“Fan! Nurut sama Ibu kenapa sih? Buat kebaikan kamu, kok susah bener!” Dan begitulah, tak ada yang mau mengalah.
“Kebaikan apa sih, Bu? Dari kemarin ngomong kebaikan mulu. Aku nggak paham sama ucapan Ibu. Udah Dek, kayak biasa aja.”
“Lutfan!”
Aku untuk sejenak diam, belum tahu harus menuruti yang mana.
“Ibu … kenapa sih Ibu begitu? Kalau mau makan nasinya banyak atau sedikit, ya udah terserah Lutfan. Dia yang tau enaknya gimana. Bukan Ibu. Ibu jangan aneh-aneh lah mintanya.”
Bapak mertua pun akhirnya menengahi. Tentu saja akan membela anaknya. Lha wong istrinya mintanya aneh.
“Iya Bu! Orang aku yang mau makan kenapa Ibu yang menyuruhku makan banyak atau sedikit. Udah besar aku, Bu. Aku tau kebutuhanku. Buat orang jadi marah aja sih. Udah Dek, sini. Jangan banyak-banyak. Jadi nggak napsu makan.”
Dan akhirnya aku menuruti permintaan suamiku. Kuambilkan sesuai porsi seperti biasanya.
“Ck! Itu semua untuk kebaikanmu, Fan. Susah amat dibilangin.”
Ibu mertua masih saja menggerutu. Namun mas Lutfan tak menghiraukan ucapan beliau. Dia tetap makan sesuai kemauannya. Dua orang ini memang sama-sama keras kepala. Ada saja drama yang terjadi.
“Ibu … udahlah … Lutfan udah dewasa, Bu. Tidak seharusnya kita sebagai orang tua, masih saja mengatur sesuka hati kita. Sudah bukan waktunya lagi kita begitu, Bu. Biarlah dia jadi dewasa. Kita cukup doakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu.”
“Ah Bapak! Tau apa sih.”
“Ck!”
Ya, bapak mertua hanya bisa menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah istrinya yang justru kekanakkan itu.
Tak mau berlama-lama, mas Lutfan segera memakan makanannya itu. Piringnya biasanya bersih tak tersisa nasi barang sebiji, kini dia hanya memakan setengah nasinya saja.
“Dah, nggak napsu,” ucapnya, seraya meninggalkan meja makan.
Raut wajahnya memang terlihat sangat marah.
“Lutfan! Kok malah nggak habis?” ucap ibu mertua.
Tanpa menengok sekali pun, mas Lutfan tetap pergi. Aku masih duduk menyelesaikan makananku. Biarkan dia sendiri dulu. Toh, kalau aku menyusulnya kesana. Mulut ibu pasti kembali mengomel karena makananku tak dihabiskan.
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”