“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”
Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.
“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”
“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”
“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”
“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu. Terus aku sering minta pindah dari sini ‘kan sama kamu. Tapi kamu nggak mau. Ya udah, ibu emang begitu kok. Apa mau pindah sekarang? Ayo, aku masih mau kok. Hehe.”
“Nggak mungkinlah, Dek. Kita nggak mungkin pindah dari sini.”
“Ya udah, kalau tau gitu ya jangan marah dong. Nggak malu apa sama aku?”
“Sini cium ….”
Jari telunjuknya, ia letakan di pipi.
“Dasar manja emang.”
“Biarin ….”
Kukecup pipinya sesuai permintaannya. Mungkin dengan begitu dia merasa lega.
“Lutfan … antar Ibu sama Eliza yuk.”
“Tuh ‘kan Dek, ibu mau bikin ulah lagi. Apa coba maunya sekarang.”
“Udah sana, samperin.”
Dengan langkah yang berat akhirnya mas Lutfan memenuhi panggilan pemilik surganya.
“Kemana, Bu?” tanya mas Lutfan.
Mereka berada di ruang tengah tak jauh dari kamarku.
“Mau ke rumah bu Susi. Ayo, buruan.”
“Ngapain?”
“Mau ngambil barangnya Liza, ketinggalan di sana. Dulu ‘kan sebelum kerja di sini Eliza memang tinggal di rumahnya bu Susi. Eliza itu perantauan, jadi tinggal sama bu Susi di sini. Dia masih saudaraan ‘kan. Kebetulan, bu Susi itu teman Ibu. Ayo!”
“Salwa ikut ya, Bu?”
“Ngapain? Cuma bentar kok. Udah gitu aja, nggak usah ganti baju. Keburu sore.”
“Iya … nggak ganti baju. Aku mau pamitan dulu sama Salwa, Bu. Takutnya dia nyariin.”
“Ck! Anak ini. Nanti juga pulang, pamitan segala.”
“Apa salahnya, pamitan sama istri.”
Mas Lutfan sepertinya menghampiriku. Langkahnya mulai terdengar mendekati kamar.
“Dek … aku disuruh anterin ibu sama Eliza. Nggak apa-apa ‘kan?”
“Kemana?” tanyaku, pura-pura tak tau. Padahal sih dengar semuanya.
“Ke rumah bu Susi, katanya ada barang Eliza yang tertinggal di sana. Nggak apa-apa ‘kan?”
Mas Lutfan masih saja meminta izin kepadaku.
“Ya udah nggak apa-apa, Mas. Kan ada ibu, nggak Cuma berdua sama Liza.”
“Nggak apa-apa beneran?”
“Iya Sayang, nggak apa-apa. Sana Mas. Pasti pada nungguin.”
“Ya udah, aku pergi dulu ya, Dek. Sini cium.”
Ya, demi mematuhi perintahnya. Aku yang sedang duduk santai harus bangkit dan berjalan kepadanya. Dia pasti akan mengecup keningku. Meski sangat manja, tapi aku suka. Tak lupa, aku pun mencium punggung tangannya. Padahal hanya akan pergi sebentar saja, tapi dramanya seperti akan pergi dalam waktu lama.
“Ayo antar aku keluar, Dek,” pintanya.
Padahal aku mau rebahan lagi di kasur.
“Iya udah, ayo ….”
Aku mengikuti langkahnya, mengantarnya pergi hanya untuk sesaat.
“Kamu ini, emang manja banget ya, Mas,” ucapku seraya berjalan mendampinginya.
“Hanya kepadamu, Sayangku.”
“Ya ampun … gombal terus kamu sih, Mas. Tapi aku suka, hehehe.”
“Lama banget sih, Fan! Salwa ikut?”
Baru satu kaki yang terlihat di garasi, namun ibu mertua sudah mulai mengomel. Tentu saja langsung protes saat melihatku bersama mas Lutfan. Dikiranya aku mau ikut. Padahal mah ogah. Nurutin suami saja, jadinya aku ada di sini.
“Kata siapa? Salwa nggak ikut kok. Tapi kalau boleh ikut, aku malahan senang.”
Siapa lagi kalau bukan mas Lutfan yang berbicara seperti itu. Ke dua sifat mereka hampir sama. Atau bahkan memang sama, tak heran, memang mereka ibu dan anak ‘kan?
“Nggak usahlah … lha wong Cuma bentar kok. Ayo, cepat Fan.”
“Ya ya ya … berangkat dulu ya, Dek.”
“Iya, Mas ….”
“Eliza, kamu di depan sana.”
Lagi-lagi ibu menyuruh hal aneh kepada Eliza.
“Nggak, Bu! Aku nggak mau antar kalau Eliza duduk di depan,” ancam mas Lutfan.
“Maksud ibu apa sih?” gerutuku. Aku masih menyaksikan drama yang masih saja terjadi.
“Kenapa sih, Fan?”
“Aku udah punya istri, Bu! Ibu ini aneh.”
“Apa salahnya sih? Cuma duduk di sebelahmu kok.”
Ibu masih tetap keras kepala mempertahankan pendapatnya.
“Ya udah kalau mau duduk di depan. Aku nggak mau nganter, Bu. Sana naik ojek aja.”
Kini mas Lutfan benar-benar keluar dari mobil.
“Ya udah, Ibu yang di depan. Susah kamu diatur sekarang, Fan.”
Akhirnya ada yang mengalah juga. Jika tidak, entah kapan mereka berangkatnya.
“Ibu juga aneh kok! Nyuruh kok gitu.”
Setelah drama yang lumayan lama, akhirnya mereka pergi juga. Aku melambaikan tangan, karena mas Lutfan melambaikan tangannya duluan kepadaku.
“Akhirnya … selesai juga drama hari ini. Mumpung mereka pergi dan hanya ada aku sama bapak di rumah ini, coba deh aku cari tau sesuatu. Siapa tau dapat sesuatu.”
Tiba-tiba aku kembali terpikir untuk menyelidiki. Ada apa sebenarnya yang terjadi antara ibu dan Eliza. Kenapa mereka bisa sekompak itu?
“Gimana caranya ya? Agar aku bisa masuk ke kamar ibu dan Eliza. Ntar kalau ada bapak terus tanya, aku jawab apa dong?”
Aku duduk di ruang tengah sembari memikirkan rencana.
“Salwa ….”
Bapak mertua tiba-tiba memanggilku dari belakang.
“Iya Pak, ada apa?” Segera aku menghampiri beliau.
“Ibu kemana?” tanya beliau saat aku ada di hadapannya.
“Katanya pergi ke rumah teman, Pak.”
“Oh ….”
Sepertinya beliau sedang kebingungan. Apa salahnya aku bertanya. Siapa tahu bisa membantu.
“Emang kenapa, Pak? Bapak butuh apa?”
“Ini, Bapak juga mau pergi, Wa. Tapi Bapak tidak tau ibu menyimpan pecinya dimana. Bapak ‘kan ada acara pengajian. Baiknya pakai peci ‘kan? Di cari sampai ke tempat jemuran sama aja nggak ketemu.”
Biasalah, kalau suami dimanja istri. Ya begini jadinya. Segala macam kepunyaannya tak tahu dimana disimpannya. Padahal pasti ada di dalam lemari, tapi tetap saja tak bisa menemukannya.
“Mau Salwa bantuin, Pak?”
Nah … kesempatan bagus untuku. Bisa melihat ke dalam lemari milik ibu tanpa harus takut dikira macam-macam. Tapi ‘kan bapak juga akan pergi, bisalah setelahnya aku cari lagi.
“Boleh banget, Wa.” Bapak menyambutnya dengan bahagia.
“Paling juga di lemari kamar, Pak.”
“Coba cari lagi, Wa. Tadi Bapak sampai pusing, nyari nggak ketemu-ketemu. Hehe.”
“Mungkin terselip, coba aku cari lagi ya, Pak?”
“Iya Wa ….”
Aku mulai menggeledah lemari yang ada di dalam kamar ibu. Sangat berharap jika menemukan sesuatu yang bisa sedikit menjelasakan tentang hubungan ibu dan Eliza.
“Ketemu, Wa?” tanya beliau setelah beberapa saat aku mencarinya. “Cepat ya Wa, waktunya mepet. Nanti Bapak ketinggalan rombongan.”
Sebenarnya aku memang memperlambat pencarian peci itu. Aku belum menemukan apa-apa tentang hal yang kucari.
“Iya Pak. Coba ke laci sebelah sana ya, Pak.”
‘Semoga ada sesuatu di dalam sini,’ batinku sangat berharap.
Tanganku mencari-cari peci yang hanya alasanku saja, sebenarnya bukan itu yang kucari. Entah apa, aku pun tak mengerti.
‘Eh ini apa?’ Tanganku memegang kertas seperti yang kutemukan di dalam tasku waktu itu.
“Ketemu Wa?”
“Eh belum, Pak. Ini apa, Pak?” Aku tunjukkan kertas itu kepada beliau.
“Eh apa itu? Bapak tidak tau, Wa. Mungkin punya ibu. Ayo cari lagi, di situ tidak ada ‘kan?”
‘Sebenarnya kertas apa ini?’
Di dalam pikiranku ada tanda tanya besar yang muncul tentang apa maksud dari kertas itu. Kenapa ibu menyimpannya?
‘Setelah Bapak pergi aku akan menggeledah semuanya.’
Kini kulanjutkan mencari peci milik bapak mertua.
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”