Share

Part 2

Masakan sudah siap dihidangkan. Jam baru saja menunjukan pukul enam pagi. Kami sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Ibu yang mengatur sarapan kami harus tepat pada waktunya. Padahal jadwalku di rumah dulu sebelum menikah, sarapan jika sudah terasa lapar. Tidak harus dijadwal seperti sekarang ini. Awalnya aku kaget, namun bertambahnya waktu bersama, aku sudah terbiasa dan mulai mamahami. 

“Fan, ajarkan istrimu untuk bangun pagi. Kamu harus mencontohkan. Harus bangun pagi juga. Paham ‘kan!” ucap beliau setelah selesai makan.

Mas Lutfan memandang ke arahku. Aku hanya tersenyum mendengar perintah yang tertitah untuk mas Lutfan dari mulut ibunya sendiri.

‘Akhirnya kamu kena tegur juga, Mas,’ batinku.

“Bangun jam lima saja, Bu. Kalau setelah adzan subuh masih terlalu pagi, Bu. Masih sangat ngantuk. Ibu tau sendiri ‘kan? Toko tutup jam Sembilan, sampai rumah jam sepuluh malam. Aku masih butuh waktu tidur, Bu.”

Mas Lutfan beralasan yang sama denganku tadi pagi. Coba kali ini beliau akan mengatakan apa kepada anaknya sendiri. Semoga saja beliau mau mendengarkan pendapat yang diucapkan oleh mas Lutfan.

“Kalian ini janjian atau bagaimana? Tadi Salwa yang berbicara seperti itu. Sekarang giliran kamu, Fan. Ibu hanya ingin kalian belajar disiplin. Susah banget kalian dinasehatin.”

Wah, ternyata ibu merekam ucapanku tadi pagi. Meski usia beliau sudah berkepala lima, namun ingatannya ternyata masih sangat tajam. Pupus sudah harapan kami untuk berleha-leha sekejap saja. Harus menurut perintah ibu bos terhormat. Kembali mata mas Lutfan melihat ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya. Percuma saja aku membantu beragumen, hasilnya pasti tetap sama. Harus menurut perintah ibunya.

“Ya sudah, mulai besok aku bangun pagi, Bu. Ibu nggak usah mengetuk pintu kamar kami. Besok aku pasang alarm saja.”

Pada akhirnya, keputusan yang mulia ibu mertua tidak akan bisa diganggu gugat.

“Bu, jangan begitu dong. Mereka ‘kan sudah dewasa. Sudah punya kehidupan sendiri. Masa Ibu masih mengatur hidup mereka. Kita orang tua, harus menghormati mereka. Meski mereka anak kita, tapi mereka sudah dewasa, Bu. Masa dikira masih seperti bocah sekolah saja, Bu.”

Bapak mertua akhirnya berucap membela kami. Beliau memang mertua yang memahami mantunya, beda jauh dengan istrinya. Selalu saja memaksakan kehendak sendiri kepada kami.

“Bapak kenapa sih? Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak Ibu satu-satunya lho? Ibu ingin Lutfan bisa menjadi imam yang baik untuk Salwa. Wajar dong, dia harus mencontohkan hal apa pun. Meski sepele tetap harus dilakukan. Bapak tidak mau kalau anaknya menjadi seorang yang disiplin?”

“Tapi Bu, mereka sudah dewasa. Tidak usah diatur dalam segala hal. Mereka pasti akan tau dengan sendirinya nanti.”

“Ah Bapak mana tau harus melakukan apa untuk anaknya. Dari dulu Bapak hanya mencari uang. Lutfan selalu bersama Ibu, dia itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibu mau yang terbaik buat Lutfan, anakku.”

Ibu mertua memang sangat keras kepala, tidak jauh berbeda dengan mas Lutfan. Sifat buruk itu menurun kepada anak satu-satunya itu.

“Ck, Ibu.”

Bapak mertua sudah tidak bisa lagi menasehati istrinya. Hanya bisa berdecak dengan sikap istrinya yang tak pernah berubah dari dulu.

“Iya, iya. Aku akan menjadi contoh yang baik untuk Salwa, Bu.” Mas Lutfan hanya bisa mengiyakan saja.

Aku membereskan piring kotor yang ada di meja makan. Tugasku selanjutnya adalah mencuci piring kotor bekas sarapan kami.

“Wa, kalau makan yang bersih. Itu piringmu ‘kan? Ibu selalu memperhatikan bekas piringmu. Pasti ada saja yang tidak dimakan olehmu.”

‘Ya ampun, hal sepele seperti itu saja dikomentari sama ibu. Aku nggak suka makan bawang sama cabe, Bu.’ Aku menggerutu di dalam hati.

“Ibu, Salwa memang dari dulu nggak suka makan bawang sama cabe, Bu. Wajarlah kalau piringnya selalu ada sisa yang nggak dimakan sama dia.” Mas Lutfan membelaku.

“Ck, orang tuamu pasti mendidikmu untuk pilih-pilih makanan ya, Wa? Bawang sama cabe enak lho kalau di makan. Coba aja dulu, pasti lama-lama akan suka.”

Perasaanku berantakan saat mendengar komentar beliau. Kenapa harus membawa-bawa orang tuaku segala? Jangan salahkan mereka, aku memang orangnya pilih-pilih makanan sejak aku tau rasa makanan itu enak atau tidak. Semua karena lidahku saja, bukan salah orang tuaku.

“Ibu ….” Bapak mertua memanggil beliau, bermaksud menegur perkataannya.

“Apa sih, Pak? Dari dulu Ibu selalu memperhatikan Salwa makan lho, Pak. Baru hari ini saja Ibu ingin berbicara dan menegurnya. Ibu mau dia membersihkan piringnya. Semua yang ada harus dimakan. Itu bagus ‘kan? Jadi tidak mubadzir.”

Bukannya diam, mulut ibu justru berbicara bertambah menyakitkan.

“Besok harus makan dimakan semuanya ya, Salwa ….”

Beliau mengatakannya, dengan senyum yang manis menurutnya. Namun bagiku,senyuman itu bagaikan racun yang perlahan membunuhku.

“Besok sisa bawang sama cabenya, taruh di piringku saja, Dek. Kasihan kamu.” Mas Lutfan kembali membelaku.

“Lutfan, kamu ini selalu saja membela istrimu. Padahal perkataan Ibu benar lho? Untuk kebaikan Salwa juga ‘kan? Besok kalau punya anak jadinya bisa mencontohkan. Anakmu jadi doyan apa aja, nggak pilih-pilih.”

Seperti biasa, ibu tidak akan semudah itu menerima keputusan dari anaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status