Share

Part 2

Author: Khanna
last update Huling Na-update: 2021-08-29 11:50:29

Masakan sudah siap dihidangkan. Jam baru saja menunjukan pukul enam pagi. Kami sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Ibu yang mengatur sarapan kami harus tepat pada waktunya. Padahal jadwalku di rumah dulu sebelum menikah, sarapan jika sudah terasa lapar. Tidak harus dijadwal seperti sekarang ini. Awalnya aku kaget, namun bertambahnya waktu bersama, aku sudah terbiasa dan mulai mamahami. 

“Fan, ajarkan istrimu untuk bangun pagi. Kamu harus mencontohkan. Harus bangun pagi juga. Paham ‘kan!” ucap beliau setelah selesai makan.

Mas Lutfan memandang ke arahku. Aku hanya tersenyum mendengar perintah yang tertitah untuk mas Lutfan dari mulut ibunya sendiri.

‘Akhirnya kamu kena tegur juga, Mas,’ batinku.

“Bangun jam lima saja, Bu. Kalau setelah adzan subuh masih terlalu pagi, Bu. Masih sangat ngantuk. Ibu tau sendiri ‘kan? Toko tutup jam Sembilan, sampai rumah jam sepuluh malam. Aku masih butuh waktu tidur, Bu.”

Mas Lutfan beralasan yang sama denganku tadi pagi. Coba kali ini beliau akan mengatakan apa kepada anaknya sendiri. Semoga saja beliau mau mendengarkan pendapat yang diucapkan oleh mas Lutfan.

“Kalian ini janjian atau bagaimana? Tadi Salwa yang berbicara seperti itu. Sekarang giliran kamu, Fan. Ibu hanya ingin kalian belajar disiplin. Susah banget kalian dinasehatin.”

Wah, ternyata ibu merekam ucapanku tadi pagi. Meski usia beliau sudah berkepala lima, namun ingatannya ternyata masih sangat tajam. Pupus sudah harapan kami untuk berleha-leha sekejap saja. Harus menurut perintah ibu bos terhormat. Kembali mata mas Lutfan melihat ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya. Percuma saja aku membantu beragumen, hasilnya pasti tetap sama. Harus menurut perintah ibunya.

“Ya sudah, mulai besok aku bangun pagi, Bu. Ibu nggak usah mengetuk pintu kamar kami. Besok aku pasang alarm saja.”

Pada akhirnya, keputusan yang mulia ibu mertua tidak akan bisa diganggu gugat.

“Bu, jangan begitu dong. Mereka ‘kan sudah dewasa. Sudah punya kehidupan sendiri. Masa Ibu masih mengatur hidup mereka. Kita orang tua, harus menghormati mereka. Meski mereka anak kita, tapi mereka sudah dewasa, Bu. Masa dikira masih seperti bocah sekolah saja, Bu.”

Bapak mertua akhirnya berucap membela kami. Beliau memang mertua yang memahami mantunya, beda jauh dengan istrinya. Selalu saja memaksakan kehendak sendiri kepada kami.

“Bapak kenapa sih? Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak Ibu satu-satunya lho? Ibu ingin Lutfan bisa menjadi imam yang baik untuk Salwa. Wajar dong, dia harus mencontohkan hal apa pun. Meski sepele tetap harus dilakukan. Bapak tidak mau kalau anaknya menjadi seorang yang disiplin?”

“Tapi Bu, mereka sudah dewasa. Tidak usah diatur dalam segala hal. Mereka pasti akan tau dengan sendirinya nanti.”

“Ah Bapak mana tau harus melakukan apa untuk anaknya. Dari dulu Bapak hanya mencari uang. Lutfan selalu bersama Ibu, dia itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibu mau yang terbaik buat Lutfan, anakku.”

Ibu mertua memang sangat keras kepala, tidak jauh berbeda dengan mas Lutfan. Sifat buruk itu menurun kepada anak satu-satunya itu.

“Ck, Ibu.”

Bapak mertua sudah tidak bisa lagi menasehati istrinya. Hanya bisa berdecak dengan sikap istrinya yang tak pernah berubah dari dulu.

“Iya, iya. Aku akan menjadi contoh yang baik untuk Salwa, Bu.” Mas Lutfan hanya bisa mengiyakan saja.

Aku membereskan piring kotor yang ada di meja makan. Tugasku selanjutnya adalah mencuci piring kotor bekas sarapan kami.

“Wa, kalau makan yang bersih. Itu piringmu ‘kan? Ibu selalu memperhatikan bekas piringmu. Pasti ada saja yang tidak dimakan olehmu.”

‘Ya ampun, hal sepele seperti itu saja dikomentari sama ibu. Aku nggak suka makan bawang sama cabe, Bu.’ Aku menggerutu di dalam hati.

“Ibu, Salwa memang dari dulu nggak suka makan bawang sama cabe, Bu. Wajarlah kalau piringnya selalu ada sisa yang nggak dimakan sama dia.” Mas Lutfan membelaku.

“Ck, orang tuamu pasti mendidikmu untuk pilih-pilih makanan ya, Wa? Bawang sama cabe enak lho kalau di makan. Coba aja dulu, pasti lama-lama akan suka.”

Perasaanku berantakan saat mendengar komentar beliau. Kenapa harus membawa-bawa orang tuaku segala? Jangan salahkan mereka, aku memang orangnya pilih-pilih makanan sejak aku tau rasa makanan itu enak atau tidak. Semua karena lidahku saja, bukan salah orang tuaku.

“Ibu ….” Bapak mertua memanggil beliau, bermaksud menegur perkataannya.

“Apa sih, Pak? Dari dulu Ibu selalu memperhatikan Salwa makan lho, Pak. Baru hari ini saja Ibu ingin berbicara dan menegurnya. Ibu mau dia membersihkan piringnya. Semua yang ada harus dimakan. Itu bagus ‘kan? Jadi tidak mubadzir.”

Bukannya diam, mulut ibu justru berbicara bertambah menyakitkan.

“Besok harus makan dimakan semuanya ya, Salwa ….”

Beliau mengatakannya, dengan senyum yang manis menurutnya. Namun bagiku,senyuman itu bagaikan racun yang perlahan membunuhku.

“Besok sisa bawang sama cabenya, taruh di piringku saja, Dek. Kasihan kamu.” Mas Lutfan kembali membelaku.

“Lutfan, kamu ini selalu saja membela istrimu. Padahal perkataan Ibu benar lho? Untuk kebaikan Salwa juga ‘kan? Besok kalau punya anak jadinya bisa mencontohkan. Anakmu jadi doyan apa aja, nggak pilih-pilih.”

Seperti biasa, ibu tidak akan semudah itu menerima keputusan dari anaknya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status