Share

Part 3

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-08-29 11:51:20

“Iya Bu, tapi bukan begitu juga caranya. Kasihan Salwa, dia benar-benar nggak suka, Bu. Yang penting piringnya bersih ‘kan? Ya sudah, biar aku saja yang menghabiskan sisanya.”

Aku sangat berterima kasih kepada suamiku. Dia selalu mengerti perasaanku. Meski aku jarang memprotes ucapan ibunya, namun dia peka dan selalu membelaku.

“Ck! Disuruh belajar kok tidak mau. Anakmu besok pasti akan meniru sikapmu itu.”

“Sana Dek, kamu pergi cuci piringnya.” Mas Lutfan akhirnya menyuruhku untuk segera pergi.

Aku mematuhi perintahnya. Jujur saja, perasaanku semakin berkecambuk jika masih tetap di hadapan ibu. Beliau berkata tanpa pikir panjang, tanpa menghiraukan perasaan orang yang dikritiknya.

“Lutfan, Ibu sedang menasehati istrimu. Kenapa disuruh pergi?”

Saat beliau mengatakannya, langkahku semakin jauh meninggalkan meja makan. Dapur tempat mencuci piring memang terpisah dengan meja makan. Jadi, aku hanya mendengarnya sayup-sayup saja.

“Kenapa ibu selalu ikut campur semua urusanku sih? Kapan bisa betah di sini kalau beliau selalu saja begitu!” gerutuku, aku masih sibuk mencuci piring dengan perasaan dongkol setiap waktu.

“Wa, maafkan sikap Ibu tadi ya? Kamu pasti sangat jengkel mendengar semua perkataanya.”

Bapak mertua sudah ada di belakangku. Sejak kapan beliau di sana? Apa beliau mendengar semua keluh kesahku yang baru saja terucap oleh mulutku. Biarlah, memang begitu adanya ‘kan?

“Iya, Pak. Nggak apa-apa.” Aku berusaha menutupi rasa jengkelku.

“Bapak takut kamu jadi tidak betah tinggal di sini karena mulut ibu yang seperti itu, Wa.”

Aku hanya tersenyum. Bapak memang sangat mengerti perasaanku. Aku jarang mengeluh di tempat terbuka, namun beliau selalu bisa membaca perasaanku yang sedang tidak merasa nyaman seperti sekarang ini. Beliau yang selalu merasa bersalah atas kesalahan yang diperbuat oleh istrinya. Aku senang beliau begitu kepadaku. Tanpa sadar, rasa jengkelku perlahan menghilang karena sikap lembut beliau.

“Hehe, nggak kok Pak. Salwa betah kok di sini.”

Entah tulus atau tidak, aku mengatakannya kepada beliau. Mungkin saat ini di hadapan beliau, kalimat yang baru saja terucap tulus keluar dari dalam hati. Namun, jika istrinya kembali mengomentariku semauhatinya, aku ingin pergi jauh dari sini.

“Kamu di sini yang sabar ya, Wa?” Beliau mengucapkannya seraya meninggalkanku.

‘Iya Pak, aku pasti akan mencoba untuk bersabar. Tapi jika selalu saja begitu, entahlah,’ batinku.

Jam sudah pukul delapan, saatnya aku dan mas Lutfan pergi menuju ke toko.

“Yuk Dek, berangkat,” ajak mas Lutfan.

“Bentar Mas, ambil tas di kamar.”

Aku lupa meninggalkan tas di dalam kamar. Saat aku sampai di sana, ibu sudah ada di dalam.

“Bu? Sedang apa di sini?” tanyaku lembut.

Ibu terkejut, tangannya memegang tasku dan perlahan meletakannya kembali di atas kasur.

“Itu Wa, tadi Ibu, itu … Ibu mau … itu ibu ambil, mau ambil gelas. Ya gelas.” Ibu gelagapan menjawab pertanyaanku.

“Gelas?” tanyaku memastikan.

“Iya Wa, kamu kenapa kembali lagi ke kamar?” tanya ibu, mengalihkan pembicaraan.

“Tas ketinggalan, Bu.”

“Oh, pantas saja kamu kembali lagi. Ya sudah Ibu mau cuci gelas ini dulu ya?” Beliau meninggalkanku.

“Ibu kenapa sih? Aneh banget. Padahal tadi aku melihatnya meletakan tasku perlahan. Kenapa tanya alasanku kembali ke kamar? Jelas-jelas beliau memegang tasku yang ketinggal. Terus sejak kapan ada gelas kotor di dalam kamar? Aku nggak merasa meletakan gelas di atas nakas. Ck, ada yang aneh deh,” gumamku, meninggalkan kamar.

Aku sengaja tidak pernah mengunci pintu kamar. Hanya lemari saja yang kukunci dan membawa kunci itu di dalam tas kemana pun aku pergi.

“Kamu lama banget, Dek,” protes mas Lutfan saat sudah di hadapannya.

“Iya Mas, aku lupa menaruh tasku dimana. Jadi kucari dulu deh.” Aku berbohong tentang kejadian yang baru saja terjadi.

“Ya udah, yuk berangkat. Sudah siang ‘kan?”

Saat berada di dalam mobil dan duduk santai di atas jok. Aku iseng menggeledah tasku sendiri. Tadi memang belum sempat memeriksanya kembali. Aku pun tidak melihat apa-apa di tangan beliau. Sudah pasti tidak ada yang hilang di dalamnya meski aku melihat beliau perlahan meletakan tas itu kembali di atas kasur.

“Kamu cari apa? Ada yang ketinggalan?” tanya mas Lutfan saat aku sibuk sendiri dengan tasku.

“Hehe, nggak Mas. Iseng aja, siapa tau ada yang tertinggal.”

“Jangan dong, Dek. Kita sudah lumayan jauh. Nggak mau lah kalau harus putar balik.”

“Iya, iya. Semoga saja nggak ada yang tertinggal ya, Mas?”

Beberapa saat aku menggeledah isi tasku. Tidak ada yang aneh di kantung utama. Aku membuka resleting ke dua dan kembali memeriksanya. Di sana ada secarik kertas bertuliskan bahasa Arab. Aku heran sejak kapan aku menyimpan kertas itu. Kenapa aku baru sadar menyimpannya di tasku?

“Mas, kamu menyimpan kertas ini di dalam tasku ya?” Aku menunjukan secarik kertas itu kepada mas Lutfan.

“Ha? Apa itu?” tanya mas Lutfan kaget.

“Kamu nggak tau ini Mas? Jadi siapa yang meletakkannya di dalam tasku? Apa coba ini?”

Aku memandanginya heran seraya membolak-balikannya.

“Nggak tau, buang aja Dek.”

Aku menuruti perintah mas Lutfan, namun pikiranku mempertanyakan darimana asal kertas bertulis bahasa Arab seperti itu. Kenapa bisa ada di dalam tasku? Kenapa bisa begitu?  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status