Share

Part 3

“Iya Bu, tapi bukan begitu juga caranya. Kasihan Salwa, dia benar-benar nggak suka, Bu. Yang penting piringnya bersih ‘kan? Ya sudah, biar aku saja yang menghabiskan sisanya.”

Aku sangat berterima kasih kepada suamiku. Dia selalu mengerti perasaanku. Meski aku jarang memprotes ucapan ibunya, namun dia peka dan selalu membelaku.

“Ck! Disuruh belajar kok tidak mau. Anakmu besok pasti akan meniru sikapmu itu.”

“Sana Dek, kamu pergi cuci piringnya.” Mas Lutfan akhirnya menyuruhku untuk segera pergi.

Aku mematuhi perintahnya. Jujur saja, perasaanku semakin berkecambuk jika masih tetap di hadapan ibu. Beliau berkata tanpa pikir panjang, tanpa menghiraukan perasaan orang yang dikritiknya.

“Lutfan, Ibu sedang menasehati istrimu. Kenapa disuruh pergi?”

Saat beliau mengatakannya, langkahku semakin jauh meninggalkan meja makan. Dapur tempat mencuci piring memang terpisah dengan meja makan. Jadi, aku hanya mendengarnya sayup-sayup saja.

“Kenapa ibu selalu ikut campur semua urusanku sih? Kapan bisa betah di sini kalau beliau selalu saja begitu!” gerutuku, aku masih sibuk mencuci piring dengan perasaan dongkol setiap waktu.

“Wa, maafkan sikap Ibu tadi ya? Kamu pasti sangat jengkel mendengar semua perkataanya.”

Bapak mertua sudah ada di belakangku. Sejak kapan beliau di sana? Apa beliau mendengar semua keluh kesahku yang baru saja terucap oleh mulutku. Biarlah, memang begitu adanya ‘kan?

“Iya, Pak. Nggak apa-apa.” Aku berusaha menutupi rasa jengkelku.

“Bapak takut kamu jadi tidak betah tinggal di sini karena mulut ibu yang seperti itu, Wa.”

Aku hanya tersenyum. Bapak memang sangat mengerti perasaanku. Aku jarang mengeluh di tempat terbuka, namun beliau selalu bisa membaca perasaanku yang sedang tidak merasa nyaman seperti sekarang ini. Beliau yang selalu merasa bersalah atas kesalahan yang diperbuat oleh istrinya. Aku senang beliau begitu kepadaku. Tanpa sadar, rasa jengkelku perlahan menghilang karena sikap lembut beliau.

“Hehe, nggak kok Pak. Salwa betah kok di sini.”

Entah tulus atau tidak, aku mengatakannya kepada beliau. Mungkin saat ini di hadapan beliau, kalimat yang baru saja terucap tulus keluar dari dalam hati. Namun, jika istrinya kembali mengomentariku semauhatinya, aku ingin pergi jauh dari sini.

“Kamu di sini yang sabar ya, Wa?” Beliau mengucapkannya seraya meninggalkanku.

‘Iya Pak, aku pasti akan mencoba untuk bersabar. Tapi jika selalu saja begitu, entahlah,’ batinku.

Jam sudah pukul delapan, saatnya aku dan mas Lutfan pergi menuju ke toko.

“Yuk Dek, berangkat,” ajak mas Lutfan.

“Bentar Mas, ambil tas di kamar.”

Aku lupa meninggalkan tas di dalam kamar. Saat aku sampai di sana, ibu sudah ada di dalam.

“Bu? Sedang apa di sini?” tanyaku lembut.

Ibu terkejut, tangannya memegang tasku dan perlahan meletakannya kembali di atas kasur.

“Itu Wa, tadi Ibu, itu … Ibu mau … itu ibu ambil, mau ambil gelas. Ya gelas.” Ibu gelagapan menjawab pertanyaanku.

“Gelas?” tanyaku memastikan.

“Iya Wa, kamu kenapa kembali lagi ke kamar?” tanya ibu, mengalihkan pembicaraan.

“Tas ketinggalan, Bu.”

“Oh, pantas saja kamu kembali lagi. Ya sudah Ibu mau cuci gelas ini dulu ya?” Beliau meninggalkanku.

“Ibu kenapa sih? Aneh banget. Padahal tadi aku melihatnya meletakan tasku perlahan. Kenapa tanya alasanku kembali ke kamar? Jelas-jelas beliau memegang tasku yang ketinggal. Terus sejak kapan ada gelas kotor di dalam kamar? Aku nggak merasa meletakan gelas di atas nakas. Ck, ada yang aneh deh,” gumamku, meninggalkan kamar.

Aku sengaja tidak pernah mengunci pintu kamar. Hanya lemari saja yang kukunci dan membawa kunci itu di dalam tas kemana pun aku pergi.

“Kamu lama banget, Dek,” protes mas Lutfan saat sudah di hadapannya.

“Iya Mas, aku lupa menaruh tasku dimana. Jadi kucari dulu deh.” Aku berbohong tentang kejadian yang baru saja terjadi.

“Ya udah, yuk berangkat. Sudah siang ‘kan?”

Saat berada di dalam mobil dan duduk santai di atas jok. Aku iseng menggeledah tasku sendiri. Tadi memang belum sempat memeriksanya kembali. Aku pun tidak melihat apa-apa di tangan beliau. Sudah pasti tidak ada yang hilang di dalamnya meski aku melihat beliau perlahan meletakan tas itu kembali di atas kasur.

“Kamu cari apa? Ada yang ketinggalan?” tanya mas Lutfan saat aku sibuk sendiri dengan tasku.

“Hehe, nggak Mas. Iseng aja, siapa tau ada yang tertinggal.”

“Jangan dong, Dek. Kita sudah lumayan jauh. Nggak mau lah kalau harus putar balik.”

“Iya, iya. Semoga saja nggak ada yang tertinggal ya, Mas?”

Beberapa saat aku menggeledah isi tasku. Tidak ada yang aneh di kantung utama. Aku membuka resleting ke dua dan kembali memeriksanya. Di sana ada secarik kertas bertuliskan bahasa Arab. Aku heran sejak kapan aku menyimpan kertas itu. Kenapa aku baru sadar menyimpannya di tasku?

“Mas, kamu menyimpan kertas ini di dalam tasku ya?” Aku menunjukan secarik kertas itu kepada mas Lutfan.

“Ha? Apa itu?” tanya mas Lutfan kaget.

“Kamu nggak tau ini Mas? Jadi siapa yang meletakkannya di dalam tasku? Apa coba ini?”

Aku memandanginya heran seraya membolak-balikannya.

“Nggak tau, buang aja Dek.”

Aku menuruti perintah mas Lutfan, namun pikiranku mempertanyakan darimana asal kertas bertulis bahasa Arab seperti itu. Kenapa bisa ada di dalam tasku? Kenapa bisa begitu?  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status