Share

Ketika Mertua Ikut Campur
Ketika Mertua Ikut Campur
Author: Khanna

Part 1

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-08-29 11:49:04

Dalam sebuah pernikahan hal utama yang diminta adalah sebuah kebahagiaan.

 

Namun apalah daya, jika sebagai seorang istri tugasnya hanya patuh dan taat kepada seorang suami. Bahkan di saat posisi suami yang diharuskan untuk merawat serta serumah dengan ke dua orang tuanya. Istri sekali lagi harus mengekor di bawah titah sang suami. Meski ke dua mertua terlihat baik hati, tapi ada saatnya posisi sebagai menantu tetap tak sesuai di mata mereka, tentu saja seorang menantu harus pandai-pandai memilih sikap.

 

Pada akhirnya kenyamanan seutuhnya tidak akan pernah didapat oleh seorang istri tersebut. Syukur jika dia kuat dan tidak merasa depresi.

 

Lebih baik mengontrak daripada harus serumah dengan mertua. Rasa nyaman belum tentu didapat oleh seorang istri dengan mertua yang tinggal serumah dengannya.

 

***

Tok, tok, tok!

 

Pagi buta, pintu kamarku sudah riuh karena seseorang mengetuknya.

 

“Salwa! Ayo bangun! Sholat subuh lalu masak!” Suara perempuan terdengar dari balik pintu kamarku. Aku mencoba membuka mata perlahan.

 

Tok, tok, tok!

 

Ketukan pintu semakin keras terdengar.

 

“Salwa, Lutfan! Bangun!” Kembali suara itu terdengar memanggil-manggil nama kami.

 

Aku terperanjat dan segara bangun, tak lupa kugoncangkan tubuh mas Lutfan yang masih tertidur di sebelahku untuk membangunkannya.

 

“Mas, bangun Mas.” Mas Lutfan hanya melihat sesaat dan kembali terpejam.

 

“Ya ampun! Salwa, bangun! Kamu mau masak ‘kan?”

 

Suara di balik pintu semakin lantang terdengar. Suara itu milik ibu mertuaku. Sudah berulang kali kami katakan agar tidak membangunkan sepagi ini. Namun tetap saja beliau melakukannya.

 

Ya, sekarang baru saja selesai adzan subuh, sekitar pukul setengah lima. Bagi kami jam segitu masih sangat pagi, mengingat toko tempat usaha dibuka sekitar pukul delapan.

 

“Mas, bangun Mas. Ibu sudah membangunkan kita.” Aku masih berusaha untuk membangunkan mas Lutfan.

 

“Biarin aja. Masih pagi banget. Masih ngantuk.” Dengan enteng mas Lutfan mengatakannya.

 

Tok, tok, tok!

 

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kini semakin kencang.

 

“Iya, Bu!” Segera kulontarkan kalimat tersebut, sebelum suara beliau kembali terdengar di telingaku.

 

“Mas, bangun! Ibumu setiap pagi kenapa begini sih! Aku capek diatur-atur terus, Mas! Mas, bangun!”

 

Pagi buta begini sudah membuatku selalu saja naik darah. Sudah sering diperingatkan, jika akan membangunkan kami kira-kira pukul lima saja. Lumayan ‘kan setengah jam untuk tambahan waktu tidur. Toh, kegiatan di toko mulai jam delapan. Masih banyak waktu dari jam lima sampai jam delapan.

 

Memang susah jika masih serumah dengan orang tua. Masih ada yang mengatur kehidupan kami. Paling enak saat sudah berumah tangga, ketika sudah hidup mandiri tanpa harus ada campur tangan orang tua. Dengan berat hati, aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktivitas.

 

“Mas, bangun! Kalau ga bangun-bangun, aku bakalan marah sama kamu, Mas!” Dengan susah payah dan ancaman, akhirnya mas Lutfan bangkit juga dari tidurnya.

 

*** 

Kami menikah sekitar setengah tahun yang lalu. Selama itu kami berkomitmen untuk menunda kehamilan untuk memajukan usaha toko terlebih dulu.

 

Kami masih tinggal serumah dengan orang tua. Mas Lutfan adalah anak tunggal. Orang tuanya menginginkan agar dia beserta istrinya tetap tinggal bersama.

 

Rumahnya memang besar, tak ayal karena memang mas Lutfan terlahir dari keluarga berada. Namun, sebenarnya sebagai istri, aku tidak setuju dengan usul mereka. Tapi mau bagaimana lagi, mas Lutfan tentu tidak akan menolak usul orang tuanya itu. Dan pada akhirnya, kami benar-benar tinggal serumah dengan mereka. Hal itu kami lakukan hanya untuk membuat mereka merasa bahagia.

 

“Kamu seharusnya dibiasakan bangun pagi, Wa. Kamu harus bisa mencontohkan kedisplinan untuk anak-anakmu kelak. Kamu mau ‘kan anak-anakmu menjadi orang yang sukses?”

 

Ibu mertua sudah mulai menasihatiku. Kami sedang di dapur untuk memasak sarapan. Jam di dinding baru menunjukan pukul lima. Di luar pun masih sangat gelap.

 

“Iya Bu.”

 

“Untung Ibu masih sehat, masih ada yang membangunkanmu. Kalau Ibu sudah tidak ada, siapa coba yang akan membangunkan kalian. Kalian ini sama-sama susah dibangunkan.”

 

Beliau masih saja mengoceh, kupingku sudah mulai panas dibuatnya. Jika ibu sudah tidak ada, mungkin aku akan bahagia. Aku akan malakukan semua hal sesuka hati tanpa ada yang mengusik dan berisik mengomentari. Eh, astaghfirullah, pikiran macam apa ini?

 

“Iya Bu, tapi kami dibangunin jam lima saja, Bu. Masih banyak waktu juga ‘kan? Biar kita punya tambahan waktu tidur, Bu. Mumpung kami belum punya anak. Boleh ya, Bu?” Perlahan aku memberikan usul.

 

“Ibu ‘kan tadi baru saja ngomong kalau kamu harus belajar disiplin. Jadi kalau punya anak sudah terbiasa. Ada Ibu ini yang selau membangunkan kalian. Kalian harus terbiasa bangun pagi.”

 

Sebenarnya hatiku bergemuruh, ingin sekali pergi dari sini. Jika setiap hari harus mendengarkan semua ucapannya seperti ini, bisa-bisa aku gila sendiri. Tidak ada rasa nyaman tersemat di dalam rumah ini. Selalu saja diatur padahal aku sudah semakin dewasa dan sudah berumah tangga. Seharusnya aku bebas sesuka hati, seperti orang lain diluaran sana. Mereka terlihat sangat bahagia, bebas terserah mereka mau melakukan apa saja.

 

‘Kenapa ibu selalu semaunya sendiri sih! Aku juga mau bebas seperti yang lain.’ Aku hanya bisa berbicara di dalam hati, kami masih sibuk di dapur membuat sarapan bersama.

 

Aku ibarat burung dalam sangkar. Tidak bisa sesuka hati terbang ke sana-ke mari. Sungguh malang nasibku ini. Bangun tidur saja sudah ada yang siap untuk membangunkan. Dari pagi sampai ke pagi lagi sudah ada yang siap mengatur tentang segala kegiatan yang akan kulakukan.

 

Padahal aku jarang membantah perkataan beliau, tapi kenapa beliau selalu saja ikut campur rumah tanggaku. Dasar menyebalkan.

 

'Seharusnya aku dan mas Lutfan punya rumah sendiri. Tak mewah pun tak apa, yang penting hidupku nyaman bisa bebas sesuka hati. Atau mengontrak barang sepetak pun tak masalah. Aku capek setiap hari ada yang mengatur dan mengomentari,’ rintihku dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rita Zulaikha Amini
saya mah setuju sama mertua. bener kerja jam delapan. tapi kita punya kewajiban sholat shubuh. bahkan kalau perlu sebelum subuh sudah bangun untuk sholat tahajud.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status